Perspektif

Pendidikan Haruslah Menyadarkan

3 Mins read

Di tengah berbagai krisis bangsa, kita selalu menaruh harapan pada dunia pendidikan. Harapannya, dengan pendidikan yang bermutu, anak-anak kita akan menjadi pemimpin bangsa yang lebih baik untuk Indonesia di masa depan.

Harapan itu, pada hemat saya, amat masuk akal. Percuma kita membenahi segala bidang kehidupan bersama, tetapi mengabaikan pendidikan.

Pendidikan yang bermutu adalah kunci utama untuk menjadi bangsa yang berkarakter, yakni bangsa yang maju budaya serta peradabannya. Namun, apa metode yang tepat untuk mendidik anak-anak kita?

Jawaban atas pertanyaan ini mengajak kita untuk kembali ke lebih dari dua ribu tahun yang lalu, yakni ke dalam perdebatan antara Aristoteles dan Plato, gurunya, tentang pendidikan.

Secara sederhana, Plato, dengan menggunakan mulut Sokrates di dalam tulisan-tulisannya, berpendapat, bahwa pendidikan adalah soal intelektualitas. Untuk menjadi baik berarti memahami sungguh apa artinya baik. Jika orang belum menjadi baik, maka ia tidak paham arti sesungguhnya dari baik itu sendiri.

Sementara itu, bagi muridnya, Aristoteles, intelektualitas semata tidaklah cukup. Memahami arti kata jujur tidak otomatis membuat orang jujur. Bahkan, pengertian sejati tentang kata jujur pun juga belum cukup untuk membuat orang menjadi jujur di dalam tindakannya sehari-hari.

Kunci pendidikan adalah membentuk kebiasaan, sehingga akhirnya menjadi karakter. Untuk menjadi jujur, orang perlu dikondisikan dan dibiasakan untuk menjadi jujur, sehingga akhirnya kejujuran sungguh menjadi bagian utuh dari dirinya.

Kondisi Indonesia Saat ini

Pada hemat saya, dua pandangan di atas selama ini menjadi inti perdebatan dunia pendidikan di Indonesia.

Di satu sisi, ada pandangan yang melihat pendidikan sebagai proses untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan pengetahuan serta informasi. Dalam konteks ini, penelitian amatlah penting untuk dilakukan.

Baca Juga  Empat Pola Pendidikan Orang Tua Kiai Ahmad Dahlan

Pendidikan adalah proses membagi hasil penelitian kepada siswa, dan kepada masyarakat luas. Di dalam pandangan ini, proses analisis adalah bagian utama dari pendidikan. Pendidikan berarti melihat dunia, dan membaginya ke dalam bagian-bagian kecil (analisis) dengan tujuan untuk memahaminya.

Kunci utama pendidikan adalah pemahaman yang benar yang didasarkan pada informasi, penelitian, dan pengetahuan yang juga benar. Namun, sayangnya, pandangan ini, walaupun terkesan ilmiah dan masuk akal, punya kelemahan yang amat fundamental.

Yang pertama, informasi ilmiah hasil dari analisis sering hanya berhenti semata menjadi pengetahuan, hanya olah intelektual, tanpa mampu mengubah pandangan hidup seseorang. Orang sering cerdas menyerap beragam informasi, tanpa mengalami perubahan cara berpikir atas dirinya sendiri.

Hal ini juga yang menjelaskan, mengapa banyak teroris adalah orang-orang yang amat cerdas secara intelektual, namun mampu melakukan perbuatan kejam dengan membantai orang-orang yang tak bersalah.

Tumpukan informasi dan pengetahuan juga tidak mengubah perilaku seseorang. Orang bisa menyebutkan makna kejujuran dari beragam agama dan pemikiran para filsuf, sambil terus melakukan korupsi.

Informasi pada akhirnya menjadi tumpukan sampah di kepala yang tidak mendorong perubahan cara berpikir, apalagi perubahan perilaku sehari-hari.

Pada titik ini, kita perlu mempertimbangkan pandangan kedua. Pandangan kedua menyatakan, bahwa informasi dan pengetahuan tidak cukup, tetapi juga harus sampai pada pengkondisian nilai-nilai hidup, sehingga akhirnya pengetahuan dan informasi menjadi nilai-nilai keutamaan yang membawa perubahan cara berpikir, dan juga membawa perubahan perilaku sehari-hari.

Inilah yang menurut saya menjadi inti dari pendidikan karakter. Akan tetapi, apakah pendidikan semacam ini sudah ideal?

Saya melihat setidaknya satu kelemahan mendasar di dalam pendidikan semacam ini. Salah satu dasar dari pendidikan adalah kebebasan.

Baca Juga  Flashcards: Metode Pengajaran Al-Qur'an untuk Tunarungu
***

Informasi dan pengetahuan digunakan untuk memperbesar kebebasan manusia sehingga ia tidak hanya tunduk patuh pada hukum-hukum sosial saja, tetapi bisa bersikap kritis, dan turut serta di dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Konsep pengkondisian dan pembiasaan berusaha membentuk manusia seturut dengan hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat.

Dengan cara itu, eksistensi manusia disempitkan semata menjadi alat-alat masyarakat, dan kehilangan martabat yang dicirikan melalui kebebasannya.

Upaya Penyadaran

Di tengah perdebatan antara paradigma pendidikan Aristotelian (pembiasaan dan pengkondisian) dan Platonian (pengetahuan), kita lupa untuk menawarkan pendidikan sebagai upaya penyadaran.

Untuk mencapai proses penyadaran, pendidikan harus mampu mengajak orang untuk merasa. Merasa dengan keseluruhan eksistensi diri.

Hanya dengan hal itu, kejujuran tidak lagi sekadar konsep ataupun informasi, melainkan menjadi “rasa kejujuran” yang menempel di dalam seluruh diri. Kemurahan hati pun tidak lagi sekadar kebiasaan, yang sebelumnya dilatih dalam proses pengkondisian, melainkan menjadi gerak keseluruhan diri yang muncul dari perasaan yang mendalam tentang realitas itu sendiri.

Pada titik ini, pendidikan tidak lagi soal menghafal fakta, atau membangun kebiasaan, melainkan soal membangkitkan kesadaran diri manusia terhadap diri dan lingkungannya.

Kesadaran lantas mengubah cara orang di dalam melihat dunianya. Dan dengan itu, kesadaran mengubah seluruh diri manusia.

Manusia menjadi bebas, bermartabat, sekaligus aktif membangun dunia dengan kebebasannya.

Ia tidak lagi menjadi bank informasi, yang hanya pandai menyerap dan memuntahkan informasi. Ia juga tidak lagi menjadi robot-robot hasil bentukan lingkungan sosialnya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara rutin dan sistematik, sehingga menjadi pribadi yang tak mampu berpikir kritis, apalagi mengubah dunia ke arah yang lebih baik.

Membangun kesadaran berarti menolak untuk tunduk pada satu atau dua pola pendidikan yang seringkali memenjara jiwa, melainkan melihat realitas apa adanya dengan segala rasa yang ada di dalam eksistensi diri manusia, lalu bertindak atas dasar rasa serta kebebasan itu.

Baca Juga  Tidak Ada Standar Kepahlawanan

Hal ini begitu penting karena kualitas sebuah bangsa tidak hanya dilihat dari tingkat ekonominya saja, tetapi dari kualitas pribadi rakyatnya.

Pendidikan di Indonesia perlu menjadikan penyadaran sebagai jantung hati paradigma dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya.

Hanya dengan begitu, kita bisa membangun harapan yang konkrit akan masa depan yang lebih baik dan bermartabat untuk generasi selanjutnya. Salam.

Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana|Aktivis Lingkungan| Komunitas sastra Alekot|Pengembara| Akun Facebook: Honing Alvianto Bana| Tiga tahun sesekali terlihat di Oenasi|Kelahiran Soe, NTT|
Articles
Related posts
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…
Perspektif

Kapan Seseorang Wajib Membayar Zakat Penghasilan?

2 Mins read
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam yang tidak hanya berdimensi keimanan tapi juga berdimensi sosial. Secara individu, zakat merupakan wujud keyakinan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *