Membahas Kyai Ahmad Dahlan dan pemberdayaan perempuan, lebih dulu kita melihat bagaimana umat manusia sebelum kedatangan Islam memandang kaum perempuan. Ya, sebelum kedatangan Islam hampir seluruh umat manusia memandang hina kaum perempuan. Jangankan memuliakannya, menganggapnya sebagai manusia saja tidak.
Orang-orang Yunani menganggap wanita sebagai sarana kesenangan saja. Kemudian cahaya Islam pun terbit menerangi kegelapan itu dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Risalah yang memerangi segala bentuk kezaliman dan menjamin setiap hak manusia tanpa terkecuali.
Ahmad Dahlan dan Perempuan
Pemberdayaan perempuan menjadi strategi penting dalam meningkatkan potensi dan peran perempuan agar lebih mampu mandiri dan berkarya. Kesadaran mengenai peran perempuan mulai berkembang yang diwujudkan dalam program pembangunan. Hal ini didasarkan pada satu pemikiran mengenai perlunya kemandirian bagi kaum perempuan. Supaya pembangunan dapat dirasakan oleh semua pihak.
Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, adalah salah satu dari sekian ulama terkemuka di awal abad ke-20 yang sangat memperhatikan kepentingan perempuan. Jauh sebelum isu kesetaraan gender atau feminisme berkembang di tanah air, beliau sudah bekerja untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang setara dengan pria meskipun dengan tugas yang berbeda.
Salah satu bukti bahwa Ahmad Dahlan tidak menjadikan perbedaan jenis kelamin terlihat dalam penempatan daftar pendakwah Muhammadiyah yang tidak selalu didominasi oleh kaum adam. Bisa dibilang ini merupakan gebrakan baru pada dekade kedua abad ke-20 itu dimana juru dakwah perempuan masih sangat sedikit sekali jumlahnya.
Sejak awal Muhammadiyah berdiri di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912, Ahmad Dahlan memposisikan perempuan sebagai pilar penting untuk mendukung organisasinya itu. Itulah kemudian, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah membentuk Aisyiyah pada tahun 1914 yang bertujuan sebagai wadah pergerakan bagi perempuan Muhammadiyah.
Pendirian ‘Aisyah
Pendirian ‘Aisyiyah berawal dari sebuah pertemuan yang berlangsung di rumah KH Ahmad Dahlan pada 1917. Hadir di sana, antara lain KH Fachrudin, KH Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo, dan enam orang gadis muslimah yang memang telah dikader sebelumnya melalui Sopo Tresno. Yakni Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busjro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah. Hasil rapat memutuskan bahwa organisasi perempuan Muhammadiyah akan segera terbentuk. Namanya, ‘Aisyiyah—sesuai dengan usulan KH Fachrudin.
‘Aisyiyah didirikan bukan untuk membedakan posisi antara laki-laki dan perempuan. Justru Ahmad Dahlan menyadari bahwa Muhammadiyah sangat memerlukan peran dari kaum hawa. ‘Aisyiyah menjadi tangan kanan Muhammadiyah untuk merespons isu-isu perempuan dan sekaligus memberdayakannya melalui jalur pendidikan dan pelayanan sosial.
Bersama ‘Aisyiyah, Ahmad Dahlan memobilisasi perempuan untuk memasuki peradaban yang modern, termasuk menjadi pelopor bermunculannya juru dakwah perempuan yang sebelumnya masih teramat langka. ‘Aisyiyah menjadi salah satu warisan Ahmad Dahlan yang paling berharga, tentu saja juga dengan peran krusial sang istri, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan. Hingga tahun 1938, Aisyiyah telah menghasilkan lebih dari 2.000 orang muballighah dan mengelola banyak sekali sekolah perempuan.
Diskriminasi Perempuan
Persoalan sosial yang saat ini menjadi banyak perhatian masyarakat adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak- anak. Bermuculannya kriminalitas yang menjadikan perempuan sebagai korban telah cukup lama menjadi perhatian pemerintah maupun organisasi sosial kemasyarakatan. Sampai saat ini, persoalan tersebut masih relevan untuk terus dicarikan formula antisipasinya.
Muhammadiyah merupakan salah satu dari sekian elemen masyarakat yang cukup konsen dalam menyelesaikan persoalan perempuan akibat diskriminasi yang melanda mereka. Diskriminasi terhadap perempuan menjadi perhatian sejak awal berdirinya persyarikatan Muhammadiyah di era Kyai Dahlan.
Ajaran KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah memandang bahwa laki- laki dan perempuan adalah setara. Kyai Dahlan sangat memperhatikan perempuan sebagai generasi penerus umat islam. Karena itulah, Kyai Dahlan menyuruh agar perempuan juga harus belajar dan bersekolah selayaknya para kaum laki- laki. Komitmen Muhammadiyah dalam hal perlindungan hak perempuan salah satunya adalah dengan dibentuknya ortom Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah.
Gerakan Aisyiyah sejak awal berdiri, dan dari waktu ke waktu terus berkembang dan memberi manfaat bagi peningkatan dan kemajuan harkat dan martabat perempuan Indonesia. Pada tahun 1919 mendirikan Frobel, Sekolah Taman Kanak-Kanak pertama milik pribumi di Indonesia. Bersama organisasi wanita lain pada tahun 1928 mempelopori dan memprakarsai terbentuknya federasi organisasi wanita yang kemudian dan sampai sekarang dengan KOWANI.
Kepada para wanita beliau berpesan: “ urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat”. Rupanya beliau mengetahui bahwa tak mungkin pekerjaan besar akan berhasil tanpa bantuan kaum wanita. Dalam melaksanakan cita-cita beliau, bantuan dari kaum hawa yang berbadan halus itu diperlukan, dan ini sebetulnya ikut menentukan berhasil tidaknya usaha beliau. Oleh tidak hanya laki-laki yang memiliki peran penting dalam kemuhammadiyahan.
Pemberdayaan Perempuan
Perbedaan gender sesunguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu marjinalisasi (peminggiran), subordinasi (penomorduaan atau anggapan tidak penting), stereotipe (pelabelan negatif), violence ( kekerasan), double burden (beban kerja ganda atau lebih), dan sosialisasi ideologi peran gender. Perbedaan gender ini hanya dapat mempersulit baik laki-laki maupun perempuan.
Masyarakat Islam yang hendak diwujudkan Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah masyarakat yang rahmatan lil’alamin. ‘Aisyiyah sebagai komponen perempuan Muhammadiyah dalam mewujudkan masyarakat yang berkeseteraan dan berkeadilan gender, berkiprah dengan merespon isu-isu perempuan (seperti KDRT, kemiskinan, trafficking, pornografi dan aksi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan) dan sekaligus memberdayakannya secara terorganisir, terprogram, dengan menggunakan dan memanfaatkan seluruh potensi.
Muhammadiyah dan Aisyiyah sampai sekarang tetap berkomitmen dalam pemberdayaan perempuan untuk kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini dapat dilihat dari hasil Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta mengenai Program Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang terdiri dari Visi Pengembangan dan Program Pengembangan.
Aisyiyah memiliki garapan program kerja yang sangat khusus, strategis dan visioner, yaitu perempuan. Peran dan fungsi perempuan merupakan bagian terpenting dalam gerak roda kehidupan.Sebab pepatah bilang perempuan adalah tiang negara, apabila perempuan baik maka akan makmur negaranya tetapi kalau wanita di negara tersebut hancur maka akan hancur pula derajat negara tersebut.
Editor: Sri/Nabhan
perempuan juga harus belajar dan bersekolah selayaknya para kaum