Akhir-akhir ini muncul fenomena konten kreator yang “numpang viral” pada tokoh terkenal di media sosial. Sering kita lihat seseorang yang tampangnya mirip ustadz dengan berapi-api menyerang ustadz lain yang lebih terkenal hanya karena perbedaan pendapat.
Tidak jarang narasi yang dibangun menggiring pada pembunuhan karakter, mentahdzir dengan predikat-predikat negatif seperti subhat, sesat, menyimpang, keblinger, bid’ah, jangan berguru padanya, bahkan sampai pada vonis kafir.
Apakah konten kreator berbaju sunnah ini pernah melakukan tabayyun, berusaha bertemu langsung, diskusi ilmiah, mendengar dengan seksama dan mencoba memahami? Nyatanya tidak. Boleh jadi niatnya memang bukan untuk mencari solusi dan pencerahan, tujuannya hanya mengeruhkan air supaya bisa mendapat ikan yang lebih besar berupa follower. Mempertaruhkan kewarasan dan bermain-main dengan agama hanya supaya viral.
Tren numpang viral orang terkenal di media sosial ini sering kali terjadi karena visibilitas dan pengaruh, akses ke audiens yang luas, branding dan kredibilitas dan tentu saja hal tersebut menjadi bagian dari strategi pemasaran.
Konten yang bersifat provokatif atau menantang sering kali lebih cepat menjadi viral karena memicu perdebatan. Dengan menyerang ustadz terkenal, konten kreator bisa menarik perhatian khalayak yang mendukung atau membela sang ustadz, serta mereka yang senang dengan kontroversi.
Pasangan yang serasi, di satu sisi ada masyarakat yang suka bertengkar, di sisi lain ada yang senang melihat saudaranya bertengkar.
Ustadz terkenal biasanya memiliki pengikut yang besar. Dengan menyerang mereka, konten kreator bisa memanfaatkan massa yang sudah ada, dan beberapa di antaranya mungkin akan mengikuti diskusi atau bahkan berpindah untuk mengikuti si penyerang.
Sayangnya kadang konten kreator semacam ini malah mengaku paling sunnah dan merasa paling benar, padahal hanya membikin kegaduhan.
Serangan atau kritik keras cenderung meningkatkan engagement seperti komentar, debat, dan like atau dislike. Engagement tinggi ini bisa membantu algoritma platform media sosial menampilkan konten tersebut kepada lebih banyak orang, yang akhirnya meningkatkan pengikut. Langkah terbaik segera memblokir konten yang hanya mengadu domba ini.
Beberapa konten kreator ingin terlihat sebagai sosok yang berbeda atau “berani” dengan menantang otoritas, termasuk ustadz atau tokoh agama terkenal. Ini bisa menarik pengikut yang tidak setuju dengan ustadz tersebut atau merasa bahwa kritik tersebut sahih.
Padahal diajak debat langsung pada ngumpet dibalik layar media sosial, bahkan ada beberapa yang tidak mau menampakkan jati dirinya.
Namun, jika kritik atau serangan tidak berdasarkan argumen yang kuat, logis, atau konstruktif, konten kreator bisa kehilangan kredibilitas dan dianggap hanya mencari sensasi atau numpang tenar.
Pengikut setia ustadz terkenal mungkin akan bereaksi keras dengan menyerang balik atau memboikot konten kreator. Hal ini bisa berujung pada citra negatif di mata publik, dan bahkan perundungan online (cyberbullying).
Meskipun serangan terhadap ustadz terkenal bisa meningkatkan pengikut dalam jangka pendek, strategi ini bisa merusak reputasi konten kreator dalam jangka panjang. Audiens mungkin melihat mereka sebagai tidak autentik atau hanya mencari sensasi demi popularitas.
Bahkan, selalu menyerang ustadz terkenal hanya untuk meningkatkan popularitas bisa dipertanyakan kewarasannya dari sudut pandang etika, moralitas, dan kesehatan mental.
Tindakan semacam ini bisa mencerminkan masalah psikologis, seperti narsisme, di mana seseorang mencari validasi dan perhatian secara ekstrem, tanpa peduli dampaknya bagi orang lain.
Menyerang figur publik, terutama yang dihormati, bisa jadi tanda ketidakmampuan seseorang untuk mencapai popularitas secara sehat atau organik. Jika seseorang merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan kepuasan itu adalah dengan menyerang orang terkenal, ini bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan yang tidak sehat dengan media sosial dan popularitas.
Tindakan seperti ini bisa menciptakan atmosfer permusuhan dan perpecahan di masyarakat. Di era digital, informasi menyebar dengan cepat, dan serangan terhadap tokoh agama bisa memperdalam polarisasi sosial, yang berdampak negatif pada hubungan sosial dan harmoni komunitas.
Dari perspektif etika Islam, menyerang ustadz lain hanya untuk mendongkrak popularitas adalah tindakan yang jelas-jelas dilarang. Ini bertentangan dengan nilai-nilai ghibah, fitnah, niat ikhlas, ukhuwah Islamiyah, adab dalam berdebat, dan menjaga lisan.
Dalam Islam, tindakan yang mengorbankan kehormatan orang lain demi keuntungan pribadi, apalagi dalam hal agama, sangat dikecam. Setiap Muslim diingatkan untuk selalu menjaga niat yang baik, berbuat dengan ikhlas, dan menjunjung tinggi adab serta akhlak yang mulia dalam segala tindakan.
Islam memiliki mekanisme tabayyun untuk menyelesaikan masalah. Tabayyun dalam Islam berarti melakukan klarifikasi, verifikasi, atau investigasi sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi, terutama ketika ada perbedaan pendapat.
Dalam konteks perbedaan pendapat dalam memahami agama, etika tabayyun sangat penting untuk menjaga keharmonisan dan persatuan umat Islam, serta mencegah fitnah, salah paham, dan perpecahan.
Dalam perbedaan pendapat, penting bagi seseorang untuk melakukan tabayyun sebelum menuduh, menghakimi, atau menyebarkan informasi yang tidak benar tentang pandangan orang lain.
Memastikan bahwa informasi yang diterima benar, Memverifikasi sumber informasi, Bertanya langsung kepada pihak yang bersangkutan jika ada ketidakjelasan sebagaimana diajarkan Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6.
Perbedaan pendapat dalam Islam sering kali terjadi, dan ini bisa menjadi peluang untuk saling belajar dan memahami. Namun, etika Islam menuntut agar dialog dilakukan dengan hikmah (kebijaksanaan) dan nasihat yang baik.
Bukankah dalam Surat An-Nahl ayat 125 Alloh memerintahkan “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.”
Etika ini mengajarkan untuk menghindari sikap kasar, menghina, atau merendahkan pandangan orang lain. Menggunakan bahasa yang sopan dan beradab. Menyampaikan argumen dengan lembut dan bijak, tidak memaksakan pendapat.
Dalam berdebat, penting untuk tidak langsung menyalahkan atau mengikuti pendapat orang lain tanpa memahami alasan di balik pendapat tersebut. Setiap Muslim didorong untuk mencari kebenaran melalui dalil yang jelas dan melakukan tabayyun dalam memahami pendapat yang berbeda.
Salah satu etika utama dalam tabayyun adalah menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim). Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling memutuskan hubungan, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).
Ketika terjadi perbedaan pendapat, jangan biarkan hal tersebut memecah persaudaraan. Umat Islam diperintahkan untuk selalu mencari jalan tengah yang bisa menjaga harmoni dan hubungan baik di antara mereka, bahkan jika mereka berbeda pandangan dalam hal-hal yang tidak pokok (furu’).
Dalam Islam, tawadhu’ (rendah hati) menjadi salah satu sikap yang dianjurkan, terutama dalam konteks perbedaan pendapat. Jangan merasa bahwa pendapat pribadi adalah yang paling benar, dan buka diri untuk menerima koreksi atau masukan dari orang lain.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim). Rendah hati dalam menerima pendapat lain serta siap belajar dari kesalahan adalah bagian dari akhlak mulia dalam Islam.
Islam melarang perdebatan yang hanya bertujuan hanya untuk memenangkan argumen tanpa mencari kebenaran. Rasulullah SAW bersabda: “Aku menjamin sebuah rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia berada di pihak yang benar.” (HR. Abu Dawud).
Jika perbedaan pendapat mulai mengarah pada debat kusir yang tidak produktif, Islam menganjurkan untuk menghentikannya. Tujuan utama adalah mencari kebenaran, bukan memenangkan perdebatan.
Islam menekankan pentingnya menjaga adab dalam segala hal, termasuk ketika berdialog atau berdebat. Adab dalam perbedaan pendapat antara lain dilakukan dengan tidak memotong pembicaraan lawan bicara (memotong video) untuk mempertajam kesan perbedaan.
Tidak mengejek atau merendahkan lawan bicara. Mendengarkan dengan seksama sebelum memberikan tanggapan. Menghindari emosional dan tetap tenang selama perdebatan.
Tabayyun dalam Islam sangat penting ketika menghadapi perbedaan pendapat dalam memahami agama. Melalui proses tabayyun, seorang Muslim diharapkan untuk melakukan klarifikasi, berdialog dengan hikmah, merujuk pada sumber yang sahih, dan menjaga persaudaraan. Sikap rendah hati dan terbuka untuk belajar, serta menjauhi debat kusir, adalah bagian dari etika tabayyun.
Dengan menjalankan etika ini, umat Islam dapat menjaga harmoni dalam perbedaan dan mencegah perpecahan di antara mereka. Menebarkan perpecahan, permusuhan, kegaduhan bahkan hanya untuk ketenaran dan cuan adalah sikap yang jauh dari ajaran sunnah. Telah ada suri tauladan yang baik pada pribadi Rasulullah Saw jika ingin mengikuti sunnah yang baik.