Selain tentang literasi digital untuk belajar di rumah, ada beberapa hal yang saya amati beberapa waktu belakangan. Sebelum bulan puasa, pada daerah-daerah tertentu di Surabaya sudah mulai sepi. Karena ketakutan masyarakat akan penyebaran virus Corona. Saya berkeliling untuk membeli satu kerdus mie instan sebagai antisipasi makan ketika saya malas keluar untuk beli makanan.
Namun dari pasar ke pasar dan toko ke toko semua pedagang mengatakan bahwa stok mereka habis. Setelah lama berkeliling dan tidak mendapatkannya, saya putuskan untuk pulang. Pada saat perjalanan saya berhenti sejenak di warung pinggir jalan untuk makan.
Saat hendak makan nasi bungkus yang telah diambil, saya mendengar obrolan sang ibu pedagang warung, dengan salah satu pembeli yang duduk di sebelah. Mereka saling curhat bahwa efek dari libur sekolah dan pembelajaran di rumah mereka harus mengajari anak.
Tidak hanya mengajari anak tentang pelajaran, tetapi mau tidak mau mereka harus paham system pembelajaran daring.Lebih lanjut, sang ibu penjual menceritakan bahwa ia bisa membimbing anaknya untuk mengerjakan tugas daring dari sekolah, tetapi dia sendiri tidak bisa mengoperasikan daring tersebut.
Sebaliknya bapak disebelah saya menyampaikan bahwa anaknya tidak bisa mengoprasikan daring, justru si bapak yang mengerjakan tugas daringnya dari sekolah.
Literasi Digital Untuk Semua
Percakapan di atas memberikan pesan, keadaan telah memaksa semua usia untuk paham literasi digital. Keadaan pandemic ini menjadikan literasi digital sebagai sebuah kewajiban. Ada sebuah artikel yang berjudul Teaching Tip: An Investigation of Digital Literacy Needs of Students diterbitkan dalam juornal of information system education.
Artikel tersebut mengatakan bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk menggunakan alat teknologi dan komunikasi digital, jaringan akses internet, mengelola, integrasi, evaluasi, menciptakan dan mengkomunikasikan informasi agar berfungsi dalam masyarakat yang berpengetahuan.
Jadi literasi digital bukan hanya dimaknai sebagai kemampuan menggunakan teknologi untuk menggunakaannya sesuka hati, misal untuk sekedar buka youtube atau update status di facebook. Literasi di era digital berupa kemampuan mengelola, menavigasikan , evaluasi agar berfungsi dalam masyarakat.
Orang tua di era covid 19 ini memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan literasi digital untuk memberikan dan mengarahkan anak agar tidak tersesat di dalam internet. Literasi digital tidak cukup hanya dimengerti oleh siswa, pesertda didik tetapi juga orang tua.
Tugas guru lebih banyak berpindah terhadap orang tua. Meskipun para orang tua tidak memiliki teori psikologi anak, tentu mereka lebih tau bagaimana mengontrol dan mengarahkan anak selama di rumah.
Sedangkan peran guru adalah sabagai pembimbing siswa dalam rangka menguatkan literasi digital anak. Meskipun bebang mengajar hampir semuanya beralih terhadap orang tua siswa, namun jangan sampai guru hanya memberikan tugas secara online begitu banyak, yang ada bukan menguatkan literasi tetapi meningkatkan depresi anak.
Guru perlu membimbing siswa untuk menavigasikan mesin pencari agar mereka mendapatkan sumber belajar yang berkualitas, dan valid. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di dunia internet digital banyak informasi bodong.
Meminjam istilah yang digunakan oleh Thom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death Of Expertise, internet memungkinkan bunga mekar dan harum tetapi sebagian berbau busuk.
Belajar di Rumah dan Kemungkinan yang Terjadi
Kemudian apa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika siswa melakukan pembelajaran dari rumah dengan daring. Pertama adalah kendala device dan internet. Memang hampir mayoritas masyarakat saat ini memiliki smartphone sehingga bisa digunakan sebagai mobile learning.
Tetapi tidak semua memilikinya, kan? Untuk keluarga yang tergolong miskin mungkin bisa makan saja mereka telah bersyukur, mereka tidak sempat berpikir membeli device. Kemungkinan selanjutnya adalah ketersediaan internet. Ya disaat sebelum pandemi, anak-anak muda bisa datang ke warung-warung untuk mencari wifi, mereka bisa belajar, dan umumnya mereka bermain game.
Tetapi disaat ada PSBB dan masyarakat sudah mulai takut untuk keluar rumah, internet menjadi kendala utama. Untuk mengisi hiburan mereka tidak lagi bisa internetan secara gratis sambil minum kopi.
Sedangkan bagi mereka yang ada di pedalaman, harus berhadapan dengan kenyataan bahwa hp mereka tidak bisa menangkap sinyal. Bahkan sebagian dari mereka yang pulang kampung, dengan terpaksa keluar rumah dan mencari tempat dimana sinyal dapat masuk ke hp mereka.
Perguruan tinggi dan sekolah telah sangat bijak memberikan bantuan kuota untuk pembelajaran, dan hal ini sedikit meringankan beban peserta didik. Tetapi karena lamanya di rumah, mereka terpaksa membuka youtube dan aplikasi lain untuk mengusir kebosanan.
Tidak bisa dipungkiri kuota mereka gunakan juga untuk belajar hal lain diluar matakuliah dan mencari hiburan dengan internet sebagai konsekuensi logis dari aktivitas from home. Semi libur yang berkepanjangan ini benar-benar meciptakan kebosanan.
Mereka membutuhkan hiburan, wawasan baru, dan lainnya untuk menekan stress di rumah. Aktivitas tersebut sudah pasti menguras kuota internet, terlebih tidak ada yang tahu secara pasti kapan corona berhenti dan kapan berakhirnya pembelajaran dari rumah.
Masalah yang Mungkin Datang
Pada sisi lain, sekarang sedang booming aplikasi ZOOM, Google Meet, atau aplikasi lainnya yang memungkinkan untuk melakukan conference atau melakukan pertemuan virtual dengan banyak orang. Tetapi aplikasi tersebut juga banyak menyedot kuota internet. Akan menambah masalah juga, jika conference atau meeting class yang dilakukan oleh pengajar tidak menarik.
Peserta didik akan datang ke pertemuan tatap muka via virtual dengan malas. Bahkan kalaupun pakai video, mereka akan menutup tampilan wajahnya. Dan tidak ada yang menjamin mereka ikut dalam kelas beneran atau tidak. Kerena bisa saja penutupan video tidak lain dari strategi titip absen baru.
Jika pengajar memahami keadaan tersebut, mungkin mereka akan berpikir ulang kali untuk melakukan perkuliahan dengan cara yang menarik, memerlukan strategi namun tidak memberikan beban terhadap pelajar. Bayangkan jika semua matapelajaran dan matakuliah mereka menggunakan aplikasi konfrensi yang melibatkan video seperti zoom meeting atau google meeting.
Bosan dan kehabisan kuota akan menambah beban bagi pelajar yang harus stay at home. Sehingga sebagian pengajar akan lebih bijak jika mengganti pertemuan virtual dengan email, atau e-learning yang tidak terlalu banyak menguras kuota internet.
Pada konteks ini diperlukan sikap bijak dari pengajar, perlu memahami keadaan, sehingga pembelajaran dilakukan bukan hanya didasarkan pada asas kenyamanan, tetapi perlu juga memperhatikan aspek keadaan yang tidak normal.
Editor: Nabhan