Oleh: Sifa Lutfiyani Atiqoh*
Anak badung itu akhirnya menemukan jalan perjuangannya. Ia tumbuh dewasa dan mendirikan sebuah Organisasi Mahasiswa yang kelak akan mengambil beberapa jengkal ruang dalam lembaran sejarah Indonesia.
***
Anak itu memiliki Ayah bernama Sutan Pangarubaan Pane, salah seorang Pendiri Muhammadiyah di Sipirok yang juga merupakan tokoh dari partai Indonesia (PARTINDO). Seorang wartawan, penulis sekaligus pengusaha. Kakeknya seorang Ulama bernama Syekh Badurrahman Pane. Anak itu bernama Lafran Pane.
Lafran Pane lahir dan menangis pertama kali pada 5 Februari 1922. Terlahir sebagai anak bungsu dari keluarga yang terpandang dan taat agama, tak menjadikan Lafran Pane kecil menjadi anak yang penurut, tapi terkenal nakal tapi juga cerdas.
Ia tumbuh menjadi piatu, sang ibu meninggal setelah 2 tahun kelahirannya. Kurangnya pendampingan dan kasih sayang sang Ibu, menjadikan ia anak yang memiliki kenakalan yang luar biasa. Begitu setidaknya kesaksian orang di sekitarnya.
Pendidikan
Di usia sekolah, ia mengenyam pendidikan di pesantren Muhammadiyah Sipirok. Kemudian ia melanjutkan sekolah formalnya di sekolah desa selama tiga tahun. Akan tetapi, ia tak menamatkan keduanya. Lantas ia merantau ke Sibolga, kota yang jaraknya 126 Kilometer dari Sipirok.
Kota Sibolga menjadi saksi Lafran Pane kecil berhasil menamatkan sekolah di HIS Muhammadiyah. Ia lalu kembali lagi ke Sipirok. Di tempat kelahirannya ini, ia melanjutkan sekolah di Ibtidaiyah, kemudian bersambung di Wustha. Dari Wustha ini ia Pindah ke Taman Siswa Sipirok.
Dari Taman Siswa Sipirok tersebut, Lafran Pane pindah ke Taman Antara dan Taman Dewasa di Medan. Sayang, nasibnya kurang beruntung di kota ini. Lafran dikeluarkan dari sekolah sebelum ia lulus. Dikeluarkannya ia dari sekolah menuntun jalannya sebagai seorang petualang.
Ia lalu memilih meninggalkan rumah kakak kandungnya, Nyonya dr. Tarip dan memilih hidup di sepanjang jalan Kesawan kota Medan. Ia tidur dari emperan toko satu ke emperan toko lainnya.
Tak jarang ia mengundi nasib dengan bermain kartu. Sesekali menjadi penjual es lilin atau menjadi penjual karcis bioskop. Semua itu ia lakukan untuk menyambung hidupnya , yang serba kekurangan akibat pilihannya menjadi petualang.
Tahun 1937, Lafran Pane diminta Abangnya, Armijn Pane dan Sanusi Pane pindah ke Batavia. Sampai di Batavia ia melanjutkan sekolahnya di HIS Muhammadiyah, lanjut ke Mulo Muhammadiyah, ke AMS Muhammadiyah, kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta hingga perang dunia ke II.
Kehidupan Masa Remaja
Bakatnya sebagai anak badung Medan, terulang lagi di Jakarta. Lafran muda bergabung dengan organisasi bernama “BENDE” sebuah geng anak muda yang disegani sebagai gerakan bawah tanah dan telah beberapa kali tertangkap menggunakan pistol untuk menembak orang.
Karena perilakunya itulah, tak jarang ia sering berurusan dnegan meja hijau. Pernah suatu ketika ia diminta membayar denda akibat perbuatannya, namun ia tak memiliki uang. Mr. Wilopo yang menjadi gurunya di Mulo Muhammadiyah lah membayarkan dendanya.
Di sekolah ia juga terkenal sering memimpin demonstrasi dan pemberontakan. Demonstrasi yang dipimpinnya pernah membuat keributan. Namun, berkat bantuan Mr. Kasman Singodimedjo yang saat itu menjadi Ketua Majelis Pengarah Muhammadiyah Jakarta, keributan tersebut dapat diatasi.
Pengembaraan Spiritual
Tahun 1942, Lafran Pane Pulang ke Padang Sidempuan, daerah asalnya. Namun di sana ia dituduh memberontak terhadap Jepang, sehingga ia kembali lagi mengambara di Jakarta tahun 1943. Hariqu menyebut pengembaraaan keduanya ke Jakarta sebagai fase lahirnya kesadaran Lafran Pane akan jiwa Insan kamil.
Lafran pane yang kala itu berumur sekitar 21 tahun mulai mencari-cari hakikat hidup. Ia merasa mengalami kekeringan, dan haus akan spiritualitas. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia telah menajdi “anak hilang” dan ingin kembali ke masa-masa kecil, di mana ia dengan syahdu mengumandangkan sifat-sifat Allah dan meresapinya.
Lafran Pane muda ini menjadi sering bertafakur, merenung, seakan ia tengah kembali mendapatkan jalannya semula. Nasihat-nasihat dan hasil nyantrinya dari guru dipengajian dan Pesantren Muhammadiyah Sipirok menjadi bekal mendekatkan diri pada perjalannya menjadi insan kamil.
Sekembalinya di Jakarta ia bekerja di Kantor Statistik Jakarta, sebelum kemudian diusianya yang menginjak 23 tahun ia pindah ke Yogyakarta untuk melnjutkan kuliah di STI (Sekolah Tinggi Islam).
Di STI ini ia bertemu dengan K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Hussein Yahya, dan H. M Rasyidi yang menjadi dosennya. Semakin teguhlah kesadaran religiousnya, semenjak ia rajin bergumul dengan buku-buku keislaman.
Pemrakarsa Berdirinya HMI
Perjalanan hidup terlebih perjalanan spiritualnya, menjadikan Lafran Pane mampu mambaca realitas sosial yang terjadi di lingkungannya pada saat itu. Sebagai seorang mahasiswa muslim ia merasa resah karena sistem yang berlaku di perguruan tinggi pada umumnya merupakan sistem pendidikan Barat yang sekuler, yang jam kuliahnya sering menabrak waktu salat.
Tidak hanya itu, banyaknya organisasi mahasiswa dan pemuda saat itu berada di bawah pengaruh komunis-–apabila tidak bisa dikatakan sebagai menjadi underbow PKI. Keresahan-keresahan itu menuntunnya untuk mendirikan organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pada tanggal 5 Februari 1947, dua tahun pasca teks proklamasi dikumandangkan.
Selain dari sudut pandang kondisi mahasiswa, latar belakang Lafran Pane dan Kawan-kawannya mendirikan HMI adalah karena keprihatinannya terhadap kondisi mikrobiologis umat Islam, situasi NKRI yang masih belum lepas sepenuhnya dari cengkeraman imperialisme Barat. serta Situasi dunia internasional berupa gerakan pembaharuan yang mengilhami Lafran Pane dan kawan-kawannya.
Perjalanan hidup Lafran Pane, di penuhi liku dan perubahan-perubahan yang radikal. Hingga akhirnya HMI menjadi salah satu jalan perjuangan Lafran Pane untuk membela ummat Islam dan bangsa Indonesia.
***
Anak badung dari Sipirok itu akhirnya menemukan jalan perjuangannya salah satunya dengan mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam. Kini ia dikenang sebagai seorang Pahlawan Nasional yang hidup sederhana hingga akhir hidupnya.
*) Pegiat Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta