Fikih

Lembaga Amil Zakat Tak Boleh Semena-Mena Menentukan Besaran Haknya

3 Mins read

Lembaga Amil Zakat | Belakangan santer diberitakan di berbagai lini masa media, terkait isu penyalahgunaan dana operasional sebuah lembaga sosial. Diduga, penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukkannya. Hal ini sontak menjadi headline dan juga topik diskusi yang menarik minat banyak pegiat. Terutama karena dikaitkan lembaga sosial tersebut erat hubungannya dengan agama Islam.

Akhirnya, semua fokus dan tertuju pada lembaga sosial atau lembaga filantropi Islam. Walaupun secara izin, operasional lembaga sosial yang dimaksud hanya memiliki izin pengumpulan uang dan barang di bawah Kementerian Sosial.

Hal ini akan berbeda dengan lembaga filantropi Islam yang bertugas untuk menghimpun dan mendayagunakan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya yang diatur dengan ketentuan perundang-undangan tersendiri.

Indonesia secara resmi mengakui keberadaan dua jenis lembaga. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) didasarkan pada Undang-Undang No 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kemudian, diimplementasikan melalui PP No 14 tahun 2014.

Hal ini sebagai penguat bahwa basis pengelolaan zakat harus dikelola oleh lembaga profesional yang memiliki kredibilitas dan integritas. Sehingga zakat, infak, dan sedekah (ZIS) memberikan kontribusi dalam mendukung setiap program pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan di seluruh pelosok negeri.

Berkaca pada sejarah panjang peradaban Islam, bahwasannya ZIS sejak zaman Rasulullah Saw telah dikelola secara baik oleh pengelola. Pengelol tersebut dikenal dengan sebutan amil zakat. Amil zakat sendiri telah disebutkan secara tersurat di dalam QS. At-Taubah ayat 60 sebagai berikut:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Lalu Sebagai Pengelola Zakat, Seberapa Besar Amil Memperoleh Haknya?

Secara sederhana, dalam keterangan QS. At-Taubah ayat 60 di atas, telah dinyatakan bahwa amil zakat merupakan satu di antara delapan ashnaf yang diperbolehkan mendapatkan bagian dari zakat itu sendiri. Indikasinya, amil mendapatkan hak sebesar 1/8 atau 12,5% dari zakat yang berhasil dihimpun dari muzakki.

Baca Juga  Haruskah Bermazhab Fikih di Zaman Sekarang?

Selain merujuk pada ayat di atas, ketentuan ini mengacu pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No 606 tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah atas Laporan Pelaksanaan Pengelolaan Zakat, Infak, Sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan lainnya pada Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat pada Bab III bagian 2 huruf k yang menyebutkan bahwa penggunaan hak amil dari dana zakat tidak melebihi 1/8 atau 12,5% dari total penghimpunan dalam setahun dan tidak terjadi pengambilan hak amil ganda dalam konteks penyaluran.

Lebih lanjut pada huruf l dinyatakan bahwa penggunaan dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya untuk keperluan operasional amil paling banyak 20% dari jumlah dana yang terkumpul.

Ketentuan hak amil diperkuat oleh hukum positif di Indonesia. Yaitu UU Pengelolaan zakat dan aturan turunan di bawahnya yang memperbolehkan amil mendapatkan haknya sebagai upaya untuk mendukung amil zakat bekerja secara profesional.

Penegasan kebolehan menggunakan hak amil untuk membiayai kegiatan operasional lembaga didasarkan pada Pasal 30, 31, 32, dan 33 Undang-Undang No 23 tahun 2011. 

Kebolehan menggunakan hak amil tidak lantas menjadikan organisasi pengelola zakat, Baznas/LAZ, lupa akan hakikat pendayagunaan ZIS dan dengan seenaknya menggunakan untuk kepentingan amil secara personal.

Hal ini kemudian ditegaskan oleh PP No 14 tahun 2014 Pasal 67 bahwa hak amil dapat digunakan berdasarkan pertimbangan aspek produktivitas, efektivitas, dan efisiensi dalam pengelolaan zakat.

Integritas Lembaga Amil Zakat

Ketiga aspek yang telah disebutkan dalam PP No 14 tahun 2014 di atas dapat mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap amil yang mengelola ZIS. Beberapa kajian empiris menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat berminat atau enggan menunaikan zakat melalui amil adalah tingkat kepercayaan terhadap amil tersebut (Ningrum, 2022; Fitriyani dan Irkhami, 2022; Indrarini, 2022).

Baca Juga  Fikih Unsuriyyah: Bagaimana Rasisme dalam Islam?

Kepercayaan masyarakat luas terhadap amil zakat hendaknya menjadi daya ungkit untuk meningkatkan kinerja lebih baik, sehingga kekhawatiran terhadap pengelolaan dana ZIS yang tidak profesional dapat diminimalisir dan mendorong masyarakat tidak lagi mendistribusikan ZIS secara mandiri.

Sebab salah satu ibadah mahdhah yang disebutkan secara nyata pengelolanya dalam Al-Qur’an adalah zakat, maka zakat seharusnya didistribusikan melalui amil zakat yang telah ditunjuk dan terpercaya.

Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat memberikan penjelasan terkait tugas amil zakat, yaitu: 1) penarikan/pengumpulan zakat yang meliputi pendataan wajib zakat, penentuan objek wajib zakat, besaran nishab zakat, besaran tarif zakat, dan syarat-syarat tertentu pada masing-masing objek wajib zakat; 2) pemeliharaan zakat yang meliputi inventarisasi harta, pemeliharaan, serta pengamanan harta zakat; dan 3) pendistribusian zakat yang meliputi penyaluran harta zakat agar sampai kepada mustahiq zakat secara baik dan benar, dan termasuk pelaporan.

***

Karena tugas yang melekat pada Amil zakat tersebut, fatwa MUI dan Undang-Undang menyarankan bahwa Amil mendapatkan pembiayaan yang bersumber dari pemerintah sebagai ulil amri dan juga dapat memanfaatkan hak amil guna mendorong program-program yang berkelanjutan.

Maka, yang sangat perlu untuk diberikan pemahaman bahwa hak amil yang dimaksud tidak hanya terbatas pada gaji yang diterima pengelola, melainkan seluruh kegiatan operasional lembaga harus di-cover. Oleh karena itu, amil zakat didorong untuk memiliki integritas yang tinggi guna mempertanggungjawabkan pengelolaan ZIS kepada masyarakat luas.

Maka bagi amil zakat di Indonesia, laporan yang disampaikan tidak cukup dengan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari auditor eksternal, melainkan juga harus mampu mempertanggungjawabkan pegelolaannya secara benar sesuai dengan ketentuan syariat.

Baca Juga  Ibadah at Home Ramadhan yang Pahalanya Besar

Hal inilah yang kemudian mengharuskan amil zakat diaudit kepatuhannya terhadap prinsip-prinsip syariah. Implementasi kedua aspek ini sebagai indikator untuk menilai integritas amil zakat secara kelembagaan. Wallahu a’lamu.

Editor: Yahya FR

Eris Munandar
17 posts

About author
Dosen / Ketua LPPM STEI Ar-Risalah Ciamis
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds