Perspektif

Kuntowijoyo (2): Iman dan Kemajuan

5 Mins read

Oleh: Kuntowijoyo

Apa yang hilang dengan rasionali­sasi dan sistem sekolah? Pertama-tama ialah adanya gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuan-kesatuan masya­rakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemupukan solidaritas, dan kerjasama telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat desa. Tapi pelonggaran ikatan desa bukan hanya akibat dari rasionalisasi gerakan Muhammadiyah saja, tetapi pelonggaran itu diberi sangsi ideologis berupa pembenaran agama.

Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti yang memadai, sehingga timbul keretakan desa. Individualis­me semacam ini juga tampak dalam pola tingkah laku alumni se­kolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru-murid, sekolah-alumni, dan alumni-alumni.

Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki se­kolah lain, lebih merupakan hubung­an berdasarkan kontral daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi. Adanya organisasi alumni sekolah Muhammadiyah tidak menunjukkan solidaritas sosial sesama alumni.

Seperti diketahui, hubungan kontraktual adalah hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis yang lebih didasarkan kepada kepentingan individual daripada kepentingan so­sial. Dalam pola pendidikan pesantren hubungan antara murid-guru, murid-murid, dan murid-pesantren sangat dekat. Lebih-lebih lagi jika diingat adanya hubungan antara anggota-anggota terdekat di lingkungan Islam tradisional yang konon sangat erat itu.

Demikian pula usaha-usaha untuk menghilangkan bid’ah dan khurafat dapat mempunyai akibat berupa hilangnya tradisi budaya, sehingga Muhammadiyah dalam usaha-usaha pendidikan tidak mempunyai basis budaya yang jelas. Penekanan ke­pada kemurnian ajaran dapat mengakibatkan kecenderungan kepada gaya hidup praktis, lebih mementingkan praxis daripada simbol.

Nilai dan bentuk simbolis dalam sistem pendidikan Muhammadiyah mengalami erosi yang sangat deras, tampaknya sebagai persiapan menuju industrialisasi dan kapitalisme awal, seperti tampak juga di dalam gerakan Calvinisme di Eropa dan Amerika. Pemiskinan budaya ini disertai pula dengan pemiskinan kehidupan sosial secara keseluruhan.

Kecakapan berorganisasi dalam Muhammadiyah dapat menjurus kepada hubungan-hubungan formal yang bersifat teknis, seperti tampak dalam usaha santunan sosial orang tua dan yatim piatu yang dilembagakan secara formal, sehingga mereka yang mendapat santunan lepas dari ikatan keluarga dan masyarakat. Ibarat tumbuh-tumbuhan, Muham­madiyah seperti pohon yang menghasilkan buah bergizi tetapi tanpa bunga dan rasa. Seolah-olah hidup ini bisa diselesaikan secara teknis, for­mal, dan organisatoris.

Baca Juga  Apakah Orang Beriman itu Identik dengan Penderitaan?

Ada yang tampak sebagai kekurangan-kekurangan di atas sebenarnya. Muhammadiyah telah mempersiapkan pembenaran teologis yang menghubungkan transformasi sosial dari masyarakat tradisional ke masya­rakat modern. Dengan menghilangkan beban kultural dari masyarakat tradisional, kiranya perubahan-perubahan sosial mudah dijalankan.

Tetapi tampak juga reaksi-reaksi timbul dari kalangan Islam-sinkretis dan Islam-tradisional. Satu gejala yang barangkali belum disadari makna sejarah dan sosiologi dari gerakan Darul Hadits atau Islam Jamaah ialah adanya tuntutan mendasar untuk suatu ikatan sosial yang dekat dari jamaah, dan ikatan patron-client antara amir dan jamaah; dua hal yang sekarang sedang menyusut dengan adanya masyarakt berkelas dan kapitalistis. Tentu saja ini tidak berarti bahwa reaksi-reaksi itu dapat dibenarkan.

Setelah Muhammadiyah berhasil mempersiapkan masyarakat ke arah perubahan sosial dengan menghilangkan beban kultural, apakah Muham­madiyah sudah kerasan dalam masyarakat baru sekarang ini? Mengapa Muhammadiyah   tampak kehilangan semangat pembaharuannya? Sudahkah ia mencapai tingkat reform-maximum, ataukah ia ke­hilangan jejaknya sendiri? Ataukah perkembangan sosial, yang Muhammadiyah membantu membentuknya, telah meninggalkan    Muham­madiyah?

Buah terpenting yang dihamilkan Muhammadiyah ialah etos kerja baru, dalam kerangka masyarakat in­dustrial dan organisasional. Muham­madiyah telah mempersiapkan anggota masyarakat dengan etik, keahlian, dan lembaga yang sesuai dengan perkembangan masyarakat industri dan pedagangan. Pengusaha-pengusaha wiraswasta yang lahir dari kalangan Muhammadiyah seperti tampak dalam beberapa kelompok semacam Kotagede, Karangkajen, Prawirotaman, dan Kauman di Yogya, Bekonang di Surakarta, Pekajangan di Pekalongan dan beberapa tempat lain yang tersebar di seluruh Indonesia telah menghias perkembangan sejarah sosial-ekonomis sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Oleh karena itu, tidak benar bahwa Muhammadiyah hanya melahirkan golongan elite dan priyayi kantoran. Tetapi mengapa sekarang ada gejala kemunduran di lingkungan wi­raswasta Muhammadiyah? Kiranya hal ini diterangkan dengan melihat struktur masyarakat Indone­sia sendiri. Cita-cita Muhammadiyah ke arah usahanya yang suka berkompetisi dalam kejujuran, suka kerja keras, rasional dalam pembelajaan, dan bermurah hati dalam beramal tampaknya tidak lagi sesuai dengan perkembangan mutakhir masyarakat Indonesia.

Baca Juga  Mendikbud Nadiem Mencederai Pendidikan Indonesia?

Perkembangan ekonomi yang dicita-citakan Muhammadiyah tampaknya terbatas kepada ekonomi industri dan kapitalisme awal, dengan usahawan kecil dan menengah sebagai tulang punggungnya. Indonesia sekarang telah mencapai taraf perkembangan baru dengan hadirnya usaha-usaha besar dan multinasional. Lagi pula sistem pemerintahan dengan birokrasi besar telah menjadikan etika kerja Muhammadiah tidak lagi relevan. Sebabnya ialah birokrasi besar dan usaha besar memerlukan etika baru. Dengan etika kerja keras, jujur, dan ikhlas seperti dikembangkan oleh Muhammadiyah orang tidak lagi dapat berhadapan dengan lika-liku birokrasi dan usaha di zaman pragmatisme sekarang ini.

Dari semua pengusaha di Kauman yang berkembang bersama dengan Muhammadiyah hanya sedikit saja yang masih hidup. Itu pun hanya terbatas pada usaha batik yang secara tradisional masih berada di tangan kelas menengah pribumi sejak jaman SI dan Muhammadiyah. Memang ada perkecualian-perkecualian, yaitu bagi mereka yang cepat menangkap gejala-gejala etika usaha baru dengan menjalin hubungan dengan birokrasi dan usaha-usaha besar di dalam dan luar negeri. Pada umumnya,tidaklah demikian yang terjadi. Usaha-usaha besar se­karang ini kebanyakan tidak berasal dari usaha-usaha lama, melainkan dari usaha baru berkat hadirnya birokrasi besar di tengah usaha besar.

Dengan kata lain, budaya Muham­madiyah tidak lagi sesuai dengan budaya baru itu. Struktur masyarakat pra industri dan industri awal yang melahirkah Muhammadiyah se­karang telah berlalu. Big-bureau­cracy (birokrasi-besar), dan big-busi­ness (usaha-besar) di Indonesia melahirkan orang-orang baru dengan etika pragmatis, tidak lagi dengan etika keagamaan sebagai dibawakan citranya oleh Muhammadiyah.

Dalam struktur baru itu, pembaharuan agama apakah yang akan dicanangkan oleh Muhammadiyah? “Bid’ah” dan “khurafat” apa lagi akan dilawan? Tampaknya, di sinilah Muhammadiyah mencapai titik jenuhnya, reform-maximum-nya.

Baca Juga  Bagaimana Islam dan Psikologi Memandang Mimpi?

Untuk mengikuti perkembangan struktur dan budaya masyarakat Indonesia sekarang ini perlu sebuah lagi pembenahan teologis agar supaya sekali lagi beban kultural yang berupa etos kerja Muhammadiyah itu ditinggalkan.

Tetapi apakah Muhammadiyah menyetujui struktur yang sekarang sedang membentuk Indonesia? Apa­kah Muhammadiyah masih ingin memasuki lingkungan pemasaran baru dalam struktur yang ada sekarang, ataukah Muhammadiyah ingin menciptakan sesuatu sebagai alternatifnya? Muhammadiyah akan melakukan adaptasi sebagai terjadi di masa lalu, ataukah akan melawan perkem­bangan sejarah? Hal ini menyangkut penegasan yang mendasar tentang definisi riba, keuntungan, sewa, upah, dan aturan permainan dalam usaha industri, perdagangan dan agraria. Ketika usaha swasta perorangan telah digantikan oleh perseroan, trust, dan bahkan monopoli, etika Muhammadiyah tampak terlalu kerdil untuk menghadapi itu semua. Apakah warga Muhammadiyah akan bangkit dan mendirikan usaha-usaha besar dan modern dengan pusat-pusat R & D, perbankan Islam, gerakan-gerakan koperasi, proyek-proyek pengembangan, proyek pemukiman, yayasan besar, perseroan?

Tentu masih banyak “hambatan-hambatan kultural” yang mengikat Muhammadiyah. Produk pendidikan Muhammadiyah jelas bukanlah manusia satu dimensi, eco­nomic animal, tetapi Muslim yang lengkap.

Ada baiknya jika Muhammadiyah merenungkan kembali peranan sejarahnya, menentukan sikap terhadap perkembangan sosio-ekonomi dan kultural masa kini, mencari sasaran-sasaran strategis baru untuk digarap, tajdid, dan sekali lagi melangkah mengemudikan sejarah.

Dalam memasuki tahap baru se­jarah perkembangan nasional, umat Islam, dan khususnya Muhammadiyah, perlu memikirkan kembali strategi pendidikannya. Bila di atas sudah disinggung bagaimana pergerakan Muhammadiyah telah ditandai oleh keretakan ikatan sosial tradisional masyarakat menyebabkan hilangnya bentuk-bentuk simbolis budaya Islam, maka sebagai penutup pembahasan ini kami ingin menekankan kembali bahwa Muhammadiyah telah berhasil sedemikian jauh menggabungkan iman dan kemajuan.

Sistem sekolah Muhammadiyah adalah jawaban yang tepat atas tantangan zaman kita. Tetapi karena kekurangan-kekurangan dalam solidaritas sosial dan pernyataan sim­bolis, pertama, memang ada baiknya Muhammadiyah belajar dari sistem pesantren untuk mengutuhkan kembali peranan sosial dari pendidikan, supaya mereka yang terdidik dalam Muhammadiyah tidak berpandangan ke atas dan tidak tercabut dari akarnya, yaitu masyarakat. Kedua, su­paya Muhammadiyah belajar dari Taman Siswa yang telah berhasil memperkembangkan sistem budaya nasional dalam pendidikannya. Melalui pendekatan sistem pondok, padepokan, dan sekolah, Muham­madiyah akan menuju kepada sistem pendidikan yang baik dalam substansi, proses, maupun produknya mengarah ke pembentukan pribadi Muslim yang utuh.

Kiranya, usaha ke arah pendidikan macam ini tidak hanya disarankan kepada Muhammadiyah, tetapi juga untuk sistem pendidikan nasional kita. Teka-teki besar kita ialah, apakah struktur sosio-ekonomi dan politik kita memungkinkan perkembangan ke arah itu? HABIS

Sumber: “Iman dan Kemajuan” karya Kuntowijoyo (SM no 11/ Th. ke-62/1982).

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds