Mewujudkan pembangunan peradaban berarti mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan yang terbingkai dalam satu sistem kehidupan secara utuh. Manusia berkompetisi dalam mewujudkan peradaban dengan bingkai kehidupan mereka masing-masing, dan kemudian membangunnya secara berkelanjutan sebagaimana hadirnya gagasan SDGs oleh PBB. Peradaban Islam, sebagaimana peradaban lainnya, berkompetisi dengan berbagai paradigma untuk mewujudkan kehidupan yang ideal dan menjawab tantangan-tantangan kehidupan manusia. Gagasan kunci dari tiap peradaban adalah faktor utama penentu suatu peradaban lebih unggul dari yang lainnya, dan akhlak adalah gagasan kunci peradaban Islam.
Abdelaziz Berghout dan Ouahiba Saoudi, dalam jurnal mereka ‘Concept of Civilisation and Sustainable Development: A Maqasidic Orientation’ berusaha menilai SDGs secara kritis dengan visi peradaban Islam. Mereka berdua adalah dosen Fakultas Ilmu Wahyu Islam dan Humaniora (Islamic Revealed Knowledge and Human Science) di International Islamic University of Malaysia(IIUM). Mereka mengajar beberapa mata kuliah pokok di kampus IIUM, seperti Islamic Worldview, Ethics and Fiqh in Contemporary Life, dan Creative Thinking.
Dalam jurnal tersebut, mereka berusaha menilik pertanyaan-pertanyaan mengenai peradaban dan pembangunan berkelanjutan dengan paradigma Islam. Analisa dilakukan dengan memahami konsep peradaban dan pembangunan, kemudian melihat relevansi SDGs milik PBB dengan visi peradaban Islam. Artikel ini berusaha untuk menerjemahkan ulang jurnal tersebut secara lebih ringkas.
Memahami Makna Peradaban
Al-Bustani dalam Kitab ‘Muhit al-Muhit’ mendefinisikan peradaban sebagai maksud untuk meninggali satu kota atau desa. Sedangkan dalam term latin, ‘civilisation’ diderivasi dari kata civites dan civis yang bermakna kota dan penduduk secara berturut, berdasarkan Weiner dalam ‘Dictionary of the history of ideas.’
Boyle menyebutkan bahwa bangsa Arab dan Persia telah memahami peradaban secara integral dengan keterikatan manusia dan peradaban. Adapun Beg dalam ‘Islamic and Western Concepts of Civilisation’ melihat bahwa masyarakat Melayu dan Indonesia telah memahami urbanisasi untuk menakar ukuran peradaban.
Peradaban memiliki konotasi akan konsep yang canggih dan mendalam akan keterikatan manusia antar sesama dalam kehidupan dan melakukan kerja untuk mencapai taraf kehidupan yang tinggi. Bruce Trigger menjelaskan bahwa suatu peradaban yang baik memiliki aktivitas politik yang tinggi, kemampuan produksi yang mutakhir, hingga capaian estetika dan kebudayaan yang indah dan berkarakter. Peradaban adalah kondisi di mana manusia memiliki interdependensi antar sesama yang menentukan kualitas kehidupannya.
Peradaban sebagai Fenomena Sosial
Manusia memerlukan interaksi antar sesama pada tingkatan yang tinggi hingga tak mampu dilepaskan dari sesamanya, di mana manusia saling mendukung sesama dengan kerja-kerja spesialisasinya masing-masing, menurut Christopher Powell. Ibnu Khaldun memahami peradaban sebagai karakter wajib dalam pengorganisasian sosial manusia, menjadikan ia tidak bisa terlepas dalam kehidupan manusia.
Seluruh kerja-kerja manusia untuk saling mendukung hingga berakumulasi menjadi taraf pembangunan kehidupan yang baik membutuhkan stabilitas, demikian yang bisa dipahami dari pemahaman peradaban milik Lane (1968). Berangkat dari pentingnya stabilitas untuk pembangunan peradaban, Berghout dan Saoudi mengambil akan pentingnya visi dan perencanaan aksi pembangunan peradaban. Dalam arti lain, peradaban bisa dipahami sebagai pembangunan progres dan stabilitas dalam kehidupan manusia.
Mengambil kembali pemahaman Ibnu Khaldun mengenai peradaban, maka karakter dan kualitas manusia tidak bisa disampingkan dalam memahami peradaban. Peradaban erat kaitannya dengan capaian manusia, secara khusus dalam aspek sosial, psikis, dan kebudayaan. Peradaban tidak bisa dilepaskan dari peran dan pertumbuhan manusia.
Pandangan Islam tentang Konsep Peradaban Islam
Berghout dan Saoudi menekankan pentingnya kerja Malik Bennabi yang menjadikan topik peradaban sebagai bahasan utama miliknya, ‘Islam in history and society’ adalah salah satunya. Bennabi memahami peradaban dengan pemahaman yang dinamis dengan berbagai konteks masyarakat yang berbeda.
Dia juga menekankan akan pentingnya peradaban berpangku pada dua aspek kunci: moral dan material. Peradaban memerlukan keseimbangan antara spiritualitas dan materi, dan juga stabilitas dan kausalitas.
Penulis memfokuskan pembahasan akan pemikiran Bennabi terkait peradaban pada berbagai aspek. Pada taraf sosial, peradaban adalah dinamika sosial yang merupakan kunci perkembangan manusia, saat kualitas sosial dan materinya tercukupi. Pada aspek intelektual, peradaban adalah hasil ejawantah substansi ide yang menginspirasi masyarakat, hingga menjadi gerakan sejarah, dan kemudian dibangun sistem intelektualnya oleh masyarakat tersebut.
Dalam konteks psikologis, peradaban berfungsi sebagai proses mengadabkan manusia dari elemen negatif dan primitif dalam dirinya, yang memicu pertumbuhan personal dan sosial masyarakat. Peradaban yang baik memberikan iklim positif bagi mental manusia untuk menyalurkan tenaganya untuk merespons kebutuhan pembangunan sosial.
Menuju Pembangunan Peradaban Islam
Islam sebagai manhaj kehidupan yang holistik memiliki visi peradabannya sendiri, dengan pendekatan pembangunan yang integratif pada segala aspek kehidupan. Peradaban Islam menekankan keseimbangan materi dan spiritual hingga senantiasa memperhatikan pendekatan etika dan material dalam tiap aspek kehidupan.
Terutama dalam masa globalisasi, upaya untuk menyeimbangkan aspek-aspek spiritual dan material semakin menantang. Tantangan tersebut dikarenakan kecenderungan masa globalisasi yang terlalu mengedepankan aspek material dalam peradaban hingga pada beberapa ekstensi merugikan aspek spiritual masyarakat. Islam dengan pendekatan yang integratif, semestinya mampu memperbaiki kekurangan dari globalisasi dalam peradaban sekarang.
Visi Pembangunan Peradaban Islam
Tanpa visi yang jelas dalam mengartikulasikan maksud dari penyeimbangan aspek spiritual dan material, peradaban Islam tak akan terbentuk. Pembangunan peradaban adalah kerja yang kompleks, karena perubahan sikap dan perilaku bawaan manusia harus dilakukan untuk mengejar visi tertentu dalam peradaban.
Manusia harus memiliki state of mind yang secara psikis sesuai dengan perkembangan teknologi mereka. Manusia juga harus memiliki nilai moral yang mampu memimpin manusia dalam menerjemahkan arti perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi. Karena itu, perlu pendewasaan adab dan pengembangan potensi intelektual, sains, dan teknologi secara global.
Salah memilih visi dalam menerjemahkan pengelolaan aspek-aspek kehidupan akan menghasilkan pada bentuk peradaban Islam yang semu. Walaupun masyarakat mengklaim bahwa mereka membangun peradaban dengan nilai dan dalil-dalil Islami, tanpa pembacaan yang tepat, maka penerjemahannya akan berbeda. Hal ini bisa dilihat dalam bagaimana orientalis mampu meneliti dan membuat kesimpulan dari dalil-dalil, kemudian menggunakan informasi itu untuk merusak gerakan Islam.
Karena itu nilai dasar Islam seperti integritas, kepercayaan, kerja sebagai ibadah, profesionalitas, keadilan, keterpaduan, persaudaraan, hingga moderasi perlu kembali ditekankan sebagai nilai asasi peradaban Islam. Pemahaman yang holistik pada seluruh nilai tersebut membuat peradaban Islam berbeda dengan peradaban lain. Dari nilai tersebut, manajemen untuk menerjemahkan visi tersebut menjadi sangat penting.
Kritik terhadap Sustainable Development Goals
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah visi peradaban dunia milik PBB yang dicanangkan untuk bisa selesai dalam tahun 2030. Secara ringkas, tujuan SDGs adalah untuk menghapuskan kemiskinan, melindungi bumi, dan memastikan seluruh manusia hidup dalam kebahagiaan dan kemakmuran. Berghout dan Saoudi mencatat bahwa muslim dunia semestinya melihat SDGs dengan kacamata maqasid (syariah). Dengan kacamata maqasid dan penegakkannya, visi-visi SDGs tidak akan terwujud tanpa adanya stabilitas moral.
Dari bagaimana PBB menurunkan nilai-nilai SDGs, Berghout dan Saoudi menilai ada catatan yang luput dari PBB. Orientasi pemenuhan cita-cita masyarakat dunia yang makmur dan bahagia terfokus lebih besar pada aspek material daripada spiritual dan moral. Tanpa standar moral yang tertanam secara sistemik pada masyarakat untuk saling peduli dan menjaga, maka kemakmuran dan keadilan hanya bersifat mekanis. Peradaban Islam ingin mewujudkan masyarakat dengan nilai standar peradaban tinggi dengan keluhuran adab dan akhlak, sehingga orientasi peradaban padanya menjadi sangat penting.
Ini menjadi catatan bagi muslim yang ingin mewujudkan peradaban Islam akan pentingnya memahami dan menimbang konsepsi peran Islam dalam peradaban. Tidak cukup untuk hanya mewujudkan cita-cita yang nampak Islami, namun muslim harus mewujudkannya dengan cara kerja dalam paradigma Islam.
Pemahaman peran Islam dalam peradaban bukan hanya sebagai pemandu, namun sebagai sumber dari penurunan nilai dan metode perwujudan peradaban Islam. Untuk mewujudkannya, maka muslim baik secara individu maupun kolektif harus berpartisipasi dalam upaya penemuan kembali visi peradaban Islam. Dan dalam kerja perwujudannya, muslim harus dibekali dengan visi peradaban Islam dan kapasitas manajerial untuk mewujudkannya dan menjawab tantangannya.
***
Tanpa kerangka maqasid dalam pencapaian peradaban, maka pemenuhan aspek kehidupan hanya akan bersifat mekanis dan absen dari cinta, kasih sayang, dan moral. Visi peradaban yang benar dalam membaca realita menjadi sangat penting. Sebagaimana yang disadur dari Farhang Rajaee, kosongnya visi peradaban dalam pembacaan realita akan mengarah pada segmentasi praktik dalam kehidupan. Paradigma Islam berusaha untuk menghimpun seluruh aspek kehidupan dalam kerangka utuh yang saling melengkapi dan menjawab tantangan eksistensial peradaban.
Karena itu, pemenuhan nilai akhlak dalam pembacaan cita-cita peradaban harus menjadi karakter utama dari paradigma Islam dalam peradaban.