Perspektif

Kongres Umat Islam Indonesia VII: Arah Perjuangan Pendidikan

7 Mins read

Indonesia dan Pendidikan Islam

Salah satu topik penting Kongres Umat Islam Indonesia ke VII adalah soal pendidikan Islam. Arah KUII yang akan dilaksanakan di Babel tanggal 26-29 Februari 2020 yang akan datang dalam bidang pendidikan adalah strategi perjuangan umat Islam untuk membangun Indonesia yang berkeadaban.

Artikel ini ingin mengeksplorasi salah satu modal penting pendidikan Islam yang,  dalam sejarahnya,  sangat mempengaruhi kecenderungan keagamaan di Indonesia. Sebagai modal,  maka penting dijadikan bahan pertimbangan untuk membangun dan memperkuat basis centers of excellence Islam di Indonesia ke depan.  

Peran Historis

Sejarah pendidikan Islam di Indonesia sudah sangat panjang, dimulai sejak pertama kali Islam didakwahkan dan berkembang. Di era formatif Islam ini, tentu apa yang disebut dengan pendidikan berbeda dengan apa yang saat ini diimplementasikan atau dikembangkan.

Pengertiannya masih sangat sebatas dengan menebarkan pemahaman/pengetahuan tentang Islam,  membangun kesadaran beragama sekaligus membangun watak atau kepribadian muslim dengan cara-cara atau metode yang masih sangat sederhana, tidak se-complicated hari ini.

Belum ada lembaga baik yang disiapkan oleh pemerintah atau masyarakat untuk mengelola pendidikan Islam ini. Pendidikan sepenuhnya sangat tergantung kepada para dai, mubaligh, dan ulama. Mereka adalah tokoh umat yang karismatik karena ketinggian moralnya,  ketaqwaannya,  ketulusannya,  ilmunya dan dedikasinya yang sangat tinggi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan umat sekaligus pemimpin yang sangat dihormati, didengar dan diikuti.

Saat komunitas atau masyarakat muslim sudah mulai terbentuk, maka pusat keislaman atau pusat pembelajaran/pendidikan ada di masjid dan tempat tinggal para dai, mubaligh, atau ulama. Di sinilah transformasi dimulai.  Lingkungan tempat tinggal dai, mubaligh, atau, ulama dan masjid berkembang menjadi apa yang sekarang disebut dengan “Pondok Pesantren.”

Ini terjadi di Jawa dan sementara di Sumatra Barat dikenal dengan sebutan “Surau.” Dari banyak kajian atau riset  yang dilakukan baik oleh para sarjana dari dalam maupun luar negeri, tergambar peran besar dua lembaga tersebut, yaitu Pesantren dan Surau.

Tidak saja sebagai centres of excellence Islam di mana kajian Islam dikembangkan , akan tetapi juga sebagai “cultural broker” begitu Zamakhsyari Dhofier menyebutnya.  Atau “agent of change/transformation” kata Dawam Rahardjo. Intinya, dari dua lembaga inilah lahir tokoh dan pemimpin umat yang mendalami agama Islam,  yang memimpin dan  menggerakkan umat untuk melakukan pemberdayaan dan perubahan penting dalam kehidupan masyatakat.

Lahirnya “The Champions”

Bahkan, dalam buku klasiknya,  “Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933),” Taufik Abullah memberikan catatan penting tentang kaitan antara pusat-pusat pendidikan Islam dengan politik.

Dari Pondok Pesantren dan Surau, lahir orang-orang penting, atau “the Champions” kata Imam Prasodjo,  sebagai penggerak dan “trend setters” dalam sejarah panjang Indonesia. Mereka selain ilmuan yang senantiasa menuliskan pandangan dan pemikirannya dalam kitab-kitab mereka yang sangat beragam,   juga para “heros” yang selalu menjadi teladan,  menginspirasi, dan menggerakkan nasionalisme saat berhadapan dengan imperialisme.

Baca Juga  Beberapa Fakta Ilmiah yang ada dalam Al-Qur'an

Melalui centers of excellence di atas,  Islam dan umat Islam dengan demikian tampil memainkan peran historisnya yang sangat penting di Indonesia.

Dinamika Intelektual Islam

Salah satu sisi penting pendidikan Islam ialah produktifitas karya intelektual Islam (Kitab Kuning) dan pengaruhnya terhadap kehidupan. Islam Indonesia sebetulnya sangat dipengaruhi oleh pandangan keislaman  yang tertuang di dalam berbagai literature keislaman berbahasa Arab ditulis oleh para ulama.

Kitab keislaman inilah yang kemudian dibaca, dipelajari, diajarkan, dan disebarkan di pesantren-pesantren. Juga di lembaga-lembaga pendidikan Islam, halaqoh-halaqoh, majlis-majlis taklim, gilda-gilda tarekat, dan sebagainya.

Tak berlebihan dikatakan bahwa Islam bisa terus berlangsung hingga saat ini karena memang jasa para ulama, pondok pesantren, lembaga-lembaga pendidikan, halaqoh-halaqoh, masjid, dan sebagainya. Kitab-kitab ini mendapatkan tempatnya yang  sangat penting.

Tanpa wadah-wadah kultural, keagamaan, dan intelektual Islam itu, Islam di Indonesia tidak akan berlangsung dan mengalami perkembangan yang berarti. Azyumardi Azra dengan gamblang menggambarkan bagaimana pengaruh jaringan intelektual keilmuan ini terhadap Islam di Indonesia.

Buku Abdul Munip juga memberikan informasi penting soal transmisi ilmu pengetahuan khususnya melalui penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Karena itu bisa dipahami mengapa umat Islam Indonesia bermazhab Syafi’i dalam soal Fikiih?

Pusat Intelektual Islam

Bahkan dalam konteks yang lebih luas, melalui pendekatan inilah kita juga  akan menemukan penjelasan mengapa di Indonesia muncul banyak organisasi Islam besar semacam Muhammadiyah, NU, dan Persis di awal abad XX.

Sekaligus memperoleh gambaran mengapa muncul tokoh semacam KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, dan A. Hassan. Ada akar sosial, keagamaan, dan intelektual yang bisa menjelaskan dinamika dan perkembangan Islam di Indonesia ini. Kitab-kitab keislaman yang ditulis oleh ulama Timur Tengah (Haramain) dan kemudian Mesir, misalnya, memperoleh tempatnya yang sangat baik di Indonesia.

Mekah, Madinah, dan juga Mesir, telah diakui sebagai pusat agama dan intelektual Islam yang sangat penting bagi Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Tidak sedikit orang muslim  yang pergi ke tiga pusat Islam ini dan bermukim serta belajar Islam dalam waktu tertentu.

Kembali ke Indonesia, mereka menjadi orang-orang penting yang mentransmisikan pengetahuan keislaman dengan mengajarkan berbagai kitab berbahasa Arab yang mereka peroleh. Lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu atau bahasa lokal lainnya atau menuliskan karya-karya mereka sendiri.

Tidak sedikit karya terjemahan dalam berbagai bidang keislaman yang dipublikasikan dan menjadi sumber intelektual dan keagamaan yang sangat penting. Mobilitas penerjemahan dan penulisan karya-karya keislaman menjadi trend setter bagi Islam di Indonesia.

Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa dunia penerbitan dan percetakan dalam tradisi intelektual Islam mengalami perkembangan yang sangat penting. Andi M. Faisal Bakti berpendapat bahwa Batavia, sejak VOC tahun 1619, adalah kota pertama dan dalam waktu yang panjang menjadi pusat percetakan.

Baca Juga  Corona Virus: The Common Enemy of Reshaping Humanity

Sejak itulah, sejumlah buku berbahasa Melayu, dicetak/diterbitkan. Di beberapa wilayah lain (Ambon, Kupang, Banjarmasin, Semarang, Padang, Penang, Johor, Singapore, dan Malaka), bermunculan industri percetakan/penerbitan ini.

Virginia Matheson dan M.B. Hooker dalam artikel mereka bahkan menyebutkan  bahwa selama abad 19 kitab-kitab berbahasa Melayu (Jawi) dicetak di Timur Tengah, Mesir dan Istanbul dan setelah tahun 1885 di cetak di Mekah.

Catatan ini tentu saja menarik karena memperkuat pandangan bahwa sebetulnya hubungan-hubungan intelektual Islam  ini telah terjalin dengan berbagai pusat-pusat Islam internasional. Memang, sebagaimana yang dicatat oleh Faisal, bahwa sejak didirikannya penerbitan pemerintah Mekah tahun 1884, berbagai kitab berbahasa Arab dan Melayu berkembang pesat. Bahkan ada seksi khusus di penerbitan ini yang menerbitkan kitab-kitab berbahasa Melayu yang dipimpin oleh Ahmad b Muhammad Zayn al-Patani.

Ada juga seorang sarjana muslim lain yang telah lama bermukim di Mekah yaitu Zaynuddin al-Sumbawi. Zaynuddin juga menulis karya litografis awal tahun 1876. Adanya seksi penerbitan Melayu di Mekah ini kemudian, kata Faisal, diikuti di Istanbul, Mesir dan bahkan juga Indonesia.

Salah seorang tokoh penting di Indonesia ialah Sayyid Usman (Betawi) dan juga Kemas Haji Muhammad Ashari (Palembang) yang menerbitkan Al-Qur’an tahun 1854. Wilayah penting lainnya ialah Pulau Penyengat (Riau) dengan berdirinya Mathbaat Ahmadiyah tahun 1894 oleh Sultan Riau Muhammad Yusuf.

Islam, lagi-lagi, melalui apa yang disebut-sebut dengan Transmisi telah ikut mempersubur dan memperkaya hazanah budaya dan intelektual di Nusantara. Dari catatan sejarah kita dapatkan gambaran mobilitas para ulama untuk melakukan perjalanan ke berbagai wilayah  untuk menyebarkan Islam maupun ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji sekaligus mendalami Islam.

Bahkan Ibn Batutah sendiri menginformasikan bahwa Malik a-Zahir (1326-1371), penguasa Samudra Pasai, memprakarsai program pertemuan intensif dengan sejumlah ulama dari berbagai negara antara lain Syarif Amir Sayyid dari Shiraz dan Tajuddin dari Isfahan untuk melakukan kajian bersama terutama mengenai masalah-masalah teologi. Pasai, dengan demikian, pada masa itu telah berkembang menjadi pusat studi Islam kosmopolit.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Kerajaan Malaka (1400-1511) dan kerajaan Islam di Aceh (1511-1650). Pada era-era ini sejumlah karya dalam berbagai bidang kajian keislaman secara mendalam mulai tersebar.

Mucullah Hamzah Fansuri, spesialis bidang mistisisme yang pemikirannya dinilai sangat besar mempengaruhi Serat Suluk Sukarsa (kitab suluk tertua di Jawa), Syamsuddin al-Sumatrani (komentator karya Hamzah Fansuri dan penasehat spiritual Sultan Iskandar Muda), Nurudin al-Raniri (ulama Sufi dan Syekh Tarekat Rifaiyah, penyerang Hamzah dan Syamsuddin), Bukhori al-Jauhari (penulis Kitab Tajus Salatin).

Baca Juga  اللغة العربية ضرورة للفهم الصحيح للدين

Diskursus intelektual ini semakin memperoleh momentumnya yang tepat sejak kerajaan Islam Johor-Riau (1650-1800) dan hadirnya Raja Ali Haji yang sangat dikenal sebagai seorang raja dan sekaligus sarjana yang mempunyai otoritas untuk mengajar teologi, hukum, mistisisme, bahasa Arab dan memberikan perhatian penuh pada program skolarship.

Berbagai karyanya (Bustan al-Katibin, Thamarat al-Muhimmat, Intizam Waza’if al-Malik, Tuhfat al-Nafis, Silsilah Melayu dan Bugis, Kitab Pengetahuan Bahasa, Gurindam Dua Belas dan sejumlah syairnya) telah membuktikan bahwa dia telah memberikan kontribusi intelektual Islam yang sangat penting dalam bidang-bidang agama, sastra, politik, sejarah dan hukum di Indonesia.

Barbara  Watson Andaya dan Virginia Matheson menyebutkan bahwa Raja Ali Haji adalah cendekiawan yang termasyhur di kalangan bangsanya.

Jadi, abad XVI, XVII hingga abad XX adalah periode penting terbangunnya tradisi intelektual Islam melalui berbagai publikasi karya terjemahan, komentar tentang masalah-masalah keislaman, karya keagamaan dan juga sastra yang disusun oleh para ulama  dalam bahasa Melayu.

Jika dikatagorikan, maka, menurut Faisal, ada empat gelombang penulis yaitu: (a) Mistisisme yang antara lain direpresentasikan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Dua penulis ini diyakini banyak memperoleh pengaruh dari panteisme Ibnu Arobi dan Abdul Karim al-Jilli (b) Ortodoksi dan Fiqih Suni.

Gelombang ini antara lain diwakili oleh al-Raniry yang mengkritik keras kecenderungan mistikal Hamzah dan Syamsuddin sebagai sesat; Arshad al-Banjari yang menterjemahkan sekaligus menggunakan Kitab Sirat al-Mustaqim karya Raniri untuk menulis buku tentang fiqih Sabil al-Muhtadin. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Syaikh Taftayani, seorang ulama ahli hukum Islam. (c). Para penulis dari Tarekat. Diantara tokoh yang mewakili gelombang ini ialah Syaikh Burhanuddin, murid Raniri dan tokoh penting Tarekat Syatariah di Ulakan; Syeikh Yusuf al-Makassari tokoh penting Tarekat Khalwatiyah.

Diyakini bahwa tarekat-tarekat ini mengandung unsur-unsur non-Islam, maka Tarekat Naqsyabandiyah berupaya menampilkan Islam yang lebih ortodoks.  (d) Reformis yang antara lain diwakili oleh Sayyid Usman dan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang dengan terang-terangan menyerang Tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat-tarekat lainnya.

Gelombang terakhir inilah yang kemudian banyak bersentuhan dengan gagasan pembaharuan atau reformisme Islam (Tajdid) Mesir yang antara lain mengusung pemurnian Islam, pemahaman Islam rasional, pendidikan dan politik sebagaimana yang kemudian di Indonesia  digerakkan,  misalnya,   oleh Muhammadiyah, di awal abad ke XX yang pengaruhnya masih sangat terasa hingga hari ini.  

Berita Pikiran

Uraian di atas menawarkan beberapa berita pikiran (discourses) yang penting dan bisa dijadikan sebagai salah satu bahan untuk meningkatkan kualitas dan terobosan penting pendidikan Islam:

Pertama, Islam adalah sebuah doktrin atau ajaran transendental Ilahi yang, untuk kebutuhan kemaslahatan umat,  haruslah diterjemahkan menjadi kekuatan historis empiris membangun kehidupan yang berkeadaban. Pendidikan adalah jalan strategis untuk mewujudkan Islam historis ini.

Kedua, mengkreasi dan membangun pendidikan Islam sebagai centers of excellence adalah sebuah keniscayaan. Centers of excellence inilah yang menjadi tempat di mana ilmu pengetahuan dikaji, diperdebatkan dan dikembangkan,  kepribadian ditempa dan pemimpin dilahirkan. Jadi,  centers of excellence pendidikan ini adalah laboratorium ilmu pengetahuan, laboratorium sosial dan kepemimpinan.

Ketiga, karya intelektual yang secara terus menerus direproduksi adalah bagian penting yang harus dilakukan oleh centers of excellence pendidikan Islam. Karya-karya intelektual inipun haruslah benar-benar dirasakan kehadirannya dan memberikan manfaat seluas-luasnya untuk kemaslahatan umum.

Keempat, centres of excellence pendidikan Islam haruslah juga merupakan laboratorium kebangsaan yang bertugas antara lain melahirkan warga bangsa dan pemimpin yang berjiwa nasionalis, relijius, terpercaya dan berdedikasi tinggi membangun kemaslahatan bersama. Wallahilu a’lam.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Indonesia Berkemakmuran, Kemakmuran untuk Semua

4 Mins read
Menyongsong Milad ke-112 tahun ini, Muhammadiyah mengambil tajuk “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua”, tema yang sama juga akan digunakan sebagai identitas acara Tanwir…
Perspektif

Refleksi Milad ke-112 Muhammadiyah: Sudahkah Dakwah Muhammadiyah Wujudkan Kemakmuran?

3 Mins read
Beberapa hari yang lalu, ketika ibadah Jumat, saya kembali menerima Buletin Jumat Kaffah. Hal ini membawa saya pada kenangan belasan tahun silam…
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds