Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi*
-Poligami- Akhir-akhir ini jagad media sosial dihebohkan dengan berita viral bertajuk “layangan putus”. Layangan putus adalah kisah yang dituturkan seorang wanita perihal suami yang meninggalkannya demi wanita lain. Sang suami yang selama ini dianggapnya romantis dan baik hati, diam-diam menusuk dari belakang.
Remuk hati, karena sang suami berpoligami secara sirri. Meskipun pada akhirnya sang suami melakukan klarifikasi melalui instagram pribadinya dan memohon maaf atas kegaduhan yang terjadi, tapi setidaknya peristiwa ini melambungkan kembali isu sensitif yang berulang kali pernah dibahas yakni poligami.
Poligami dan Islam
Dalam al-Quran memang terdapat ayat yang menjelaskan tentang poligami (QS. al-Nisa: 2-3 dan 129). Ayat ini pada gilirannya dijadikan argumentasi syar’i oleh sebagian kelompok terkait dibolehkannya seorang lelaki menikahi wanita lebih dari satu–maksimal empat.
Beberapa mufasir klasik hingga modern juga berpendapat bahwa poligami merupakan salah satu syariat Islam (Wawan Gunawan Abdul Wahid, 2013). Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah poligami ini merupakan syariat Islam yang muncul tanpa latar historis, sehingga ia boleh diamalkan kapan saja?
Apabila ayat tentang poligami dibaca secara lebih utuh dengan memperhatikan latar kesejarahaan yang melingkupi, maka kita akan mengetahui bahwa syariat poligami sesungguhnya adalah upaya Islam untuk membatasi praktik kawin tanpa batas yang menjadi tradisi masyarakat Arab pra Islam (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah: 2015). Lebih jauh lagi, ini merupakan upaya Islam untuk memuliakan harkat dan martabat wanita.
***
Di samping itu, perlu diketahui bahwa ayat poligami ini turun pada tahun ke-4 H, tahun di mana umat Islam mengalami kekalahan telak dari orang-orang kafir pada perang Uhud. Diceritakan sebanyak 70 orang laki-laki gugur. Suatu jumlah yang amat banyak mengingat umat Islam pada waktu itu masih sangat sedikit.
Hal ini mengakibatkan banyaknya janda dan anak yatim yang terlantar. Mereka sangat membutuhkan sosok yang mampu menjadi penopang ekonomi dan tulang punggung keluarga. Dalam konteks seperti inilah ayat poligami lalu turun.
Karenanya, ayat tersebut dibarengi dengan tuntunan Islam untuk mengentaskan janda dan anak yatim dari penderitaan melalui salah satu mekanisme yang pada gilirannya di masa modern disebut sebagai poligami (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah: 2015).
Dengan kata lain, poligami sesungguhnya adalah cara Islam untuk menanggulangi krisis sosial pada waktu itu. Ia dilakukan pada saat darurat sosial, dan bukan dalam “situasi normal”. Perlu ditegaskan pula bahwa meskipun boleh dilakukan dalam keadaan darurat sosial, aturan itu juga diberi syarat ketat oleh Islam, yaitu harus mampu berlaku adil (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah: 2015). Padahal dalam ayat yang lain dijelaskan bahwa manusia sekali-kali tidak dapat berlaku adil (QS. Al-Nisa: 129. Pada titik inilah salah satu prinsip dasar al-Quran tentang perkawinan yang kurang tersentuh oleh bahasan para sarjana, perlu diketengahkan. Prinsip tersebut adalah monogami.
Monogami Sebagai Prinsip Keluarga Sakinah Bukan Poligami
Dalam buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah (2015), Muhammadiyah berijtihad bahwa salah satu prinsip untuk mewujudkan keluarga sakinah adalah monogami. Argumentasi yang dibangun oleh Muhammadiyah selain pembacaan komprehensif atas ayat poligami yang harus dibaca dalam ruang historis yang utuh juga adalah riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi pernah sangat marah ketika Ali bin Abi Thalib hendak melakukan poligami.
Ketika itu Ali adalah istri Fatimah, putri Nabi. Nabi yang tahu Ali akan poligami kemudian mengatakan, “Aku tidak izinkan (3 kali). Kecuali jika Ali lebih memilih menceraikan putriku dan menikah dengan putrinya (Keluarga Hisyam). Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku” (HR Bukhari dan Muslim).
Larangan Nabi ini menunjukkan bahwa monogami sesungguhnya adalah prinsip dalam membangun keluarga sakinah (Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah: 2015). Nabi ingin menegaskan bahwa alih-alih menjadi solusi, poligami ketika kondisi sosial masyarakat normal justru lebih banyak mengandung kemudaratan daripada kemaslahatan. Hadis di atas telah menyinggung salah satu kemudaratan yang bisa datang dari praktik poligami, yaitu menyakiti dan menyusahkan pihak perempuan (istri pertama) dan keluarganya.
***
Dalam konteks hari ini praktik poligami berpotensi lebih besar untuk disalahgunakan, terutama oleh para lelaki yang tidak bertanggung jawab dan minim kesadaran. Karena itu segala upaya yang dapat mengantarkan ke arah poligami perlu dibatasi secara ketat, seperti misalnya nikah sirri.
Seringkali pintu masuk poligami adalah nikah sirri, meskipun tidak selalu. Laki-laki dalam kasus yang sedang viral ini adalah pelaku nikah sirri. Pernikahan semacam ini lebih sering merugikan pihak wanita. Selain tidak mendapatkan kepastian hukum, nikah sirri acap kali dilatarbelakangi oleh keinginan syahwat pihak lelaki yang ingin berpoligami.
Oleh karenanya nikah sirri sebagai pintu masuk poligami sudah saatnya juga menjadi perhatian para pemuka agama dan ormas keagamaan. Muhammadiyah dalam hal ini patut diapresiasi karena telah berani mengeluarkan fatwa tentang wajibnya mencatatkan pernikahan di lembaga resmi negara (KUA), sehingga nikah sirri sangat tidak direkomendasikan.
Akhirnya, tulisan ini ingin ditutup dengan satu penegasan; bahwa ‘kampanye’ monogami dan kritik pada praktik poligami sebagaimana yang menjadi pesan utama dalam tulisan ini bukanlah berarti setuju dan mendukung perzinaan. Pernikahan bukanlah melulu soal ‘ranjang’ tapi juga tentang mewujudkan komitmen dan kesetiaan yang dilandasi kasih sayang dan ketakwaan.
*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Sumber: santricendekia.com