Falsafah

Kritik Antroposentrisme: Alam (Bukan) untuk Manusia Saja

3 Mins read

‘Pertaruhan ruang hidup bukan hanya perjuangan manusia saja’. Kalimat tersebut sepertinya benar-benar menggambarkan hari ini, bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk yang berhak dan punya bagian atas dunia ini. Tak hanya itu, kalimat tersebut menggiring kita sekalian pada kenyataan bahwa banyak dari kita dan bahkan wajah kepentingan pemerintah kita berwajah antroposentrisme yang merugikan alam.

Kritik Pembangunan Antroposentrisme

Willian Chang memaparkan bahwa etika antroposentrisme merupakan etika lingkungan yang memegang konsep bahwa hanya manusia yang berhak mendapat pertimbangan moral. Makhluk lainnya hanya digunakan sebagai sarana dalam pencapaian berbagai macam tujuan manusia.

Pada intinya, etika ini memandang bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, dan selainnya hanyalah objek, alat, ataupun sarana untuk pemenuhan kebutuhan dan kepuasan manusia. Buntut daripada pandangan ini adalah eksploitasi lingkungan yang berlebihan dan proses pembangunan tanpa landasan pilar politik hijau.

Pilar politik hijau adalah tanggung jawab terhadap alam atau ekologi, demokrasi akar rumput, keadilan sosial, dan tanpa kekerasan. Ia semestinya menjadi rujukan pembangunan berkelanjutan ‘yang sebenarnya’. Dari observasi sekilas saja pun kita akan sepakat bahwa pilar ini kini absen dan sama sekali bukan rujukan mazhab pembangunan negara kita.

Barangkali, pembangunan berkelanjutan yang menyelimuti jargon-jargon pembangunan negara kita adalah konsep terdahulu yang hanya fokus pada tiga pilar ekonomi, ekologi, dan sosial yang dipandang secara terpisah. Mengutip Sofian Asgart, tindak-tindak perusakan lingkungan merupakan salah satu contoh yang jelas merupakan pengingkaran atas konsep pembangunan berkelanjutan.

Padahal, secara resmi pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan mengenai pembangunan berkelanjutan sejak tahun 1980-an, hanya saja memang dalam proses implementasinya justru paradoks lah yang hadir.

Alam Melawan Antroposentrisme

Fenomena komodo menantang truk menjadi topik pembahasan yang cukup panas dan dibicarakan banyak orang. Media sosial dengan kecepatan informasi dan tanpa batas menjadi katalisator kasus ini menjadi hidangan di mana-mana. Bagi saya, fenomena ini menegaskan bahwa antroposentrisme adalah Indonesia (pembangunan oleh pemerintah).

Baca Juga  Untuk Kaum Atheis, Inilah Dalil Rasional Adanya Tuhan!

Dalam persoalan sumber daya alam dan lingkungan, fenomena ini adalah menggambarkan pengusikan ruang hidup dan potensi hilangnya keanekaragaman hayati. Terlebih, kita tahu bahwa masing-masing materi di bumi tidaklah berdiri sendiri melainkan satu kesatuan sistem dalam biosfer. Tentunya, masa depan kerusakan lingkungan dan krisis ekologi yang ada akan sangat berdampak pada sistem kehidupan di bumi, termasuk mempengaruhi kehidupan manusia itu sendiri.

Lebih menarik, kasus komodo versus truk ini bisa dipandang sebagai salah satu pertarungan nyata yang sedang terjadi hari ini antara conservasionist dan developmentalist. Tetapi hal ini tidak akan saya bahas lebih lanjut.

Politik Sumber Daya Alam

Saya akan sedikit membahas kasus ini menggunakan konsep dalam politik sumber daya alam. Politik sumber daya alam dan politik kepentingan di dalamnya selalu seru sekaligus menyebalkan di lain sisi. Melihat tren #SaveKomodo. saya seperti melihat konflik kepentingan sumber daya alam yang nyata antara kepentingan konservasi dan pelestarian dan kepentingan pembangunan wisata eksklusif.

Pelan tapi pasti, semua arena pertarungan aktor ini adalah alam yang kemudian membawa kita pada krisis ekologi yang nyata. Mengapa krisis ekologi yang nyata? Sebab pertimbangan aspek lingkungan dalam pembangunan proyek yang disebut telah direncanakan secara terpadu melalui rencana induk pengembangan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi ini tidak tergambarkan sama sekali. Saya jadi kepo kiranya seberapa dalam dan luas pertimbangan aspek lingkungannya.

Kemudian, dalam kacamata ekologi-politik, bagaimana pun kacamata ini saya kenakan sebab isu yang diangkat adalah #SaveKomodo dan proyek Jurassic Komodo. Pendekatan dalam menganalisis persoalan perlu dilakukan, tentu sembari melakukan gerakan-gerakan yang bisa dilakukan.

Misalnya dengan melakukan pendekatan aktor dalam pertarungan ekologi-politik yang terjadi. Meskipun, jaring-jaring aktor dengan segala penguasaan, kontrol, dan kepentingannya tak jarang menjebak kita pada kejenuhan dan kemuntaban pada jejaring power yang ada. Kita juga bisa menggunakan pendekatan kritis.

Baca Juga  Jean Jecques Rousseau: Cara Agar Agama Relevan dengan Zaman

Pendekatan kritis akan membawa kita kepada diri kita sendiri sebagai manusia dan bagian dari sistem kehidupan dan bahwa politik serta ekologi bukanlah unsur terpisah. Bagaimana pun, antroposentrisme sangat mengelukan ego manusia. Padahal tugas manusia di dunia bukanlah untuk hidup dan menjadi hebat sendiri.

Antroposentrisme Menyalahi Kodrat

Pandangan antroposentrisme sejatinya menyalahi kodrat dan manusia tidak mungkin dapat dipisahkan dari lingkungannya. Tanggung jawab pada alam dan mengatur segalanya dengan bijak juga kunci manusia dalam memikul tanggung jawab sebagai khalifah.

Namun sebagai people biasa, alih-alih saya akan melakukan analisis-analisis dengan metode ilmiah, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk kemudian fokus pada krisis ekologi yang realitasnya ada di hadapan kita, sekarang dan masa yang akan datang.

Bagaimana kemudian kita mencurahkan pikir, kepentingan, serta keberpihakan kita untuk keberlangsungan hidup serta keturunan kita sebagai kesatuan utuh masyarakat bumi dengan beban tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi untuk merespons krisis ekologi yang ada dengan perspektif dan gerakan lingkungan masing-masing, menjadi penting untuk dipikirkan.

***

Kita perlu  merespons tantangan dengan brainstorming dan menghadirkan inovasi untuk melakukan gerakan berwawasan lingkungan dan tentunya berkelanjutan. Dengannya, optimisme untuk memperbaiki keadaan dan menjadi wajah Islam yang rahmat bagi alam semestabukan hanya rahmat bagi manusia akan hadir.

Mengenai komodo vs truk yang menjadi sorotan dalam permasalahan proyek wisata Jurassic Komodo, bagi saya dibandingkan dengan  penjelasan ngotot mengenai apa yang akan dilakukan, menurut saya pengelolaan konflik yang ada harusnya lebih menjadi sorotan utama aktor-aktor di balik proyek ini. Bagaimanapun, komunikasi publik penting dilakukan dan pemerintah bekerja untuk rakyat, semua lapisan sosial rakyat, termasuk rakyat kecil juga masyarakat adat.

Baca Juga  Ketika Albert Bandura Melihat Kasus Penistaan Agama
Editor: Shidqi Mukhtasor
4 posts

About author
Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Institut Pertanian Bogor 2020.
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds