Arba’ūn, orang-orang pesantren tentunya tidak asing dengan kitab-kitab yang menjadikan “angka” sebagai judulnya. Misalnya, kitab Alfiyyah karya Ibnu Malik (tentang gramatikal Bahasa Arab) atau Alfiyyah al-Zubad karya Ibnu Ruslan (tentang fikih Syafi’i).
Pun demikian dalam kajian hadis. Banyak ditemukan kitab-kitab yang judulnya berdasarkan angka. Umumnya, kitab hadis model ini mengambil angka Arba’ūn (empat puluhan) sebagai nama atau judulnya. Satu kitab Arba’ūn yang paling terkenal tentu saja karya Imam al-Nawawi (w. 676 H).
Kemunculan Kitab Hadis Model Arba’ūn
Imam al-Nawawi memang imam yang paling terkenal dalam karya hadis Arba’ūn. Tetapi, dia bukanlah penulis pertama dengan model seperti itu. Dalam kitab al-Mu’īn ‘alā Tafahhum al-Arba’īn disebutkan bahwa kitab Arba’ūn telah terkenal sejak era ulama salaf atau mutaqaddimīn (300 tahun pertama hijriyah).
Mereka dalah Ibnu Mubarak (w. 181 H) yang tercatat sebagai alim pertama yang memulai penulisan kitab hadis Arba’ūn. Tokoh hadis masyhur lainnya, yaitu al-Daruquthni (w. 995 M) dan al-Naisaburi (w. 1012 M) juga tercatat memiliki karangan kitab hadis model seperti ini (Ibnu Mulaqqin 2012, 62). Disebutkan pula hingga puluhan ulama telah memiliki kitab hadis arba’ūnnya sendiri.
Al-Arba’ūn karya Imam al-Nawawi sendiri sebenarnya hanyalah penerus dan pelengkap usaha yang telah dilakukan oleh alim sebelum beliau, yaitu Ibnu Shalah (w. 643 H). Imam al-Nawawi melengkapi 26 hadis yang telah dikumpulkan oleh Ibnu Shalah sehingga akhirnya berjumlah 42 hadis (Ibnu Mulaqqin 2012, 7).
Al-Arba’ūn Karya Ulama Nusantara
Kenapa kata Nusantara yang digunakan? Pertama, karena kata Nusantara, sebagaimana yang dijelaskan dalam KBBI, mengacu pada seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. Kedua, beberapa penulis kitab Arba’ūn hidup sebelum Indonesia merdeka. Sehingga, ulama Nusantara yang dimaksud mencakup mereka yang hidup di Kepulauan Indonesia, baik sebelum merdeka atau pun sesudahnya.
Jika diurutkan secara kronologis, karya hadis Arba’ūn pertama yang muncul di Nusantara diperkirakan pada awal abad ke-19 M. Mereka adalah Abu Ishaq Madyani, seorang alim asal Tuban, Jawa Timur. Menurut penelitian Agil Muhammad (2019, 56), karya Arba’ūn Madyani ditulis sekitar tahun 1833 M dalam bentuk naskah yang tidak pernah dicetak.
Khazanah Nusantara
Kajian hadis di Nusantara mulai terkenal sejak era Muhammad Mahfudz al-Tarmasi (w. 1920 M). Ia dikenal sebagai salah seorang ahli hadis dari Nusantara yang memiliki dua jalur sanad hingga Imam al-Bukhari (Ulum 2019, 99). Karenanya, beliau diberi gelar al-musnid al-hāfizh. Karya hadis al-Tarmasi dalam model arba’ūn diberi nama al-Mihnah al-Khairiyyah fī Arba’īna Hadītsan min Ahādits Khair al-Bariyyah.
Selain Madyani dan al-Tarmasi, ada juga KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947 M), sang Pendiri Nahdlatul Ulama, yang menulis kitab hadis model ini. Kitab mbah Hasyim tersebu diberi nama Arba’ūna Hadītsan Tata’allaqu bi Mabādī Nahdhah al-‘Ulamā’.
Di akhir abad ke-20 masehi ada juga seorang alim asal Padang, Sumatera Barat, yang memiliki karya hadis arba’ūn. Beliau adalah Syekh Yasin al-Fadani (w. 1990), seorang ahli sanad hadis. Karya al-Fadani yang dimaksud diberi judul al-Arba’ūna Hadītsan min Arba’īna Kitāban ‘an Arba’īna Syaikhan.
Kitab atau karya hadis Arba’ūn terbaru di Nusantara terbit pada tahun 2019 di Paser, Kalimantan Timur. Adalah sebuah karya yang berjudul al-Arba’ūn al-Buldaniyyah fī al-Zuhd wa al-Riqāq karya Abdus Salam al-Naqari yang dimaksud.
Al-Naqari mengakui bahwa karyanya terinspirasi dari tiga kitab arba’ūn yang telah lebih dahulu ada, yaitu: (1) karya Ibnu ‘Asakir; (2) karya Syekh Yasin al-Fadani, dan; (3) karya Syekh Usamah sayyid Mahmud al-Azhari (Al-Naqari 2019, 6).
Jika ditinjau secara mendalam, karya al-Naqari adalah yang paling menarik, setidaknya menurut penulis pribadi. Sebab, hadis-hadis yang dihimpun oleh al-Naqari didapatkan dari tempat-tempat yang berbeda dari guru-guru yang berbeda serta dari sahabat-sahabat yang berbeda pula.
Usaha ini tentunya hanya dapat disusun oleh seorang alim yang telah melakukan perjalanan ke mana-mana, menemui banyak guru, serta membaca banyak karya hadis untuk mendapatkan sanad.
Melihat maraknya penulisan kitab hadis model arba’ūn di Nusantara, bukan tidak mungkin masih ada beberapa karya yang belum terekspos. Dengan demikian, dapat terlihat dengan jelas bahwa Nusantara juga memiliki ulama hadis yang terkemuka.
Editor: Aida AL