Perspektif

Lima Karakter Orang Muhammadiyah

3 Mins read

Ada satu pertanyaan yang dari dulu agak menganggu saya, sebagai orang Muhammadiyah yang baru ber-Muhammadiyah 11 tahun Pertanyaan itu adalah: apa yang membuat menjadi Muhammadiyah? Kan, tentu berbeda antara “menjadi Muhammadiyah” dan “tampak Muhammadiyah”. Tapi, sekali pun kita ingin menekankan diri pada yang terlihat, saya tetap bingung, apa yang membuat kita terlihat Muhammadiyah?

Agar terlihat santri, seseorang butuh sarung dan peci. Agar terlihat salafi, seseorang butuh bercelana cingkrang dan cukuplah ber-‘ana-antum’. Dulu orang Muhammadiyah berani bercelana, berjas atau berdasi, tapi sandang itu kini telah lazim. Di warung kopi, jawaban-jawaban formal seperti “punya kartu anggota” atau “pernah Darul Arqam” tertolak.

Akhirnya, kami menyerah pada pembicaraan tentang yang tampak. Kami menginginkan sesuatu yang lebih prinsipil, yang melampaui citra. Apa yang membuat kami “menjadi Muhammadiyah”? Kami temukan 5 jawaban, yang ternyata telah diulas oleh Prof. Amin Abdullah dalam Fresh Ijtihad. Bagi kami, orang Muhammadiyah punya lima karakter.

Konsisten ‘Menyapa Kaum Papa’

Ini adalah karakter sekaligus konteks besar kemunculan Muhammadiyah. Kyai Dahlan saat itu dikepung kenyataan bahwa imperialisme Barat menciptakan kemiskinan, kebodohan, dan sakit berkepanjangan. Umat Islam di Indonesia pada umumnya kalah dalam bidang pendidikan dan kesehatan dari umat Nasrani yang disupport oleh pemerintah Hindia Belanda.

Kyai Dahlan melihat ‘kaum papa’ sebagai rakyat jelata terlantar. Bahasanya, mustadh’afin, yang terlemahkan oleh sistem sosial-politik-ekonomi yang tidak memihak. Sedangkan ‘sapaan’ adalah membangun sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Kyai Dahlan sendiri habis-habisan bersedekah dan menggalang dana demi kepentingan operasional tanpa mengambil untung.

Kini, ejawantah ‘kaum papa’ dan ‘sapaan’ bisa berubah. Dalam konteks ekologis, post-neo-mustadh’afin adalah ekosistem yang terzalimi oleh nalar dan sistem budaya antroposentris-industrial. Sedangkan ‘sapaan’ adalah penyelamatan yang bukan saja bersifat rehabilitasi-konservasi, melainkan juga advokasi kebijakan dan pengorganisasian rakyat melawan oligarki.

Baca Juga  Kyai Muhammad Santri: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Ajaran Martabat Tujuh

Tidak Memisahkan Urusan Dunia dan Akhirat

Orang Muhammadiyah menuju akhirat tidak dengan cara meninggalkan urusan dunia. Justru orang Muhammadiyah menggapai akhirat dengan cara mengurus dunia. Ini adalah konsekuensi dari karakter pertama. Dakwah Muhammadiyah tidak sekadar dakwah mimbar, ibadahnya bukan sekadar ibadah masjid. Bagi Muhammadiyah, keduanya harus berujung pada amal-sosial.

Saya pernah mendengar cerita seorang dokter yang memutuskan mencabut sumpah dokter karena ingin beribadah di masjid saja. Pilihan itu tidak jelek, tapi bukan begitu cara orang Muhammadiyah berpikir. Bila orang Muhammadiyah jadi dokter, dakwah dan amal salehnya meluas: ia bisa menggalang gerakan dan mengupayakan masyarakat dunia yang lebih sehat.

Muhammadiyah melakukan purifikasi dan menghapus TBC (takhayul, bid’ah dan churafat) bukan tanpa tujuan. Tauhid dibersihkan agar yang mengikuti tauhid itu adalah amal saleh yang memperbaiki dan merawat dunia. Bila tidak dibersihkan, fokus umat Islam menjadi bukan aktivisme amal saleh, namun ritual-ritual konsumtif. Sedangkan situasi menuntut perubahan.

Gandrung Pada Pemikiran Segar

Muhammadiyah tidak mungkin menggalang pergerakan tanpa dasar-dasar ilmiah. Tidak ada dalam kamus Muhammadiyah adagium konyol berbunyi “kebanyakan wacana padahal praktek lebih penting”. Praktek yang lurus dimungkinkan karena konsepsi wacana yang jernih. Sebelum beramal, orang harus berilmu. Tapi keduanya boleh bahkan harus berjalan siring.

Maka orang Muhammadiyah pasti gemar belajar dan mencintai majelis ilmu. Tapi watak ilmu yang khas Muhammadiyah tidak bersifat permukaan. Ibarat pengajian, tidak cukup hanya sekadar mengutip dalil. Saya pernah ikut pengajian Ramadan di masjid Muhammadiyah yang sama, dan selama 17 hari masih hanya membahas satu ayat saja. Dalam sekali kupasannya.

Karakter pemikiran khas Muhammadiyah selalu inovatif, alternatif, rasional, historis, dan mendalam. Dengan begitu orang Muhammadiyah “berani berbeda” dan melawan mainstream. Kyai Dahlan adalah man of action sekaligus man of thought―dengan ilmunya ia mampu berpikir melampaui zaman dan menggarap ranah dakwah yang penting namun diabaikan.

Baca Juga  Aku Menyembah Sepakbola dan Memperlakukannya Seperti Tuhan

Catatan penting dalam hal ini adalah: maka patut dipertanyakan bila orang Muhammadiyah gelisah pada sesuatu yang baru, saat ‘kebaruan’ adalah ciri utama Muhammadiyah.

Mahir Mengejawantahkan Islam

Mengejawantahkan Islam berarti adalah mengamalkan perintah Allah dalam bentuk-bentuk yang lebih luas. Bahasa akademiknya, kontekstualisasi. Bentuk kebaikan yang disebut dalam teks suci bisa dikembangkan prakteknya sesuai konteks. Misalnya, akhlak membuang duri di jalan bisa diejawantahkan menjadi etika tidak membangun polisi tidur sewenang-wenang.

Ejawantah terkenal Muhammadiyah adalah al-Ma’un. Setelah mengaji al-Ma’un berpuluh kali, seorang murid protes pada Kyai Dahlan. Oleh Kyai Dahlan, ia ditanya apakah ayat ini sudah diamalkan. Tertegun, para murid mulai menginisasi bentuk-bentuk kreatif menyantuni anak yatim. Mereka dikumpulkan, dimandikan, diberi makan, dan disekolahkan.

Ejawantah itu sesuai dengan konteks yang dihadapi Kyai Dahlan, yakni kemunduran generasi. Sedekah bukan bentuk final dalam menyantuni anak yatim. Mereka harus dididik hingga mandiri. Perintah Iqra’ mendorong berdirinya sekolah, doa kesembuhan mendorong berdirinya rumah sakit. Ejawantah adalah kemahiran dasar Muhammadiyah, tentu kecuali dalam hal ibadah.

Menghindari Politik Praktis

Sejak awal berdiri, Kyai Dahlan dan murid-muridnya konsisten menjaga Muhammadiyah agar tidak terlibat dan tergoda menjadi partai politik. Godaan untuk berpolitik sangat besar. Muhammadiyah diperhitungkan banyak pihak. Berkali-kali Muhammadiyah dibujuk untuk berpolitik, dari Semaoen hingga Hadji Agus Salim, tapi Muhammadiyah konsisten menolak.

Apakah karena Kyai Dahlan melihat politik sebagai jalan yang kotor? Mungkin, tapi kemungkinan besar karena Kyai Dahlan melihat jalan politik rentan mencemari itikad baik gerakan, merusak keikhlasan aktivisnya, menjadikan asetnya bahan rebutan, dan memendekkan usia gerakan karena intrik politik dengan mudah bisa menjatuhkannya.

Tapi warga Muhammadiyah tidak dihalangi untuk berpolitik. Sejak awal proklamasi, banyak kader Muhammadiyah yang ‘mengisi kemerdekaan’ dengan politik gagasan. Perdebatan dalam merumuskan dasar negara bisa disimak sebagai contoh. Belakangan Muhammadiyah sadar harus mendukung kader-kader politiknya. Selama itu politik adiluhung, sah-sah saja.

Baca Juga  Mengkaji Ulang Makna Sekularisasi ala Cak Nur
Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds