Banyak penjelasan faktor-faktor keruntuhan peradaban muslim pada abad ke-10 dan ke-11. Paling dominan adalah penjelasan politik. Misalnya, dunia muslim runtuh akibat persaingan politik yang berakar sejak Perang Shiffin tahun 657.
Penjelasan bernada politik lain adalah berkembangnya patrimonialisme dan feodalisme pada dinasti kekhalifahan Islam. Ekses dari dua hal tersebut adalah demoralisasi gaya hidup di kalangan penguasa dinasti. Mereka hidup boros dan berambisi pada ekspansi kekuasaan.
Faktor lain keruntuhan masa kejayaan kekhalifahan Islam adalah merosotnya solidaritas intelektual, sosial, dan ekonomi akibat kemunculan ortodoksi Islam sunni dan konsep negara militer (El-Fadl, 2014; Kuru, 2020). Tidak sama dengan penjelasan sebelumnya. Saya ingin menambah satu alternatif jawaban tambahan.
Keruntuhan dinasti kekhalifahan Islam abad pertengahan diprakondisikan oleh krisis iklim dan ekologi. Ada kombinasi musim kemarau berkepanjangan dan musim dingin yang ganas. Berakibat pada kemerosotan hasil pertanian di negara-negara kekhalifahan yang sentral seperti Mesir dan Iran. Hasilnya adalah malapetaka besar-besaran berupa kelaparan, penyebaran penyakit, konflik sosial dan pemberontakan.
Kejayaan dan Keruntuhan Muslim
Peradaban muslim mulai berkembang sejak Nabi Muhammad (570-632) menyebarkan Islam pada paruh pertama abad ke-7. Nabi Muhammad berhasil membawa Islam berjaya secara politik, ekonomi, dan sosial. Ketika Nabi Muhammad wafat, komunitas muslim yang pada awalnya minoritas muncul ke permukaan sebagai kekuataan tanding yang mengesankan.
Kepemimpinan peradaban muslim berlanjut pada empat orang sahabat Nabi yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Periode ini disebut era khulafaur rasyidin atau Empat Khalifah yang berlangsung antara tahun 632 hingga 661. Kekuasaan teritorial muslim pada waku itu sudah mencakup bekas kekaisaran Sasaniyah dan kerajaan Byzantium.
Setelah masa Empat Khalifah, berikutnya adalah periode dinasti Umayah (tahun 661-750), dinasti Abbasiyah (750-1258 [di bawah Kesultanan Mamluk Kairo antara 1261-1517]) dan dinasti Fatimiyah (909-1171).
Periode panjang peradaban muslim mencatat satu masa keemasan (Islamic golden age) pada abad ke-8 hingga ke-9 masehi. Ini adalah era kejayaan intelektual dan perekonomian di peradaban muslim. Banyak intelektual muslim terkemuka lahir pada masa itu. Di antaranya Jabir (penyusun dasar ilmu kimia), Khawarizmi (penyusun buku algoritma), al-Kindi (perintis filsafat di kalangan muslim) dan Banu Musa bersaudara (teknik, aerostatik dan hidrostatik).
Pada masa puncak kejayaan, peradaban muslim menyebar di Timur Tengah, Afrika Utara, kota-kota besar di Eropa selatan, India Utara dan Asia Tengah. Perekonomian tumbuh mengesankan di kawasan kekuasaan Islam sebagai dampak kekuasaan sosial dan politik kaum muslim. Para pedagang muslim menguasai jalur perdagangan antara Eropa, India dan Tiongkok.
Masa kejayaan peradaban muslim tidak bertahan lebih lama sebagaimana diduga. Jelang abad ke-10 dan ke-11, peradaban muslim perlahan runtuh. Keruntuhan peradaban muslim terjadi pada dua aspek krusial yaitu perkembangan kebudayaan dan krisis ekologi. Perekonomian muslim anjlok, produktifitas karya intelektual berkurang, dan polarisasi identitas teologi meningkat (Kuru, 2020). Sementara itu, krisis pangan, penyebaran penyakit dan populasi warga merosot akibat kematian atau migrasi (Ellenbulm, 2012).
Pada suasana di ambang krisis tersebut, peradaban muslim harus berhadapan dengan kompetisi perebutan wilayah teritorial. Pada abad ke-12 sampai ke-14 krisis multidimensi menghampiri peradaban muslim akibat invasi militer Tentara Salib dan Mongol.
Menuju Analisa Krisis Iklim dan Ekologi
Kejayaan peradaban muslim selama berabad-abad tidak dapat hanya dapat digambarkan melalui kesuksesan ekspansi teritorial dan kemajuan perniagaan. Begitu pula dengan analisa terhadap keruntuhan peradaban muslim. Faktor-faktor yang lebih berkaitan dengan keterampilan mengelola pangan, keberkahan di bidang pertanian, serta regulasi agraria sangatlah penting.
Faktor-faktor ekologis jarang tampil atau terabaikan dalam sejarah kemajuan Islam abad ke-8 dan ke-9. Sehingga gagal digunakan sebagai variabel krusial dalam menganalisa mengapa peradaban muslim jatuh. Padahal, selama berabad-abad, kekuasan peradaban muslim seolah tidak tertandingi. Pencapaian di bidang ekonomi, sains, filsafat dan kebudayaan seolah tanpa celah. Jadi mengapa dan bagaimana peradaban muslim yang mapan itu jatuh dari analisa krisis iklim dan ekologi?
Nabi Yusuf Menangkal Krisis Iklim
Pada abad tujuh hingga sebelas, peradaban muslim telah berekspansi dari Timur Tengah dan Afrika Utara ke Asia Tengah, India Utara, dan ujung baratdaya Eropa. Satu kunci sukses ekspansi ini adalah modal dasar yang dirintis pada era khulafaur rasyidin yaitu penaklukan Mesir tahun 642 M. Ini adalah salah satu kawasan rebutan kerajaan Byzantium dan Sassaniyah.
Mesir adalah lumbung pangan yang menopang peradaban muslim. Kota ini sejak lama telah menjadi sumber pangan bagi Mediterania Kuno, Yunani Kuno, Roma dan Byzantium (Semple, 1921; Tignor, 2011). Surplus pada hasil pertanian Mesir berupa biji-bijian diekspor ke Arabia, Nubia, Palestina dan Afrika Utara (Ellenbulm, 2012).
Posisi Mesir sebagai lumbung pangan bagi kota-kota di sekitarnya adalah hasil keberkahan sedimentasi di sekitar sungai Nil. Tanah subur berkat sungai Nil ini telah memungkinkan bangsa Mesir mengembangkan teknik pertanian dengan baik dan produktif.
Sebetulnya, peran sentral Mesir dan sungai Nil terekam dalam sejarah Nabi Yusuf. Alkisah Nabi Yusuf menafsirkan mimpi raja berupa tujuh ekor sapi betina gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina kurus. Dan, di sampingnya ada tujuh tangkai gandum berisi bulir yang sehat dan bagus, sedangkan di sebelahnya ada tujuh tangkai gandum kering tanpa isi.
Nabi Yusuf menafsirkan mimpi tersebut sebagai peringatan dari Allah bahwa akan ada musim panen melimpah selama tujuh tahun, dan akan diikuti oleh musim kemarau selama tujuh tahun berikutnya di Mesir.
Nabi Yusuf menyarankan raja supaya memanfaatkan masa subur tujuh tahun dengan baik untuk menyambut tujuh tahun paceklik. Nabi Yusuf menyarankan pula raja teknik sederhana supaya biji-bijian gandum yang disimpan tidak dipisah dari tangkai agar awet.
Kisah Nabi Yusuf ini menunjukkan bahwa bangsa Mesir berhasil melalui masa paceklik. Negara ini bahkan bisa menyuplai kebutuhan pangan kawasan lain. Teknik-teknik yang dikembangkan Nabi Yusuf berkontribusi pada cara-cara tradisional bangsa Mesir menjaga stok pangan untuk negaranya sendiri dan untuk negara-negara di sekitarnya.
Malapetaka Besar di Mesir (al-Shidda al-‘Uzma)
Era kejayaan Islam abad ke-7 hingga ke-11 menikmati warisan pengetahuan pengelolaan pangan yang diwariskan turun temurun dan keberkahan agraria di sekitar sungai Nil. Mesir sebagai kawasan taklukan Islam menjadi poros suplai pangan bagi peradaban muslim.
Pada pertengahan abad ke-10, krisis iklim mulai mempengaruhi sungai Nil dan tentu saja Mesir. Belum pernah terjadi kekeringan dahsyat di sungai Nil sebelum abad ke-10 (Ellenbulm, 2012).
Krisis iklim sebelum abad ke-10 tidak banyak berpengaruh pada sungai Nil, sehingga masih bisa menopang kebutuhan air bagi pertanian dan perkotaan. Dan juga, berkat pengalaman di masa lampau, bangsa Mesir sudah terbiasa menyusun perencanaan menghadapi musim perubahan iklim.
Krisis iklim pada abad pertengahan ini terjadi antara tahun 950 hingga 1072. Manifestasi pertamanya adalah peningkatan jumlah rata-rata kekeringan di sungai Nil sebanyak sepuluh kali lipat (Ellenbulm, 2012).
Artinya, selama 122 tahun sungai Nil mengalami siklus kekeringan yang belum pernah ada sebelumnya. Situasi ini mengobrak-abrik pencapaian teknologi pertanian Mesir selama berabad-abad. Bencana dahsyat ini disebut al-shidda al-‘uzma atau malapetaka besar.
Krisis Ekologi Iran dan Pemberontakan
Kekeringan sungai Nil hanya satu dari sekian tanda-tanda krisis iklim abad pertengahan. Ada pula musim dingin tahun 920-an yang menimpa kawasan bekas Mesopotamia (Irak, Suriah dan Turki), Iran dan lembah Volga. Sungai Tigris dan sungai Efrat membeku (Ellenbulm, 2012). Di Afrika Utara terjadi kekeringan ekstrim pada tahun 1022.
Ketika krisis iklim memicu kelaparan dan penurunan pendapatan negara, birokrasi pemerintahan di Byzantium, Baghdad dan Konstantinopel tidak dapat bertahan. Padahal kawasan-kawasan ini adalah wilayah kekhalifahan Islam yang produktif secara ekonomi dan kuat secara politik selama abad ke-9 dan ke-10.
Ibnu al-Jauzi (1116-1201), seorang ahli fikih, sejarawan muslim, dan sekaligus tokoh penting berdirinya kota Bahgdad menulis bahwa pada tahun 1027 datang musim dingin yang belum pernah diketahui sebelumnya. Pada waktu itu, air di sungai Tigris dan kanal-kanal yang lebar membeku.
Masih mengutip Ibnu al-Jauzi, pada tahun 1027 hingga 1050 musim dingin melanda negara-negara di timur laut, badai kabut hitam dingin (1028-1029), badai es di Baghdad (1029-1030), kelaparan dan wabah penyakit di Khurasan, Iran dan bekas kawasan Mesopotamia. Ketika skala krisis iklim semakin intensif, terjadi penurunan populasi urban seperti di Baghdad (Irak) dan Konstantinopel (Turki)
Kemerosotan pendapatan negara di sektor pajak menyebabkan kawasan-kawasan kekhalifahan Islam kesulitan membiayai kebutuhan pengelolaan pemerintahan. Tentara dan birokrat yang tidak dibayar akibat krisis keuangan negara melakukan pemberontakan. Kejadian ini berpengaruh besar pada kejatuhan pemerintahan di Byzantium dan Baghdad antara tahun 1055-1056 dan Mesir serta di tempat-tempat lain.
Revitalisasi Gaya Hidup Muslim
Tahun 2015 ribuan orang di Pakistan dan India meninggal akibat gelombang panas. Pada tahun yang sama di Timur Tengah dan Teluk Persia tercatat indeks panas mencapai 72 derajat Celcius. Memang, setelah krisis iklim mulai mereda di Timur Tengah abad ke-11 dan di Eropa pada abad ke-16, belum pernah terjadi pelipatgandaan gelombang panas (Wallace-Wells, 2020). Baru pada 1980 terjadi peningkatan gelombang panas lima puluh kali lipat.
Pertengahan tahun 2021 di Indonesia, suhu panas memanggang kota-kota besar. Meski ada debat apakah ini sebab gelombang panas atau gerak semu matahari. Suhu Surabaya dan Kupang mencapai 36 derajat Celcius.
Apa artinya perubahan suhu drastis bagi peradaban muslim? Itulah pertanyaan krusial yang bukan sekedar dijawab tapi didayagunakan. Dalam sejarah krisis iklim dan ekologi abad pertengahan, jangka waktu untuk menciptakan kelaparan, kematian dan kemerosotan moral tidak terjadi semalam.
Proses terjadi secara bertahap. Ada kombinasi perubahan suhu secara ekstrim, gaya hidup yang tak adaptif dengan krisis, dan kecenderungan mengabaikan peringatan ilmuwan atas masalah krisis iklim.
Sejarah peradaban muslim abad pertengahan memberi kita amunisi berpikir. Apa jadinya, dalam sistem ekonomi yang mengejar akumulasi kapital, krisis iklim dan ekologi akan menimpa peradaban muslim?
Sudah ada sebagian jawaban konkret. Kombinasi mematikan antara krisis iklim dan sistem ekonomi predator menyebabkan kantong-kantong penduduk muslim beriklim tropis di Timur Tengah dan Asia mengalami suhu panas maut, kelaparan, tenggelam, kekurangan air bersih, udara yang tak bisa dihirup, dan konflik sosial berkepanjangan.
Editor: Nabhan