Falsafah

Konsep Hukuman (Punishment) Tak Cocok Diterapkan di Dunia Pendidikan

4 Mins read

Pendahuluan

Tingkat kesuksesan suatu sisten pendidikan, tidak akan pernah lepas dari metode yang diterapkan. Untuk mampu menginternalisasi nilai-nilai pendidikan secara komprehensif, perlu diaktualisasikan metode yang tepat, tidak hanya secara intelektual, namun juga secara psikis anak didik.

Hal itu diperuntukkan agar anak didik mampu secara utuh memahami dan menyadari suatu nilai yang diajarkan. Sehingga mampu diimplementasikan secara realistis. Dalam Islam, metode pendidikan harus diapilkasikan dengan bijak. Sebagaimanaya yang Allah firmankan dalam QS. Al-Nahl: 125

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik

Secara eksklusif, penggalan ayat tersebut merupakan satu titah Tuhan yang menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya pendidikan diimplementasikan. Yaitu dengan bijak dan metode yang baik. Hal ini bertujuan agar internalisasi nilai dalam pendidikan berjalan secara efisien, termasuk bagaimana efisiensi penerapan konsep punishment.

Definisi Punishment

Punishment merupakan suatu metode yang sudah wajar diregulasikan dalam metode pendidikan dewasa ini. Yaitu suatu bentuk balasan yang tidak menyenangkan sebagai timbal balik atas perbuatan yang telah dilakukan anak didik. Tindakan punishment merupakan bentuk motivasi untuk anak didik agar meningkatkan kualitas belajar atau hidupnya (Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 202).

Punishment menjadi salah satu intrumen penting dalam pendidikan, sebab berhubungan dengan internalisasi karakter dalam diri seseorang. Alfred Adler, psikolog Austria dan Ibnu Sina, tokoh Islam yang fenomenal, memberikan gagasan yang mana keduanya memiliki ekuibilitas dalam mengkonstruksi pendidikan, lebih-lebih dalam konsep punishment.

Biografi Singkat Adler dan Ibnu Sina

Alfred Adler dilahirkan di Wina, ibukota Austria, pada 9 Februari 1870. Dalam ranah pendidikan, ia mendalami ilmu kedokteran, khususnya dalam bidang opthamologi dan kemudian beralih ke psikiatri.

Baca Juga  Ortodoksi, Ortopraksi dan Heteredoksi (Bagian 3)

Ia pernah berafiliasi dalam gerakan Psychoanalytic Assocation bersama Sigmund Freud, sebelum ia memutuskan untuk beroposisi dan membentuk aliran baru yaitu “Individual Pstchology”.

Seiring berkembangnya waktu, gagasan psikologi individual Adler meruak dan mempengaruhi beberapa tokoh besar lain, seperti Abraham Maslow, Viktor Frankl, dan lainnya (Eka Nova Irawan, Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Psikologi Dari Klasik Sampai Modern, 83-86).

Sedangkan Ibnu Sina, yang memiliki nama lengkap Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina, lahir pada 980 M di Asyfanah, kota kecil di Uzbekistan dan masyhur di Barat dengan sebutan Avicenna.

Dengan latar belakang keluarga yang mapan, Ibnu Sina mulai menimba ilmu sejak 5 tahun. Seiring bertambah umur, Ibnu Sina menguasai beberapa bidang ilmu seperti kedokteran, politik, logika, fikih, dan masih banyak lagi.

Bahkan, terdapat suatu riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu Sina sudah mumpuni dalam bidang keilmuan pada umur 10 tahun (Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam).

Pendidikan Perspektif Ibnu Sina dan Adler

Walaupun Adler tidak konsen kepada pendidikan secara spesifik, akan tetapi jika dihubungkan antara gagasannya dengan pendidikan, maka akan ditemukan satu ikatan yang komutatif. Adler memandang manusia merupakan satu manusia dengan potensi yang variatif.

Variable yang ada dalam jiwa manusia memerlukan satu titik acuan dalam menghasilkan suatu tindakan. Psikologi individualistik, yang dicetuskan oleh Adler, merupakan satu sistem yang mengkonstruk pola hidup manusia.

Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan, Adler berorientasi kepada independensi individu dalam menentukan arah hidupnya, sehingga mampu meraih superioritas (Ahmad Saifudin, Psikologi Umum Dasar, 101).

Sedangkan, pendidikan bagi Ibnu Sina merupakan material yang orientatif sebagai kompas kehidupan. Secara argumentatif, Ibnu Sina berspekulasi bahwa pendidikan harus memiliki orientasi yang eksklusif dalam pengembangan potensi kultural manusia.

Baca Juga  Enam Catatan KPAI untuk Mendikbud: Sistem PJJ Harus Diperbaiki

Selain itu, pendidikan juga harus mampu menuntun manusia masuk ke dalam potensi dirinya dan menemukan kecakapan dalam bidang tertentu. Selain itu, kualitas moral juga menjadi konsen utama bagi Ibnu Sina (Ibnu Sina, al-Siyasah fi al-Tarbiyah, 1076).

Konsep Punishment dalam Pendidikan: Tinjauan Ibnu Sina dan Adler

Dalam memahami konsep punishment, Ibnu Sina tidak memberikan porsi lebih untuk mengaplikasikan punishment dalam ranah pendidikan. Punishment berpotensi besar membentuk karakter-karakter buruk dalam sanubari peserta didik.

Konsep seperti itu menyimpang dari orientasi pendidikan bagi Ibnu Sina, yaitu moral yang baik. Dikatakan baik secara moral, jika hati anak didik terlepas dari anasir-anasir negatif yang nantinya mendorong anak didik untuk bertindak tidak sesuai kaidah sosial (Siti Qurrotul A’yuni, Analisis Pemikiran Pendidikan Menurut Ibnu Sina dan Kontribusinya Bagi Pendidikan Islam di Era Modern, 231)

Metode pengajaran yang diutamakan oleh Ibnu Sina adalah humanis. Dalam kata lain, proses internalisasi pengetahuan, budaya, maupun nilai moral, seharusnya harus dengan cara yang lembut dan penuh kasih saying.

Untuk itu, penerapan punishment benar-benar harus diminialisir. Akan tetapi, punishment tidak dinegasikan secara keseluruhan, melainkan harus dengan batasan-batasan yang kompatibel dengan orientasi awal, yaitu standar moral. Dalam hal ini, punishment masih relevan dalam proses pendidikan, akan tetapi jika benar-benar dibutuhkan.

Sedangkan, Alfred Adler menolak konsep punishment yang diaplikasikan dalam ranah pendidikan. Secara argumentatif, Adler berspekulasi bahwa konsep punishment mengarahkan anak didik pada gaya hidup yang keliru. “Kita tidak melanggar suatu aturan, untuk tidak dihukum oleh pihak yang berwewenang”. Kalimat tersebut menjadi dasar bagi Adler bahwa konsep punishment yang diaplikasikan dalam ranah pendidikan adalah suatu kekeliruan. Kekeliruannya adalah, seseorang melakukan tindakan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. (Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, Berani Tidak Disukai, 134).

Baca Juga  Setelah Mendapatkan Beasiswa, Berapa Biaya yang Harus Ditanggung Sendiri?

Lebih jelasnya, konsep punishment mengajarkan seseorang untuk tidak hidup berlandas diri sendiri. Bertindak karena suatu perbuatan tersebut adalah kewajiban, dan tidak bertindak karena suatu perbuatan tersebut adalah larangan, adalah pengekangan diri. Yang dimaksud dengan pengekangan diri adalah seseorang tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, melainkan terikat dengan hal-hal di luar dirinya.

Anak didik jika tidak melakukan sesuatu karena sebelumnya ia sudah menyadari adanya konsekekuensi balasan atau hukuman, maka bisa dikatakan anak didik tersebut belum menuai nilai-nilai pendidikan seperti yang diinginkan.

Konsep Punishment adalah Hal Tabu di Dunia Pendidikan

Titik temu antara pemikiran Ibnu Sina dan Alfred Adler dalam konsep punishment di sini adalah bahwa punishment merupakan suatu konep yang tabu dalam pendidikan.

Punishment tidak mengarahkan seseorang untuk mampu menuai nilai-nilai pendidikan secara komprehensif. Punishment tidak memberikan pelayanan moral yang utuh, melainkan mengekang anak didik dalam mengimplementasikan tindakannya.

Salah satu tanda bahwa anak didik tersebut sudah mampu menangkap nilai-nilai pendidikan yang benar adalah perbuatan baik yang disandarkan pada kesadaran dirinya. Apabila seseorang tidak melakukan suatu tindakan karena takut hukuman, maka anak didik tersebut belum sepenuhnya menyadari nilai-nilai pendidikan yang diajarkan kepada dirinya.

Editor: Yahya FR

Mahfudhin
13 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran dan Sains Al Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds