Inspiring

Lika-liku Maarif Institute Memperjuangkan Spirit Toleransi di Indonesia

4 Mins read

Kita butuh wajah Islam yang sesuai dengan konteks keindonesiaan dan kemanusiaan. Wajah Islam moderat, Islam yang damai, tak ada intoleransi, dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap umat beragama di Indonesia. Semua pihak perlu bekerjasama untuk mewujudkan itu.

Salah satu lembaga yang telah berjuang cukup lama untuk itu adalah Maarif Institute. Resmi berdiri di tahun 2003, Maarif Institute merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus mempromosikan ide dan gagasan besar Buya Ahmad Syafii Maarif tentang Islam, Keindonesiaan, dan Kemanusiaan.

Sebagaimana judul buku yang sangat populer dari seorang Buya, yakni “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”. Dimana Islam harusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Keindonesiaan dan Kemanusiaan.

Dalam menampilkan dan mengimplementasikan Islam yang sesuai dengan semangat keindonesiaan itu, setiap kelompok memiliki istilah-istilah yang berbeda-beda. Seperti Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan dan NU dengan Islam Nusantara.

Munculnya istilah-istilah yang berbeda dari setiap kelompok, nampaknya membutuhkan upaya untuk mempersatukan semua gagasan-gagasan, sehingga muncullah istilah “Islam Wasathiyah”. Dimana baik Islam Berkemajuan, Islam Nusantara, Islam Wasathiyah, sejatinya adalah upaya untuk memoderasikan pemahaman-pemahaman keagamaan di Indonesia.

Maarif Institute mempercayai bahwa Islam Islam Wasathiyah itu sebagai bentuk nomenklatur baru yang bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat dalam upaya memoderasikan Islam di Indonesia.

Selama dua dekade perjalanan, Maarif Institute terus konsisten dalam menanamkan pemikiran-pemikiran Buya Syafii Maarif sebagai guru bangsa dari segi keislaman yang moderat, khususnya di kalangan generasi muda. Generasi muda yang melingkupi; pelajar, mahasiswa, dan juga dosen-dosen muda.

Di kalangan pelajar, Maarif Institute melaksanakan program tahunan bernama “Jambore Pelajar Teladan Bangsa”. Dalam proses kegiatannya, Maarif Institute menyeleksi 100 pelajar terbaik dari seluruh Indonesia dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi saat melakukan pendaftaran sehingga dirinya layak diterima menjadi peserta dalam kegiatan Jambore Pelajar Teladan tersebut.

Baca Juga  Masyarakat Dusun Sarapati: Penghayat Kejawen yang Sukses Menerapkan Nilai-Nilai Toleransi

Lewat program Jambore Pelajar Teladan Bangsa ini, Maarif Institute ingin menanamkan nilai-nilai moderasi beragama kepada para anak-anak muda yang berasal dari berbagai agama dari seluruh daerah di Indonesia.

Tak selalu berjalan mulus, Maarif Institute kerap berhadapan dengan tantangan dan hambatan di program ini. Tantangan itu sering muncul dari guru dan orang tua masing-masing pelajar. Masih banyaknya orang tua dan guru yang tidak mengizinkan anak-anaknya untuk berkunjung ke tempat ibadah agama lain menjadi tantangan tersendiri saat program Jambora Pelajar Teladan berlansung.

“Yang muslim takut masuk ke gereja, karena takut tiba-tiba Log Out. Yang non muslim takut masuk masjid, karena takut tiba-tiba Log In. Semua asumsi ini muncul karena rasa curiga dan takut dari setiap orang tua dan guru,” ungkap Rahim Ghozali, Direktur Eksekutif Maarif Institute pada (24/5//24).

Namun Maarif Institute merasa hal itu bukanlah hambatan, tapi justru sebuah peluang. Peluang bagi Maarif Institute untuk bisa menjelaskan dan mendengarkan sedetail-detailnya tentang pengalaman yang mereka dapatkan setelah berinteraksi dengan kelompok agama yang berbeda.

“Sebab nantinya anak-anak yang mendapatkan izin untuk masuk ke rumah ibadah agama lain akan menceritakan pengalamannya kepada teman-teman yang tidak ikut masuk. Jadi mereka akan saling berbagi cerita masing-masing,” tutur Rahim.

Maarif Institute yakin bahwa sikap intoleransi sering terjadi terutama disebabkan karena ketidaktahuan. Raim mengutip sebuah pepatah yang mengatakan; “Al-Insaanu ‘Aduwwun bima jahula”, manusia itu cenderung memusuhi apa yang tidak mereka ketahui. Namun setelah mereka tahu tentang agama lain, yang awalnya menampakkan permusuhan kemudian akhirnya berubah menjadi persahabatan.

Adapun di kalangan mahasiswa, sebut Rahim, Maarif Institute juga mempunyai beberapa program, salah satunya adalah Maarif Fellowship. Maarif Fellowship adalah penjaringan calon-calon peneliti muda. Proses kegiatannya tak jauh berbeda dengan Jambore Pelajar Teladan Bangsa, namun sedikit lebih ketat.

Baca Juga  Ali Shariati dan Humanisme Islam

Kegiatan ini diadakan oleh Maarif Institute setiap dua tahun sekali. Dimana Maarif Institute akan memberikan pengumuman kepada mahasiswa bahwa Maarif Institute menerima pendaftaran Maarif Fellowship. Setiap mahasiswa akan mengajukan proposal penelitian dengan berbagai tema yang berbeda-beda.

Dalam proses risetnya, kata Rahim, para peserta akan ditekankan untuk meninggalkan prinsip-prinsip yang sudah Maarif Institute jalankan selama ini. Seperti toleransi, non diskriminasi, dan nilai-nilai lain yang selama ini menjadi konsen perjuangan Buya Ahmad Syafii Maarif.

Kemudian untuk dosen-dosen muda, ucap Rahim, ada yang namanya Sekolah Kebangsaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh Maarif Institute. Prosesnya tak jauh berbeda dengan dua program yang sebelumya. Titik letak perbedaannya hanya di jumlah peserta. Untuk program SKK, Maarif Institute hanya menerima peserta sekitar 30-40 orang dari kalangan mahasiswa dan dosen-dosen muda.

Rahim menyampaikan bahwa, Maarif Institute sudah menggelar Sekolah Kebangsaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bogor, Solo, dan lain-lain.

“Tugas mereka di awal adalah membuat essai. Mereka yang lolos essai akan kami undang untuk mempresentasikan essainya di hadapan para juri yang sudah ditentukan oleh pihak Maarif Institute,” paparnya.

Forum Sekolah Kebangsaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif yang diadakan oleh Maarif Institute juga menjadi forum diskusi para peserta dengan berbagai topik, salah satunya topik tentang pemahaman agama yang moderat, yang sesuai dengan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan.

Di luar program internal, Maarif Institute juga menjalin dan melaksanakan program-program kemitraan dengan berbagai lembaga-lembaga yang ada, salah satunya dengan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development).

Dalam program kemitraan ini, apapun bentuknya, Maarif Institute selalu menekankan adanya komponen bagaimana mengembangkan pemikiran keagamaan yang moderat dalam setiap kali pelaksanaanya.

Baca Juga  Toleransi dan Radikalisme yang Masih Salah Kaprah

“Meskipun implementasi dan bentuk programnya bermacam-macam. Sebab diadakan untuk berbagi kalangan, baik guru, anak-anak muda, aktivis-aktivis perempuan. Namun itu semua tidak lepas dari bagaimana mengedepankan Islam yang sesuai dengan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan,” imbuh Rahim.

Maarif Institute memahami bahwa Indonesia adalah negara yang sangat pluralis dan beragam. Keragaman Indonesia tidak hanya dari suku, bahasa, agama, tetapi juga dari segi mazhab. Ada NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, bahkan Syiah yang seringkali dianggap sesat oleh sebagian kalangan umat Islam.

Maarif Institute hadir dan berusaha untuk memproporsionalkan pandangan dalam masyarakat tentang apa yang sebenarnya diyakini oleh mereka yang menganggap sesat kelompok yang berbeda.

Rahim mengatakan, Maarif Institute ikut membantu mengadvokasi mereka-mereka kelompok minoritas yang telah dianggap sesat, diusir dari kampung halaman, dibakar tempat ibadah dan persoalan lainnya.

Bagi Rahim, hadirnya kelompok-kelompok yang intoleran, yang berusaha untuk menghalangi kelompok agama lain bukan saja untuk beribadah tetapi juga untuk mendirikan tempat ibadah juga menjadi tantangan tersendiri bagi Maarif Institute.

Maarif Institute percaya bahwa perihal itu sudah dijamin oleh konstitusi seperti di dalam undang-undang dasar pasal 29 disebutkan, “Setiap warga negara berhak untuk beragama dan beribadah menurut keyakinan agama masing-masing”.

Sebagaimana dalam dikutip ushul fiqh seperti yang dikutip oleh Rahim disebutkan, “Jikalau kita mewajibkan sesuatu, maka hal-hal yang menjadi sarana untuk untuk mencapai kewajiban itu hukumnya wajib juga”. Artinya, kita juga harus memberikan akses bagi pendirian tempat ibadah agama lain sebagai sarana untuk mereka beribadah.

Demikianlah lewat berbagai program-program dan upaya-upaya yang ada, Maarif Institute terus konsisten memperjuangkan spirit toleransi di tengah masyarakat yang majemuk dan plural seperti Indonesia. Maarif Institute tak lelah mengkampanyekan moderasi beragama di tengah kompleksnya tantangan dan hambatan yang ada.

*)Artikel ini merupakan hasil kerjasama dari IBTimes dengan INFID

Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds