Membahas tradisi di Indonesia memang tak ada habisnya. Mulai dari bulan Januari sampai Desember, mulai dari awal bulan hingga akhir bulan. Indonesia tak pernah lepas dari upacara tradisi. Baru-baru ini misalnya, bulan Syawal selalu menjadi ajang tradisi. Berbagai tradisi dilakukan untuk menyambut hari kemenangan. Salah satunya tradisi yang dilakukan masyarakat Lhoksuemawue, yakni Tuet Budei Trieng.
Lebaran ini dapat dikatakan sebagai lebaran terburuk yang pernah dialami umat muslim. Tak ada mudik, tak ada halal bihalal, berdiam dri di rumah, mengikuti protokol kesehatan, atau ada pula yang harus karantina mandiri. Meski demikian, menyambut dengan suka cita dan melangsungkan kearifan lokal tetap perlu. Ya, itulah yang terjadi di masyarakat Lhoksuemawue, Aceh Utara. Semangat tinggi tetap ada pada diri warga desa untuk tetap melestarikan tradisi ini.
Tuet Budei Trieng
Di desa penulis tradisi ini sudah terbilang jarang dilakukan ketika hari raya idul fitri. Biasanya pelaksanaan tuet budei trieng dilakukan malam kedua setelah lebaran. Bambu diambil satu hari sebelum hari raya berlangsung, kemudian dihias agar menarik. Prosesi pengambilan bambu dilakukan bersamaam dengan tradisi muegang.
Tuet budei trieng atau yang dikenal akrab dengan perang meriam bambu ini biasanya dilakukan di sepanjang aliran sungai atau sekitar sawah yang telah panen. Bahan yang biasa digunakan bambu atau drum kaleng minyak. Semakin besar diameter yang dibuat, dentuman yang dihasilkan pun akan semakin menggelegar.
Masyarakat desa Lhoksuemawue percaya bahwa tradisi tuet budei trieng menggambarkan jiwa masyarakat Aceh yang siap berjuang. Selain itu, dentuman dari drum kaleng minyak juga memberikan simbol kepada generasi muda agar tidak gentar dalam menjalani hidup. Semakin besar dentuman yang dibuat, itu menandakan semakin kuat generasi mudanya.
Tradisi Meugang dan Jak Bak Guree
Tradisi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan munggahan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda. Tradisi biasanya digelar dengan acara makan besar bersama sanak keluarga, teman-teman, tetangga, fakir miskin, dan anak yatim.
Di Aceh, tradisi meugang ini dilaksanakan dengan mencari, membeli, memasak, dan menyantap daging sapi, kambing atau kerbau. Acara penyantapan biasanya kondisional, bisa dilakukan di meusanah atau di pondok atau dihalaman luas. Jadi, anggota keluarga akan ke pasar hewan untuk membeli daging-daging pilihan yang nantinya akan dimasak. Setiap keluarga bebas menentukan, apakah dia ingin memberikan daging mentah atau daging yang sudah dimasak.
Daging yang dipersembahkan dalam tradisi meugang merupakan daging sapi atau kambing yang baru dipotong sebelum kita membelinya. Prosesi pemotongan dilakukan ketika subuh ataupun sore hari. Jika pemotongan dilakukan sore hari, daging-daging biasanya di gantung di dalam rumah guna menghilangkan aroma amis dari daging tersebut. Jadi tidak hanya membeli daging di pasar, tapi juga bisa menyaksikan proses penyembelihannya.
Selain tradisi tuet budei trieng dan muegang, desa penulis juga biasanya melakukan jak bak guree atau suatu tanda penghormatan kepada guru. Pelaksanaannya sederhana saja, selepas solat Id, warga desaakan menghampiri rumah guru mereka, mencium tangannya, meminta maaf, dan sang guru akan mendoakan kita saat itu juga. Selain bersilaturahmi, biasanya kami membawa beberapa bingkisan seperti kue-kuean ataupun bingkisan lain sebagai tanda terima kasih dan rasa syukur atas ilmu yang telah diberikan.
Syawal di Lhoksuemawue
Biasanya ketika menyambut bulan Syawal, pemuda-pemuda desa sibuk diberbagai kegiatan. Ada yang sibuk menyiapkan tradisi tuet budei trieng, ada yang sibuk di meusanah, ada juga yang sibuk kumpul-kumpul biasa di kedai kopi. Biasanya pemuda di sini menghabiskan waktu dengan main kartu atau hanya sekedar ngobrol di kedai.
Alasan lain kegiatan ini adalah untuk berjaga-jaga agar tidak ada kegiatan apapun yang menggangu keberlangsungan sholat Id esok harinya. Menjelang subuh, baru mereka akan kembali ke rumah masing-masing untuk bergegas sholat Id.
Tak hanya para pemuda, kawula perempuan pun turut serta memeriahkan. Salah satunya dengan membuat kue lebaran. Di Lhoksuemawue, ada beragam jenis kue. Dari kering hingga basah, berikut rangkumannya :
- Kue Kuekarah
Kue ini hanya ada ketika hari raya, yaitu idul fitri dan idul adha. Kuekarah terbuat dari tepung beras yang digoreng dengan sebuah cetakan. Pembuatan kue ini terbilang rumit karena salah-salah membentuk tesktur akan gepeng dan kue menjadi cepat gosong. Biasanya dikombinasikan dengan pahitnya kopi Gayo.
- Kue Timphan
Kue inilah yang menjadi ciri khasnya orang Aceh di awal bulan Syawal, yakni kue timphan. Ciri khas kue ini ialah teskturnya yang lembek, kenyal, dan legit ketika dimakan. Kue yang dibungkus dengan daun pisang muda ini memiliki variasi rasa yang beragam, ada yang isi kelapa, srikaya, duren, dan sebagainya.
Sebenarnya masih banyak sekali kue-kue hidangan lainnya, seperti misalnya kue suepet kuwet, kue bhoi, kue kembang loyang, muesuekat, dan lain sebagainya. Walaupun begitu, pembuatan kue pada tahun ini tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Karena akan mubazir jika tidak ada keluarga yang memakan. Jadi, kehadiran wabah ternyata sangat berpengaruh pada antusias masyarakat Lhoksuemawue dalam menyambut bulan Syawal.