“Masa telah berlalu, saat banyak manusia meminta bantuan kepadaku. Dan kini, adakah seorang penolong yang akan mengabarkan rahasia jiwaku kepada Layla?
Wahai Layla, cinta sudah membuatku lunglai tak berdaya. Laksana anak hilang, jauh dari keluarga dan tak memiliki harta.
Waktu terus berlalu dan bebatuan itu akan hancur, berserak bagai pecahan kaca. Begitulah cinta yang engkau bawa padaku. Dan sekarang hatiku hancur lebur. Hingga orang-orang memanggilku si dungu, yang suka merintih dan menangis.
Mereka mengatakan aku sudah tersesat. Aduhai, mana mungkin cinta akan menyesatkan?
Jiwa mereka sebenarnya kering. Laksana dedaunan diterpa panas mentari. Bagiku cinta adalah keindahan yang membuatku tak bisa memejamkan mata. Remaja manakah yang selamat dari api cinta?”
***
Narasi di atas merupakan lantunan syair dari Qays yang terdapat dalam buku berjudul Layla Majnun karangan Nizami Ganjavi (1141‒1209 M). Buku kesusastraan karangan seorang penyair terkenal asal Persia ini menceritakan kisah tak sampai antara Qais dan Layla. Sebenarnya kisah tersebut sudah begitu melegenda di Arabia dan Persia pada abad ke-12. Dengan sentuhan magis Nizami, kisah Layla-Majnun semakin booming dan spektakuler.
Sebegitu hebatnya kisah Layla-Majnun, sampai-sampai konon katanya seorang Willian Shakespeare terinspirasi dari Nizami saat menulis naskah drama Romeo dan Juliet. Memang tak mustahil. Karena Nizami sukses memadukan unsur-unsur sastra gurun Arabia dengan sastra Persia yang menghasilkan suatu kisah roman nan indah yang membuat saya geleng-geleng kepala.
Membaca buku ini seolah-olah saya sedang menyatu dalam keindahan taman al-Mu’tasim di Samarra serta melayang-layang dalam kebun botani Abdurrahman ad-Dakhil, yang sejenak membuat saya hanyut dalam kedalaman cinta Qays dan Layla.
Sependek pengetahuan saya tentang buku terjemahan, saya mengapresiasi kepada penyadur dari karya ini, Umu Kusnawati dan Lathifatul Izzzah, yang sukses menyajikan diksi dan narasi apik yang memanjakan pembaca.
Perjumpaan Qays dan Layla
Alur buku ini mengisahkan, di lembah Hijaz terdapat seorang pemimpin kabilah Bani Amir bernama Syed Omri. Ia sangat disegani meskipun usianya tak muda lagi. Hartanya melimpah ruah. Dinding rumahnya dihiasi zamrud dan intan berlian. Lantainya dihamparkan permadani Iran nan elok. Gelas pilihan dari Tiongkok menjadi wadah minumannya. Kedermawanan Syed Omri tak diragukan lagi. Dari golongan borjuis hingga proletar, ia dijadikan tempat mengadu.
Namun, ada satu harta yang belum Syed Omri miliki: seorang anak. Puluhan tahun ia mendamba seorang putra mahkota yang akan menggantikannya kelak dari seorang istri yang cantik jelita. Akan tatapi waktu belum juga memberikan jawaban.
Sayd Omri sedih, galau, gundah dan merana. Seiring berjalannya waktu, setelah melakukan ikhtiar dan berdoa tiada henti, anak yang di tunggu-tunggu datang juga. Istrinya hamil. Setelah genap sembilan bulan, lahirlah bayi yang diberi nama Qays.
Detik berganti menit. Hari berganti bulan. Bulam berganti tahun. Qays menjadi anak yang tampan rupawan, good looking. Tubuhnya gagah bak pilar-pilar yang kokoh. Rambutnya klimis mengkilat. Suaranya merdu laksana buluh perindu.
Pendidikan terbaik diberikan oleh Sayd Omri kepada putra semata wayangnya ini. Qays disantrikan kepada seorang guru terbaik di jazilah Arab yang tinggal di daerah Badui. Karena integritas dan intelektual sang guru yang sudah tersohor, tentu banyak anak yang disantrikan dengannya, salah satunya ialah Layla, gadis yang cantik jelita. Dari sinilah awal mula perjumpaan Qays dan Layla.
Saling Jatuh Cinta
Singkat cerita, Qays dan Layla saling jatuh cinta. Keduanya menjalin kisah asmara yang saling tergila-gila. Orang-orang pun akhirnya tau tali kasih muda-mudi ini. Namun, setelah berjalan cukup lama, keluarga Layla mengambil keputusan untuk memisahkan Layla dengan Qays lantaran tidak mau dijadikan objek omongan orang-orang. Dighibah oleh masyarakat merupakan aib dalam tradisi Arab. Karena hal ini, Qiys menjadi stres.
Namun ada keunikan dari Qays. Kegilaan yang dialaminya membuat dirinya menjadi homo sapiens yang puitis. Ia sering mendendangkan syair mengagumkan yang ia tuangkan dari perasaannya. Dialah the real anak indie. Puitis tanpa segelas kopi dan pemandangan senja sore hari.
Meskipun juga tak dipungkiri, Nizami merefleksikan seorang Qays bak orang yang benar-benar gila pada umumnya, seperti senantiasa menyebut nama Layla, berjalan di kampung dengan telanjang dada, hatta rambutnya gondrong, lusuh tak terurus.
Kisah-kisah konyol yang menggambarkan cinta sejati Qays kepada Layla dilukiskan dalam buku ini. Misalnya, karena tidak mau dipisahkan, setiap malam hari Qays pergi ke rumah Layla dengan mengendap-ngendap. Sampai di rumahnya ia menciumi dinding rumah kekasihnya tersebut yang Qays anggap sebagai tubuh layla. Selain itu, pernah juga Qays menyamar menjadi seorang pengemis dan meminta-minta di rumah Layla demi bertemu pujaan hatinya itu.
Kisah ini benar-benar memiliki ending yang sendu. Sampai ajal menjemput, Qays dan Layla tak dipertemukan dalam ikatan yang suci. Ketika Layla dimakamkan, Qays hanya bisa pasrah, tertunduk lesu, dan menangis sejadi-jadinya. Tiada hari yang ia lewati, kecuali meratapi kekasihnya yang sudah meninggal.
Hingga akhirnya, Qays meninggal di samping makam Layla dengan meletakkan kepala di atas batu nisan dan memeluknya dengan kedua tangannya. “Kau, cintaku,” menjadi ucapan terakhir yang Qays sampaikan kepada Layla yang entah ia dengar atau tidak.
CInta Tanpa Alasan
Ada sebuah pelajaran menarik dari kisah cinta Qays dan Layla di atas. Dalam pandangan sufi, kisah tersebut melukiskan bagaimana cinta (al-Mahabbah) hamba (Salik) kepada Tuhan. Layla merepresentasikan Tuhan, sedangkan Majnun sebagai pencinta (al-Muhibb).
Seorang hamba hendaknya mencintai Tuhannya dengan murni. Tak ada yang ia cintai selainnya. Kepentingan dan perhiasan dunia menjadi abstrak, yang tak ada eksistensi di hadapannya manakala cinta kepada Tuhan menjadi tujuan akhir.
Meminjam istilah Husein Muhammad, cara pandang seperti ini disebut sebagai “Cinta Platonis”. Terminologi yang diambil dari nama filsuf Yunani terbesar sepanjang sejarah manusia, Plato ini sebagai cinta dalam tataran ide, cinta yang murni dan sepenuhnya. Cinta yang sepenuhnya ingin menyatukan dua ruh yang berbeda.
Itulah jalan yang diambil oleh para sufi akbar seperti Abu Yazid al-Bisthami, al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, Rabiah Adawiyah dan lain-lain.
Tergila-gilanya Qays yang digambarkan oleh Nizami merupakan perwujudan cinta tanpa alasan. Jika seseorang ditanya “mengapa cinta Allah?” lalu menjawab “saya tidak tahu mengapa saya mencintai Allah”, maka ia mencinta dengan tulus dan murni.
Sangking cintanya ia kepada Tuhan, sampai tak mampu untuk mengemukakan alasan logisnya. Begitulah selayaknya cinta hamba kepada Tuhannya. Sebuah cinta tanpa mengharap surga, atau takut neraka.
Editor: Dhima Wahyu Sejati