Tarikh

Kisah Wujil dan Sunan Wahdat (1): Menghadap

4 Mins read

Sore itu, Wujil dengan ragu-ragu berdiri di depan rumah gurunya. Ada kegelisahan hati yang hendak ia tumpahkan. Tetapi, ia ragu apakah gurunya berkenan untuk mendengarkan. Ia terdiam beberapa saat di depan pintu untuk mengumpulkan keberanian. Sampai akhirnya, ia beranikan diri untuk mengucapkan salam.

“Assalamualaikum, Gurunda!” Demikian Wujil beruluk salam. Untuk sejenak, belum terdengar jawaban dari dalam rumah.

“Assalamulaikum wa rahmatullahi wabarakatuh! Mohon ijin, Wujil izin menghadap, Gurunda!” Wujil mempertegas salam dan kehendaknya. Sudah ia tetapkan hati untuk bisa menghadap Guru yang sangat ia hormati.

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Oh, kau Wujil. Silakan masuk dan tunggu sebentar!” Terdengar suara berat yang berwibawa dari dalam rumah. Meski sosok Guru itu belum nampak, tetapi Wujil sudah merasa lega atas jawaban yang ia dengar.

Dengan hati-hati dan merunduk, ia masuk ke dalam rumah. Ia pilih untuk duduk di lantai tepat di depan kursi tua yang tampak berdiri kokoh di tengah ruangan, dekat dengan pintu tengah.

Rumah ini adalah rumah utama di kompleks perguruan agama di kota Tuban. Di depan rumah, berjarak 30 meteran terdapat mushalla tempat para santri menjalankan shalat lima waktu bersama dan belajar agama Islam. Di sekeliling musholla, terdapat beberapa bangunan memanjang tempat para murid tinggal. Mereka datang dari penjuru wilayah. Utamanya dari Tuban dan  kota-kota Pantai Utara Jawa.

Di tengah keheningan, keluarlah sosok tinggi dan gagah, meski sudah tua. Ia berpakaian putih-putih dan dengan eloknya duduk di kursi yang berada di depan Wujil. Setelah sempurna duduk, sosok tersebut memandang Wujil dengan tatapan penuh tanda tanya.

Aduan Wujil pada Sunan Wahdat

“Oh, Kau Wujil. Ada apa tiba-tiba menghadap tanpa dipanggil. Tidakkah waktunya kau mengkaji ilmu bersama rekan-rekanmu?” Suara berat itu memecah keheningan.

“Ampun, Gurunda! Hamba lancang mengganggu istirahat Paduka. Tiada maksud untuk mengganggu semadi Paduka!” Kata Wujil sambil menghaturkan sembah. Wujil sadar bahwa Gurunya bukan orang sembarangan. Ia putra dari pendiri perguruan di Ngampeldenta.

Baca Juga  Jilbab dan Cadar: Warisan Tradisi Pra-Islam?

Ia pula yang berhasil menaklukkan hati Berandal Lokajaya, yang masih berdarah biru. Ia sosok berpengetahuan laksana samudera hingga pernah dipercaya untuk menjadi pengulu, yaitu imam dan hakim, di masjid Agung Demak.

“Maksud hamba menghadap adalah untuk mohon pencerahan. Hati hamba laksana pelita yang tertiup angin kencang, terombang ambil dalam kegalauan. Jika bukan kepada Paduka, kepada siapa lagi hamba mengadu?!” Demikian Wujil memulai curah hatinya.

“Teruskan Wujil. Apa yang menjadi kehendakmu! Aku mendengarkan!” Suara itu bagai uluran tangan yang membuat Wujil lebih siap untuk membuka diri.

“Ampun Paduka!”, Wujil kembali menyembah. “Sudah 10 tahun hamba belajar di perguruan ini. Susah senang hamba lalui. Ditertawakan dan digoda santri-santri lain, hamba terima. Diberi tugas-tugas hingga yang kecil-kecil, katakanlah memasak, hamba laksanakan. Hamba tekadkan hati untuk menempuh laku, mempelajari Islam secara lahir dan batin.” Wujil mulai menumpahkan segala unek-uneknya.

“Dahulu hamba hidup di istana Bathara Brawijaya.  Hamba abdikan diri untuk mempelajari sastra dan kebijakan. Hamba cukup faham sutra-sutra dan vedanta. Hamba renangi samudera pengetahuan sejati, namun akhirnya hati hamba tertambat pada ajaran Jeng Nabi. Hamba ikuti dengan sepenuh hati piwulang (pelajaran) dari Paduka. Namun, sampai saat ini hamba belum sampai pada kesejatian.” Suara Wujil keluar dengan halus tapi tajam seolah membuat ruangan yang tenang itu bergetar oleh nada yang menyiratkan putus asa dan protes.

***

Sang Guru mengerutkan kening seraya memandang tajam Wujil. Ia tampak sedang mencoba untuk menelusuri kata-kata Wujil hingga ke dalam relung jiwanya.

Wujil pun untuk sejenak merasa salah tingkah. Ia merasa ucapannya terlalu berani dan lancang pada orang agung di depannya.

“Ampun Paduka!” Wujil kembali menghaturkan sembah. “Tiada maksud hamba hendak melawan Paduka. Hamba hanya memohon ijin berkeluh hati!” Wujil semakin dalam menekan kepalanya ke bawah. Ia berharap Sang Guru tidak kecewa dan marah.

Baca Juga  Dinasti Ottoman (6): Mehmed I, Antara Keluarga dan Kekuasaan

“Hmmm, lanjutkan, Wujil!”Demikian Suara Sunan Wahdat meminta Wujil. Nama Ratu Wahdat ini kadang diberikan oleh para santri lama.

Sebutan Sunan bisa dipahami karena Sang Guru merupakan Susuhunan, orang paling dihormati dan berkuasa di Tanah Merdika atau Perdikan ini. Hanya orang berjasa dan punya pengaruh besar yang mendapat tanah merdika, tanah bebas pajak dan upeti, dari Raja Demak. Hal yang sama berlaku pada masa Majapahit sebelumnya.

“Hamba merasa apa yang hamba pelajari, tiada beda dengan yang hamba pelajari sebelum menjadi muslim. Hamba merasa hanya berpindah dari satu pembicaraan ke pembicaraan lain! Dari satu tulisan ke tulisan lain! Dari ritual dari ritual Hindu ke ritual Islam, dari satu laku lahir ke laku lahir lain. Dari satu sembah raga ke sembah ragawi lainnya.” Wujil kembali mengatur nafasnya yang memburu.

“Jika yang dimaksud iman itu percaya pada Sang Tunggal, di Hindu pun dewa-dewa itu hanya perlambang. Yang Maha Tinggi tetaplah itu tidak terjangkau. Lalu apa bedanya iktikad sekarang jika itu tidak mengangkat derajat, Hamba!” Demikian Wujil mengemukakan pikiran dan perasaan yang tiada tumbuh selama memeluk Islam.

“Hamba belum menemukan obat yang hamba cari. Semua terasa masih hambar, Paduka!” Wujil berbicara dengan lancar dan terang. Tidak mengherankan karena Wujil adalah sosok terpelajar sejak sebelum masuk Islam. Seluruh emosi dan kepedihannya keluar bersama untaian kata demi kata yang meluncur deras.

Nasehat Wahdat pada Wujil

“Wujil!” Suara Ratu Wahdat bergema di seluruh ruangan. “Tidakkah, kamu terlalu berani menuntut imbalan atas apa yang aku berikan kepadamu! Setelah piwulang yang kau terima, bagaimana engkau menuntut kembali pada gurumu atas apa yang kurang darimu! Nakal sekali kau, Wujil!”. Ratu Wahdat berbicara dengan nada datar, tetapi tekanannya berbeda. Raut muka Ratu Wahdat tampak lebih serius, meski tidak bisa dibilang marah!

Baca Juga  Khalifah Ali (13): Perang Jamal (2) Makkah Mengalahkan Basrah

“Ampun Paduka! Hamba, tidak…” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Wujil mendengar Ratu Wahdat menukas kembali.

“Wujil, selama ini kau tampak sebagai siswa yang baik. Engkau bertekun dengan belajar dari hari ke hari. Kau tunjukkan sikap mulia pada guru dan rekan-rekanmu hingga aku menganggapmu murid teladan. Tetapi, apa yang tersimpan di hatimu berbeda.” Sunan Wahdat tampak mendesah.

“Apakah itu bukan seperti telur, yang putih di cangkang tetapi intinya bercampur kuning?! Apakah sikapmu itu tidak seperti bangau yang tampak sebagai pertapa di danau, tetapi memakan seluruh ikan yang berbaik sangka padanya?!”

Sunan Wahdat menghujami Wujil dengan pujian sekaligus pertanyaan yang bernada menggugat. Wujil pun seketika lemas. Ucapan Ratu Wahdat begitu tajam. Terlebih perumpamaan tentang telur!

Wujil faham benar tentang perumpamaan lama itu. Dalam Dewaruci, warna kuning adalah salah satu dari lima warna yang menggambarkan dorongan nafsu dan jiwa manusia.

Warna putih simbol kesucian dan kebersihan hati. Tetapi kuning! Ah, jelas-jelas itu simbol hawa nafsu akan kegembiraan dan kesenangan. Seolah Sunan Wahdat hendak menghukum Wujil sebagai murid dengan dorongan nafsu untuk mencari kesenangan.

Perlambang burung bangau. Jelas dalam karya Kidung Tantri yang ditulis masa Majapahit itu ada. Kisah itu berasal dari fabel India yang indah dan mendalam. Kisah tentang bangau pemangsa ikan yang pura-pura menjadi pertapa di danau, berpantang daging dan ikan, sehingga membuat ikan-ikan terpesona. Namun akhirnya, seluruh ikan di danau ia mangsa dengan tipu dayanya.

Aduhai, berat sekali kata-kata Sang Guru! Juga, betapa luas samudera pengetahuannya. Perlambang-perlambang yang dipakai berasal dari pengetahuan yang Wujil miliki sebelum Islam. Kini, semua itu seolah anak panah yang dilesatkan Sang Guru kembali pada dirinya. Ah, sungguh terkena Wujil dengan anak panah itu. Ia pun hanya bisa lebih dalam menundukkan kepala.

Editor: Yahya FR

Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds