Samik Ibrahim Sang Kreditur
Pasca aksi polisioneel pertama, Karesidenan Sumatra Barat merasa perlu menyeimbangkan biaya operasional revolusi kemerdekaan. Untuk memperoleh suplai peralatan perang, pemerintah menerapkan iuran perang 10% untuk seluruh sumber-sumber pendapatan rakyat. Tidak hanya untuk padi, pajak juga diterapkan untuk gaji, hasil pertanian, dan keuntungan perdagangan (Maklumat Residen Sumatra Barat No.3 tahun 1947).
Untuk mengumpul dan menyalurkan iuran dan menyalurkannya kepada barisan laskar dan militer, Karesidenan Sumatra Barat menggunakan dua cara. Pertama, bupati mengirim mandat residen kepada wali nagari, mengenai jumlah barang dan uang yang disumbangkan masyarakat. Selanjutnya perbekalan itu dikumpulkan kepada bupati—kemudian meneruskannya kepada komandan militer yang ada di daerah tersebut.
Kedua, bupati meminta kepada wali nagari memberi bantuan kepada satuan militer yang berada di daerahnya. Dan bila satuan tentara memerlukan lebih banyak sumbangan yang diperlukan di nagari, pemberi bantuan diberi kuasa untuk membuat kuitansi—nantinya diserahkan kepada wali nagari dan diklaim untuk dibayarkan oleh bupati. (Maklumat No.3 tahun 1947). Siklus model bantuan ini bertujuan menghindari ketegangan antara masyarakat Nagari dengan pihak militer. Selain itu, pemberdayaan pejabat lokal bertujuan untuk menguatkan peran sipil pada masa revolusi kemerdekaan.
Meskipun sudah diatur, pemungutan ransum makanan untuk tentara, terkadang berujung konflik. Besarnya pengaruh Divisi IX Banteng sejak awal kemerdekaan–terutama dalam meminta iuran perang, memicu munculnya kemacetan komunikasi antara para saudagar dengan pihak militer.
Samik Ibrahim adalah kreditur terbesar sejak awal 1947 pada pihak militer. Samik telah meminjamkan dana yang sangat besar untuk kebutuhan logistik Divisi IX Banteng. Padahal, dalam kondisi keuangan N.V KOPAN yang belum sepenuhnya pulih, Samik sangat berani dan mau menanggung resiko meminjamkan uang kepada pihak militer AD.
Pinjaman yang diberikan oleh Samik Ibrahim dimulai sejak 2 Februari 1946 dan terakhir pada tanggal 22 Oktober 1947. Adapun bentuk utang yang diberikan Samik pada Divisi IX Banteng, berupa motor, natura, upah, dan uang kontan. Pada Desember 1948, Samik datang ke Bukittinggi untuk menagih pinjaman kebutuhan logistik dan persenjataan senilai Rp 4.075.080.50. Berikut rincian pinjaman dari Divisi IX Banteng pada Samik Ibrahim.
Tabel 1 Pinjaman Samik Ibrahim pada Divisi IX Banteng
Tanggal | Nama Barang | Harga |
2 Februari 46 | 8 ton pala | 1,734,038 |
20 April 46 | 500 kg beras | 287,500 |
29 Okt 46 | 60 jaard merekan | 99,000 |
26 Januari 47 | 35 karung semen | 175,000 |
1 Maret 47 | 69 karung semen | 315,000 |
13 Maret 47 | 61 karung beras | 68,000 |
17 Maret 47 | 20 kg kentang | 250 |
Upah tumbuk padi | 4,410 | |
17 Mei 47 | 749 kg getah | 27,400 |
3 Juli 47 | 200 kg gambir | 155,000 |
1 Agust 47 | 25 kg gambir | 2,125 |
10 kg peti teh | 30,000 | |
3 Agustus 47 | 15 kg peti teh | 45,000 |
4 Agustus 47 | Uang kontan | 5,558,50 |
3,826 kg beras | 108,972 | |
10 kg peti teh | 17,800 | |
22 Okt 47 | 1 sepeda motor | 1,000,000 |
Total | 4,075,080,50 |
Sumber: Daftar barang yang dipinjam oleh tentara Divisi IX Banteng tahun 1947
Setahun, kemudian menjelang PDRI, pihak Divisi Banteng kembali menjanjikan membayar angsuran. Dan, rupanya hanya dibayar sebesar Rp 5.000. Sisanya pun tidak pernah dibayarkan oleh pemerintah dan tetap menjadi hutang negara atas pribadi Samik Ibrahim.
Kondisi meresahkan “periuk nasi” itu –juga dialami oleh masyarakat yang keberatan dengan permintaan militer. Mereka dituding sering menghabiskan persediaan pangan dan lauk-pauk. Kahin (1980: 213) mengisahkan, 700 orang tentara meminta 2.100 nasi bungkus sehari kepada Sidi Bakaruddin—bupati Tanah Datar pada pertengahan 1947.
Karena persediaan tidak mencukupi, Bakaruddin pun menolak permintaan militer. Tidak terima dengan penolakan itu, mereka pun menahan sang Bupati, namun persoalan itu bisa dituntaskan, setelah mereka dibujuk ke daerah yang surplus beras.
Berbeda kisah yang dialami Samik Ibrahim dan Sidi Bakaruddin, juga berbeda dengan yang dirasakan Divisi IX Banteng dengan saudagar dan bankir Anwar Sutan Saidi.
Barangkali Anwar tidak begitu terusik kondisi keuangan perusahaannya yang bergerak di bidang perbankan dan usaha ekspor-impor. Selain Abdul Katif yang juga kuat secara finansial, Anwar menunjukkan komitmennya dalam mempertahankan kemerdekaan. Peran pendiri Bank Nasional itu, dibuktikan dengan kisah dari dua tokoh militer penting di Sumatra Barat—yakni Dahlan Djambek dan Ismael Lengah.
Komandan Divisi IX Banteng Letkol Dahlan Djambek mengirim surat tertanggal 4 April 1946—meminta direksi Bank Nasional menyediakan perbekalan untuk tentaranya. “Untuk kepentingan negara, kami Tentara Republik Indonesia, meminta agar Bank Nasional menyerahkan semua uang-uang yang terdiri dari pokoknya sendiri dan uang simpanan yang di bawah kekuasaannya dan penjagaannya.” Demikian petikan dari surat Dahlan Djambek kepada direksi Bank Nasional.
Komandan Divisi IX Banteng itu juga mengungkap, bahwa sebagai pertanggungjawaban menerima dana tersebut, ia akan menyertakan kuitansi yang langsung ditandatangani. Anwar pun mengabulkan permintaan Dahlan Djambek.
Namun, tidak pernah diberitakan seberapa besar bantuan yang digelontorkan oleh Bank Nasional pada tahun itu. Fakta itu baru terungkap, ketika Dahlan Djambek dalam Surat No.262/ ST/KTR/50.
Dalam suratnya, yang diungkap kembali oleh Thaib (1970: 93), Dahlan menulis, “dengan ini kami Komandan Territorium Sumatra Tengah Brigade Banteng menerangkan bahwa NV Bank Nasional dan NV Inkorba yang berpusat di Bukittinggi dan dipimpin oleh: Tuan Anwar Sutan Saidi, adalah satu perusahaan yang kami ketahui telah memberikan bantuan kepada perjuangan kemerdekaan semenjak tahun 1945, terutama untuk Badan Perjuangan dan Ketentaraan, di antaranya uang yang terpakai f 3000,000 (tiga juta gulden).”