Inspiring

Lima Alasan Mengapa Buya Syafii Maarif Patut Anda Hina

3 Mins read

Siapa yang tidak kenal dengan Buya Syafii Maarif? Selain berkata keras atas apa yang dianggapnya salah, ia tidak segan untuk mengkritik di tengah orang-orang yang memiliki sikap diam terhadap penyelewengan karena mereka mayoritas. Salah satu kritik Buya Syafii yang sangat keras adalah kepada kecintaan orang-orang kepada keturunan Nabi yang begitu didewa-dewakan dengan pujian-pujian di depan balihonya. Sebagaimana dikatakan langsung olehnya dalam akun Twitter yang dikelola oleh salah seorang kader Muhammadiyah yang dekat dengan beliau.

“Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual. Bung Karno puluhan tahun yang lalu sudah mengkritik keras fenomena yang tidak sehat ini.”

Twitter @SerambiBuya

Ya, ungkapan ini tidak hanya menuai pujian, melainkan juga kritik balik sekaligus caci dan makian. Selain dianggap sebagai ulama yang berpihak kepada pemerintah saat ini, Buya Syafii dianggap sebagai ulama yang tak tahu diri. Tentu saja, itu cacian dengan level terendah. Melalui tautan berita di Detik.com dan kanal media online lainnya yang direspon oleh warganet, caci dan makian kepada beliau sangat menjijikan sekaligus kotor.

Karena itu, bagi saya penting kiranya untuk menjelaskan lima alasan penguat untuk orang-orang yang mencaci Buya Syafii itu. Ini dilakukan sebagai amunisi bahwa beliau memang orang yang tidak pantas disebut ulama saat ini. Apalagi beliau adalah orang yang pernah memimpin lembaga dengan amal usaha yang luas dan besar seperti Muhammadiyah.

Lima Alasan Buya Syafii Maarif Patut Anda Hina

Pertama, ulama kok enggak dikawal. Jika mengamati keseharian kehidupan buya Syafi’i, anda akan melihat bahwasanya ia kemana-mana tanpa pengawalan. Ia selalu bepergian sendiri. Kalaupun ada yang menemani, biasanya adalah Erik, adik kelas saya di Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Itu pun ia biasa menggunakan motor layaknya masyarakat umumnya.

Baca Juga  Abdul Mu'ti: Iso Rumongso bukan Rumongso Iso

Bayangkan, selevel ulama kok tidak ada pengawalan, bagaimana keamanan dirinya ketika di jalan? Apakah ia tidak khawatir diserempet mobil dan motor? Apakah ia tidak khawatir nyawanya terancam atas setiap pernyataan politik yang disampaikan dalam tulisan yang membuatnya orang yang dikritik merasa terhina? Ini ulama Muhammadiyah macam apa? Jauh banget lah apabila dibandingkan dengan ulama yang diiringi dengan mobil jeep mahal dengan bak terbuka dan kemudian dielu-elukan melalui iring-iringan mobil dan motor sehingga aktivitas bandara sampai terhenti.

Kedua, ulama naik sepeda ontel. Jika anda berada di jalan-jalan kota Jogja dan kemudian melihat ada lelaki paruh baya naik sepeda dengan kaos biasa dan topi hitam, coba amatilah siapa beliau. Di antara banyak laki-laki paruh baya naik sepeda ontel bisa jadi itu adalah Buya Syafii Maarif. Padahal beliau adalah lulusan PhD dari Universty of Chicago, kampus Amerika Serikat di mana dewa kajian Islam, Fazlur Rahman, mengajar. Kampus ini menjadi salah satu kampus favorit incaran anak-anak LPDP sekaligus yang mendapatkan beasiswa Fullbright.

Selain itu, bukunya yang ia tulis sangat serius pada usia 75 tahun sudah diterjemahkan oleh Leiden Press pada tahun 2018 dengan judul Islam, Humanity, and Indonesian Identity : Reflections on History. Memang sih, sekarang eranya trend sepeda, di mana sepeda orang dewasa sekarang paling murah adalah 2 juta rupiah. Namun, coba kamu cek sepeda buya tersebut.

Saya yakin, orang yang mengkoleksi sepeda mahal bakal geleng-geleng melihat pasaran harga sepeda tersebut. Sekelas ulama seperti beliau yang bisa langsung orang telepon nomor satu di Indonesia sekaligus mengkritik langsung elit politik papan di Indonesia naik sepeda butut di mana pencuri pun malas banget untuk melirik.

Baca Juga  Buya Syafii Maarif: Filosofi Garam vs Gincu

***

Ketiga, ulama kok miskin. Tidak sedikit ulama dan penceramah sekarang berlomba-lomba untuk menjadi kaya. Ya, selain untuk menaikkan gengsi mereka dihadapan jama’ahnya, dengan menjadi kaya setidaknya akan sebanding dengan level bayaran ceramah yang diterimanya. Bagaimana dengan Buya Syafii Maarif? Saya punya cerita.

Suatu saat ada orang mengirimkan uang ke rekening beliau. Jumlah uang tersebut tidak banyak, hanya 70 juta rupiah. Namun, saat beliau mengkonfirmasi ulang beberapa bulan kemudian ternyata uang itu sebenarnya ditujukan untuk Persyarikatan Muhammadiyah. Karena itu bukan hak miliknya, ia pun mengembalikan uang tersebut. Namun, alih-alih dibayarnya dengan tunai, ia membayarnya dengan mencicil, mengingat uang tersebut digunakan untuk kemaslahatan orang-orang di sekitarnya. Anjay, ulama besar di Muhammadiyah yang memiliki amal usaha sekian besar dan kaya, ada pemimpinnya mengganti dengan cara dicicil. Malu-maluin banget enggak sih?

Keempat, ulama kok ngasih pinjaman uang gede dengan orang yang tak dikenal. Saat itu kebetulan Buya Syafii sedang berada di rumah, tiba-tiba ada seorang seniman datang kepadanya. Seniman ini sebenarnya kenal umum saja dengan Buya Syafii, tapi Buya Syafii tidak kenal dengan beliau. Ia sangat membutuhkan uang dan bingung mau pinjam ke mana lagi setelah pintu satu dan yang lainnya benar-benar tertutup. Ia pun memberanikan diri untuk meminjam kepada Buya Syafii Maarif.

Alih-alih buya Syafi’i bertanya nama lengkapnya siapa, alamatnya di mana, dan barang apa yang bisa dijadikan jaminan. Beliau langsung memberikan saja pinjaman tersebut sebesar 20 juta rupiah. Halo!!!!! Itu duit, Buya, bukan daun woi! Jujur, saya saja sama saudara sendiri belum bisa kayak gitu. Ini orang enggak dikenal kok berani-beraninya figur ulama seperti dirinya meminjamkan uang kepada orang yang enggak dikenal. Saya yakin, kalau orang dari pihak bank dengar pasti juga memaki-maki dan menyatakan Buya Syafii ini bodoh banget!

Baca Juga  Ilmu Sosial Otonom: Sebuah Tawaran Syed Hussein Alatas

Kelima, ulama kok makanannya enggak sehat. Ini hal yang menjengkelkan buat saya. Saat main ke rumahnya dan waktunya makan malam saya dan beberapa teman yang hadir ternyata disuguhkan tongseng dan tengkleng. Jujur, alif saya masih berdiri dengan tegak sehingga istri bisa mengatakan waw saat kami ingin melakukan ibadah malam Jumat. Tapi kalau saya makan yang berbau daging, apa lagi kambing, mohon maaf saya mendingan mundur.

Ini karena, saya pernah merasakan bagaimana jari-jemari ini agak sulit bergerak gara-gara ketagihan makanan seperti itu. Lah, beliau usianya sudah 85 tahun dan masih suka makan tongseng kambing dan tengkleng. Jujur saja nih, algoritma kesehatan badan saya terguncang dan denyut nadi saya berteriak kencang mentertawakan betapa lemah iman saya dalam persoalan makan beginian.

Editor: Nabhan

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

This will close in 0 seconds