Quraish Shihab mengemukakan bahwa agama sangat menekankan perlunya kehadiran pemerintahan demi menata kehidupan masyarakat, bahkan demi terlaksananya ajaran agama itu sendiri.
Menurutnya, bahwa pendirian negara itu terlandasi pertimbangan rasio dan kemaslahatan. Menjelaskan lebih jauh lagi tentang hubungan agama dan negara, bahwa tidak sepakat dengan kelompok sekularis yang memisahkan agama dari kehidupan politik.
Baginya, kewajiban negara adalah menerapkan nilai-nilai agama dalam rangka menata kehidupan masyarakat. Dengan jelas, Quraish Shihab menyatakan dalam kekuasaan politik haruslah dilakukan spiritualisasi, bukan teokratisasi atau sekularisasi.
Secara tegas, ia menolak paham ini, karena tidak sejalan dengan fungsi agama dalam negara. Baginya, spiritualisasi bukan berarti menjadikan lembaga-lembaga agama mengambil alih peranan pemerintah, seperti dalam halnya negara teokrasi, bukan, tetapi menjadikan nilai-nilai agama reseptif dalam penerapan kebijakan pemerintah (Nasution 2010, 255).
Kita melihat di Indonesia, yang menganut falsafah Pancasila memberikan posisi yang sangat penting pada semua agama yang dianut masyarakat dan menuntut peran agama serta kaum agamawan dalam membangun agama dan negara.
Ini artinya bahwa, bangsa Indonesia mampu menyelesaikan permasalahan krusial hubungan agama dan negara dengan caranya sendiri dan menguntungkan semua pihak atau kelompok bangsa.
Bagi Quraish Shihab, agama dengan universalitas nilai-nilai yang dikandungnya harus dapat memajukan dan memperkukuh integritas, persatuan, dan kesatuan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Agama, dengan tuntunan kitab suci, harus mampu memberikan jalan keluar yang realistis terhadap problem-problem masyarakat. Quraish Shihab sangat menjunjung tinggi peran agama dalam negara.
Agama adalah Sumber Inspirasi
Agama harus jadi sumber inspirasi bagi pengelolaan kekuasaan. Namun, demikian hal ini bukan berarti bahwa agama menjadi sumber justifikasi setiap tindakan politik, meskipun keliru.
Dalam hubungan agama dan negara, Quraish memandang bahwa dengan diresepsinya nilai-nilai agama ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berarti bahwa yang paling utama bukanlah formalisasi ajaran-ajaran agama ke dalam kehidupan sosial politik kenegaraan (Nasution 2010, 256).
Sehingga sebuah sistem dalam negara Indonesia harus bisa menjadi sebuah sistem yang memberikan keharmonisan. Politik ini mencoba membangun bagaimana memandang bahwa Indonesia harus bisa saling konstribusi dalam membangun kebijakan.
Syariat memang menjadi sebuah konsep yang banyak digadangkan dalam pendirian negara dengan penduduknya yang mayoritas Muslim, termasuk Indonesia. Namun, harus bisa menyesuaikan dalam realitas kehidupan masyarakat di sebuah negara.
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya. Karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara mereka saling membutuhkan (Taimiyah 1997, 158).
Islam Politik
Noorhaidi menjelaskan bahwa konsep Islam politik bukan sebuah gejala keagamaan, tetapi lebih merupakan fenomena sosial-politik yang melibatkan sekelompok individu Muslim yang aktif melakukan gerakan yang didasari ideologi tertentu yang mereka yakini.
Unsur terpenting yang membedakan Islam politik dengan gejala sosial-politik lain, dengan demikian, terletak pada tiga hal yakni; aktor, aktivisme, dan ideologi (Hasan 2012, 3). Namun, kemudian, muncul sebuah perspektif yang berbeda di dalam interpretasi ketika objek dialihkan pada konsep negara dengan menganut sistem demokrasi.
Yang kemudian muncul ialah sebuah respon yang kurang sedap di dalam acuan pikir dan argumentasi bahwa demokrasi Indonesia itu taghut. Terutama atas landasan ideologi yang meliputi mereka atau bahkan sistem doktrinal agama mereka yang kemudian membuat fanatisme dalam memandang yang berbeda.
Hasan kembali menjelaskan bahwa ideologi-ideologi Islamis menentang pandangan bahwa demokrasi adalah sarana yang dapat mengatasi masalah-masalah yang menimpa umat Islam saat ini dan menganggapnya sebagai ajaran sekuler yang berpotensi menimbulkan kerusuhan dan kerusakan (Hasan 2012, 85).
Ketika melihat dalam perkembangan sejarahnya bahwa kenapa Indonesia juga sangat semangat dalam menyemarakkan Syariat Islam dalam komposisi sistem pemerintahan di Indonesia.
Perkembangan ini tidak lepas ketika turunya tahta Orde Baru dan meruntuslah beberapa aliansi-aliansi partai politik yang bernuansa Islami. (Gunaryo 2006, 320).
Perubahan era ini antara lain ditandai dengan pemilihan kepada daerah secara langsung oleh rakyat. Dari sinilah, sosok kyai atau ulama menemukan peluang dan aksesnya menjadi umara’.
***
Pelaksanaan pilkada secara langsung itu diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Ketika ruang politik dibuka pada zaman reformasi, banyak kalangan agamawan, kyai yang mulai menceburkan diri sebagai elit politisi.
Uniknya, sosok kyai dalam memainkan politik ialah tidak lepas dari kharismatiknya sebagai sosok ulama yang tradisional yang khas (Azizah 2013, 5).
Jika analisa ini dikembalikan pada subjektivitas siapa pelaku dalam merumuskan dalam adanya amandemen politik Islam dan berdirinya negara Islam ialah peran penting sosok individu itu sendiri.
Seorang Muslim yang sedang berpolitik mereka harus melibatkan kompetisi dan persaingan, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong dalam hal itu.
Penafsiran simbol-simbol dimainkan dengan latar belakang sebuah kerangka pokok yang meskipun subjek dikontekstualisasikan mengandung nuansa bersifat umum bagi kaum Muslim di dunia.
Mesti juga harus dipertimbangkan bahwa doktrinal hanya merupakan salah satu faktor di antara banyaknya faktor yang memberikan konstribusi terhadap terciptanya kerangka tersebut. (Piscatori 1998, 16).
Mencampuradukkan Agama Islam dan Aturan Negara, Bolehkah?
Dalam Islam,pernah menjadi sebuah perbincangan yang hangat mengenai politik dan Islam. Bahwa keduanya tidak boleh dicampuradukkan, karena sudah mempunyai porsi masing-masing. Sebenarnya lebih bermain kepada diksi dan epistimologi religius.
Membawa Islam ke arus politik memang menjadi sebuah bahan yang mudah dan gampang. Apalagi bermain dengan partai, kalau sudah membawa tokoh Islam dan mempunyai pengaruh, dipastikan akan berhasil.
Kadang kesalahanpenempatan yang menjadi rubrik yang tidak akan hadirnya pahala dunia maupun akhirat. Bahwa Islam kadang menjadi sebuah moda transportasi untuk menuju sebuah kekuasaan sesaat.
Nah, ini yang menjadi bahasan dalam Islam yang amat sangat runyam. Namun, ketika politik bermain dengan baik dan etika serta edukasi diperankan, berpolitik kekusaan menjadi akan baik dan benar. Sedangkan Islam menjadi sebuah nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan mutiara khazanah dalam membentuk adab dalam berpolitik yang baik.
Sumber Bacaan
(ed), M. A. (1986). Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Abdillah, M. (2011). Islam dan Dinamika Sosial Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Azizah, N. (2013). Artikulasi Politik Santri Dari Kyai Menjadi Bupati. Jember: STAIN Jember Press.
Fachruddin, F. M. (1988). Pemikrian Politik Islam. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya.
Gunaryo, A. (2006). Pergumulan Politik dan Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, N. (2012). Islam Politik Di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi dan Teori. Yogyakarta: SUKA Press.
Ismail, F. (2017). Sejarah dan Kebudayaan Islam Klasik Abad VII-XII H. Yogyakarta: IRCiSoD.
Kamil, S. (2013). Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentalisme dan Antikorupsi. Jakarta: Prenada Media Group.
Nasution, M. I. (2010). Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indoenesia Kontemporer. Jakarta: Prenada Media Grup.
Piscatori, D. F. (1998). Ekpresi Politik Muslim. Jakarta: Penerbit Mizan.
Taimiyah, I. (1997). As-Siyaasah Asy Syar’iyyah fii Ishlaahir Raa’i war Ra’yah terj. Kebijakan Politik Nabi SAW. Surabaya: Dunia Ilmu.