Feature

Konflik Muhammadiyah dengan PKI

2 Mins read

Perjuangan Muhammadiyah yang seirama dengan komunisme yang hadir dalam diri Haji Fachrodin ternyata juga menemui jalan pertentangan. Pada tahun 1920 terjadi persinggungan antara Muhammadiyah dengan Haji Misbach yang direpresentasikan sebagai ‘muslim komunis’.

Muarif (2010) menjelaskan pertentangan Muhammadiyah dengan komunisme telah terjadi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Keterlibatan salah satu tokoh Muhammadiyah yang bernama Haji Fachrodin, dalam sebuah organisasi yang bernama Indische Sociaal Democratisch Vereeniging (ISDV). Organisasi terseibut kemudian menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia lahir.

Pertentangan tersebut didasari oleh faktor ekonomi, yakni kepentingan para pedagang yang sudah mantap berhadapan dengan pengerajin dan pedagang kecil. Islamnya Muhammadiyah dan Komunisnya PKI pada saat itu mewakili kedua kepentingan tersebut (Nakamura: 1983 ).

Awal Mula Konflik

Ketika D.N Aidit memimpin PKI, mereka sangat giat dalam melakukan kampanye dan propaganda sehingga pada Pemilihan Umum tahun 1955 PKI berhasil mengumpulkan enam juta suara pemilih. Dengan hasil yang dicapai itu, PKI masuk salah satu dari empat besar setelah PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama (NU).

Meskipun PKI mendapat suara cukup besar dalam Pemilu, namun PKI tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk setelah pemilu tersebut.  Hal ini disebabkan kabinet yang terbentuk adalah kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU. Dari situlah kegaduhan politik antara PKI dan Masyumi berlangsung secara keras.

Konstelasi politik yang begitu sengit serta tarik ulur keberpihakan Presiden Soekarno membuat Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi bersikap tegas dalam melawan aksi-aksi provokatif PKI.

Sementara itu dalam khutbah pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-36, ketua PP Muhammadiyah KH Ahmad Badawi menyatakan bahwa ada oknum-oknum yang mempersulit Muhammadiyah.

“Akhir-akhir ini nampak jelas ada yang sengaja mengaburkan masyarakat terhadap Muhammadiyah dan dihubungkan dengan pembubaran partai Islam Masyumi. Padahal kalau orang tidak hendak melupakan jasa Muhammadiyah dan usaha-usaha Muhammadiyah dalam ikut serta membina jiwa kemerdekaan nasional yang telah 50 tahun ini, tentulah mereka tahu bahwa Muhammadiyah sejak tahun 1912 sudah berdiri, sedang Masyumi baru didirkan pada tahun 1945”

Pidato diatas mengindikasikan adanya bahaya yang disebabkan PKI terhadap Muhammadiyah. Setelah bubuarnya Masyumi, maka target PKI selanjutnya adalah membubarkan organisasi yang mempunyai hubungan dekat dengan Masyumi, diantaranya Muhammadiyah dan HMI (Purnawan: 2007).

Baca Juga  Social Distancing? Sejak Dulu Perempuan Sudah Mengalaminya!

Tragedi Gestapu/PKI

Konflik antara Muhammadiyah dan PKI semakin meruncing ketika terjadi peristiwa pembunuhan jendral-jendral pada 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi momentum balas dendam organisasi-organisasi yang selama tahun-tahun sebelumnya diusik oleh PKI. Tak terkecuali Muhammadiyah.

Pada tanggal 6 Oktober 1965, PP Muhammadiyah mengeluarkan statemen, bahwa Gestapu adalah bencana nasional. Tanggal 27 Oktober 1965, PP Muhammadiyah diwakili KHA Badawi dan Djarnawi Hadikusuma mengadakan perseteguhan janji dengan Mayjen Soeharto, di gedung Kostrad, untuk saling membantu menumpas Gestapu/PKI.

 Tanggal 9 sampai 11 November 1965 konferensi kilat Muhammadiyah yang memutuskan untuk berbulat tekad menuntut bubarnya PKI dan ormas-ormasnya yang mana disebutkan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu ibadah. Tuntutan itu dikemukakan oleh KH Ahmad Badawi kepada Presiden di Istana Merdeka pada tanggal 27 Oktober 1965.

Menanggapi kebijaksanaan PP Muhammadiyah ini, Angkatan Muda Muhammadiyah segera menggabungkan diri dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), dan akhirnya membentuk Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah), yang cepat menjalar ke seluruh wilayah Indonesia. Di seluruh Indonesia terdapat 80 batalyon anggota Kokam.

Kokam sendiri merupakan badan paramiliter yang berdiri di Jakarta pada 1 Oktober 1965 sebagai respons terhadap “Gerakan 30 September”. Ketua dan komandan pertamanya adalah Letnan Kolonel S. Prodjokusumo. KOKAM menyelenggaran pelatihan kursus Kader Takari yang memiliki tujuan untuk meningkatkan mental, daya juang keluarga besar Muhammadiyah dalam menghadapi segala kemungkinan.

Intruksi dari Kokam

Dilansir dari tirto.id sebagai Komandan Kokam, Letnan Kolonel S. Prodjokusumo mengeluarkan tiga instruksi penting:

1) Pembentukan Kokam di setiap cabang Muhammadiyah dan tiap pimpinan cabang harus memberikan laporan setiap hari ke mabes Kokam di Jl. Limau Kebayoran Baru

Baca Juga  Teladan Nabi Muhammad: Berita Viral Belum Tentu Benar, Berita Benar Harus Diviralkan

2) AMM disetiap cabang bertanggungjawab atas keselamatan semua keluarga Muhammadiyah di masing-masing cabang; seluruh pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah agar siap dan waspada menghadapi segala yang terjadi guna membela agama, negara dan bangsa

3) Mengadakan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan kekuatan-kekuatan anti Gerakan 30 September

Abi Fajar (2013) menyebut, di Yogyakarta sendiri, Tapak Suci ikut berperan dalam melawan anggota-anggota PKI. Kehadiran Tapak Suci yang ikut menggalang kekuatan dalam melawan komunis waktu itu dimaksudkan untuk mendorong kemunculan perguruan beladiri sejenis di daerah-daerah lainnya, terutama di daerah basis umat Muhammadiyah.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
11 posts

About author
Kader IMM Renaissance FISIP UMM
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds