Kaunia

lslam Nusantara, antara Lokalitas dan Universalitas Budaya

3 Mins read

Sebelum membahas soal Islam Nusantara, kita perlu memahami latar belakang berikut. Akhir-akhir ini banyak kajian-kajian Islam yang memarginalkan soal eksistensi dan transformasi budaya lokal. Banyak yang membahas bahwa Islam harus berorientasi pada kultur-budaya arab, sehingga memunculkan terma baru yakni gerakan Arabisasi. Arabisasi sendiri merupakan sebuah proses perubahan atau penaklukan kawasan non Arab dan pertumbuhan budaya Arab pada populasi non Arab.

Fenomena ini berakibat adanya asimilasi budaya, apalagi Arabisasi dewasa ini telah berkembang menjadi Islamisasi. Mengutip Gus Dur (Islam ku Islam Anda Islam Kita : Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006), NU Online dalam Arabisasi, Samakah Dengan Islamisasi? (Rabu, 16 April 2014), menyebutkan bahwa banyak aspek kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab.

Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi.

Sebagai contoh kebiasaan masa lampau untuk menunjuk pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti (PP) Lirboyo di Kediri, Tebuireng di Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak menggunakkan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipakailah nama PP Al-Munawwir di Yogya–misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.

Selain itu, fenomena seperti ini berakibat adanya bentuk formalisasi dan rasa kurang percaya diri pada tradisi lokal yang sudah berkembang di masyarakat. Sehingga menyebabkan dikotomi antara yang lokal dan universal dalam Islam. Untuk mempersingkat pembahasan-pembahasannya, tentunya akan kita ulas lebih lanjut, benarkah terjadi dikotomi antara budaya Islam lokal dan universal? dan bagaimana menyikapi fenomena Arabisasi yang seolah-olah menghilangkan budaya dan tradisi Islam lokal (Islam Nusantara)?

Islam Nusantara Wujud Lokalitas dan Universalitas Budaya

Dari rumusan masalah di atas, menjelaskan bahwa gempuran arus Arabisasi yang terjadi pada bangsa-bangsa muslim, ditakutkan akan mengasimilasi produk dari Islam yang sudah membaur dengan budaya suatu bangsa (Islam lokal). Apalagi jika kita membahas tentang Islam di Indonesia yang memang erat dengan akulturasi budaya lokal. Ini di sebabkan oleh faktor historis yang memang para penyebar agama Islam ke Indonesia menggunakan pendekatan sosio-kultral dalam mendakwahkan Islam.

Baca Juga  Tarawangsa: Cara Mahasiswa UMY Lestarikan Alat Musik Tradisional Nusantara

Di Indonesia sendiri Islam yang seperti ini biasa di sebut dengan “Islam  Nusantara”. Islam Nusantara merupakan model pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang dikemas melalui pertimbangan budaya atau tradisi yang berkembang di wilayah Asia Tenggara (tetapi kajian ini dibatasi pada Indonesia), sehingga mencerminkan identitas Islam yang bernuansa metodologis (Qomar, 2015, p. 199).

Terma Islam Nusantara menjadi popular beberapa tahun terkahir, dan banyak menjadi perbincangan di kalangan akademisi, semenjak Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang pada tanggal 1-5 Agustus 2015, yang dijadikan tema utama dalam acara tersebut. Penentuan tema utama Islam Nusantara didasari oleh respons terhadap citra Islam di kancah internasional yang dipandang negatif, lantaran kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan Islam (Qomar, 2015, p. 200).

Kembali ke pembahasan awal, di mana fenomena Arabisasi yang dinilai menyebabkan adanya dikotomi antara Islam yang lokal dan Universal, dari sini penulis berpendapat bahwa nilai-nilai Islam Nusantara mampu menjadi “problem solving“, antara lokalitas dan universalitas, karena Islam Nusantara mencakup peradaban, syariat, dan akidah.

Arabisasi memang tidak sepenuhnnya disalahkan, karena Islam jelas berhutang banyak pada bangsa Arab, tidak hanya keterlibatan putra-putra pemberani dan suku-suku  bangsa Arab dalam melancarkan ekspedisi-ekspedisi hingga Islam menyebar ke kawasan Persia, Afrika, Eropa, dan Asia. Namun, dari kenyataan bahwa, sang pembawa risalah Islam adalah Nabi berbangsa Arab, Ka’bah yang menjadi kiblat kaum muslimin juga berada di Makkah, sebuah kota Arab, serta kitab suci Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab (Maula, 2019, p. 4).

Diksi antara Islam lokal dan universal (Islam Arab), sebenarnya hanya menjadi jebakan ke dalam dualisme dan antagonisme antara lokal dan universal, di mana diksi tersebut merupakan dikotomi-antagonistik yang terbukti tidak produktif, bahkan dapat menjadi energi penghancur (Maula, 2019, p. 5).

Baca Juga  Perjanjian Najran dan Perang Khaibar: Bukti Rasulullah Menjamin Hak Non Muslim dalam Bernegara

Sebagai contoh, bahwa kultur “jahiliah” Arab di masa kenabian Muhammad SAW turut mempengaruhi dan membentuk apa yang kita sebut sebagai syariat Islam, tidaklah kemudian mesti ber(di)ubah kepada titik ekstrem yang lain, menjadi suatu postulat atau definisi a priori bahwa “Islam adalah agama Arab”, atau “Islam agama lokal” (dan karena itu tidak ada relevansi universal).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa, suku-suku atau bangsa di luar Arab seperti Asia, Afrika, Persia maupun Eropa, banyak yang menjadi pemeluk teguh Islam tanpa kehilangan identitas bangsanya. Karena memang ada getar religiusitas secara universal, bukan karena korban “Arabisasi”.

Islam adalah Agama Peradaban

Fenomena Arabisasi sendiri tidak serta-merta di jadikan problem yang seolah-olah, akan terjadinya benturan antara Islam yang membaur pada tradisi lokal dan Islam Universal (Arab). Melainkan tergantung cara menyikapinya, Umar bin Khattab RA, menyebutkan bahwa, “al-arab maadat al-islam, wa maadat al-syai’ ashluhu wa ma’dinuhu wa qawamuhu” (Arab adalah akar, kandungan dan penyangga agama Islam), secara garis besar memang ungkapan tersebut sangat relevan karena pada waktu perjuangan Nabi Muhammad tidak lepas dari sosio-kultur bangsa Arab.

Namun, jika kita menelisik dakwah para penerus Nabi (ulama/waliyullah), di wilayah tertentu seperti di Nusantara (Indonsia) – misalnya, maka akan menemukan bangunan Islam yang tumbuh berdasarkan akar lokalnya masing-masing sehingga kita dapati identitas-identitas seperti Tolatong, Kejawen di Jawa dll. Yang masing-masing saling berkait menopang dan mewarnai suatu peradaban di atasnya lagi, yaitu Nusantara.

Mengutip perkataan KH Said Aqil Siradj bahwa, Islam bukanlah agama yang mengurusi syariat ataupun akidah saja. Lebih dari itu, Islam adalah agama peradaban. Dari sini peran Islam Nusantara sangat penting untuk mengakomodasi antara yang lokal dan universal.

Baca Juga  Wakaf Muhammadiyah untuk Indonesia

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa aktif Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Kader PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) UIN Sunan Ampel Surabaya. Alumni Pondok Pesantren Syahamah Kutorejo, Mojokerto.
Articles
Related posts
Kaunia

Ru'yat Ta'abbudi dan Penyatuan Kalender Islam

2 Mins read
Perkembangan pemikiran tentang kalender Islam di kalangan ormas Islam mengalami kemajuan baik dari segi pemikiran maupun instrumentasi astronomi yang dimiliki. Hal ini…
Kaunia

Menaksir Berat Sapi Secara Cepat

1 Mins read
Kaunia

Moderasi dalam Sidang Isbat

3 Mins read
Di Indonesia kehadiran sidang Isbat sudah lama diperdebatkan keberadaannya. Di satu sisi dianggap sebagai jembatan untuk mempertemukan perbedaan pandangan antara pendukung hisab…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds