Perspektif

Lukman Hakim Saifuddin: Moderasi Beragama adalah Inti Agama

3 Mins read

“Moderasi beragama adalah sebuah ikhtiar untuk mengingat kembali jasa para pejuang bangsa serta meneruskan cita-cita mereka, yaitu agar bangsa tidak terpecah-belah.” (Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI 2014-2019)

Moderasi beragama merupakan sebuah istilah yang hingga kini masih banyak dipertanyakan oleh masyarakat. Apa itu moderasi beragama dan apa urgensi moderasi beragama merupakan dua pertanyaan yang sering dilontarkan, baik oleh kalangan awam maupun oleh orang-orang yang berpendidikan.

Istilah moderasi beragama terdiri dari dua kata, yaitu “moderasi” dan “beragama”. Quraish Shihab menyatakan bahwa sulit untuk menentukan definisi yang tepat untuk menjelaskan makna moderasi, mengingat luasnya cakupan kata tersebut.

Hingga pada akhirnya Quraish Shihab berkesimpulan bahwa moderasi adalah suatu sikap keseimbangan dari segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi (Shihab 2019, 43). Sedangkan kata “beragama” dalam istilah di atas berarti sebuah ekspresi keagamaan oleh individu atau kelompok yang dapat berbeda satu sama lainnya.

Sedangkan menurut Lukman Hakim Saifuddin, setelah mempertimbangkan bahwa manusia adalah makhluk dualitas, yaitu sebagai hamba dan makhluk sosial, moderasi beragama adalah:

Cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama, yaitu yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.” (Saifuddin 2022, 10).

Urgensi Moderasi Beragama dalam Konteks Indonesia

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat ke-13 bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, sehingga keberagaman merupakan hal yang fitrah. Dan merupakan hal yang telah diketahui secara luas bahwa Indonesia merupakan negara dengan banyak keragaman: bahasa, budaya, suku, dan lain sebagainya.

Selain beberapa keragaman di atas, Indonesia juga sebuah negara dengan wadah agama yang beragam. Setidaknya ada enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, ditambah dengan puluhan hingga ratusan aliran kepercayaan lainnya. Fakta ini membuat Indonesia disebut sebagai negara agamis, yang segala perkara tindak-tanduk dalam keseharian selalu diiringi nafas-nafas agama.

Baca Juga  Islam Turut Mewarnai Lokalitas Budaya di Afrika dan Cina

Dalam konteks kehidupan beragama, Amin Abdullah, sebagaimana dicatat oleh Wira Hadikusuma, menyebutkan beberapa dimensi beragama yang rawan menjadi pintu munculnya konflik, di antaranya adalah dogma (belief) dan ritual (Hadikusuma, 2016: 3).

Banyaknya agama dan keyakinan di Indonesia membuat ragam pendapat menjadi hal yang lumrah. Keragaman pendapat tidak hanya terjadi dalam lintas agama, tetapi dalam lintas mazhab atau ormas dalam suatu agama. Bahkan, tak jarang terjadi perbedaan pendapat dalam badan suatu mazhab itu sendiri.

Fakta ini, ditambah dengan keragaman lainnya di Indonesia, menjadikan agama sering dijadikan sebagai alat pemicu konflik. Menurut Saifuddin, konflik-konflik atas nama agama di Indonesia terjadi bukan karena perbedaan ajaran agama, tetapi disebabkan faktor lain, seperti ekonomi dan politik.

Pentingkah untuk Menjadi Moderat?

Lukman Hakim Saifuddin menyebutkan setidaknya ada tiga alasan mengapa sikap moderat dalam beragama menjadi hal yang penting untuk dimiliki masyarakat, khususnya di Indonesia:

Pertama, setiap agama membawa misi damai. Agama hadir untuk menjadi pedoman bertindak, bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada manusia dan makhluk Tuhan lainnya.

Dalam Islam, misalnya, diajarkan bahwa menjaga satu jiwa manusia seperti menjaga seluruh jiwa manusia. Begitu pula sebaliknya: membunuh satu jiwa manusia tanpa sebab yang dibenarkan agama seakan-seakan membunuh seluruh umat manusia.

Kedua, persebaran manusia di berbagai wilayah dan belahan dunia sehingga menghasilkan beragam budaya dan bahasa menjadikan teks-teks agama perlu untuk diterjemahkan dari bahasa aslinya.

Sayangnya, dengan bermodalkan terjemahan semata, kini banyak pemahaman dan tafsir keagamaan yang muncul oleh orang-orang yang bukan ahli. Seringkali pemahaman ini bersifat ekstrem. Di sisi lain, muncullah sikap truth claim, sebuah sikap yang menyatakan bahwa praktik atau pemahaman agama selainnya sebagai salah.

Baca Juga  Konsep Kebebasan Sufistik Versi Peterpan

Ketiga, para pendiri bangsa Indonesia telah mampu dan bijaksana dalam mengelola keragaman yang ada di Indonesia. Mereka berhasil mengikat bangsa Indonesia dengan membuat konsensus nasional berupa Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Hasil kerja keras para leluhur dan pendiri bangsa di atas perlu dipertahankan agar bangsa Indonesia tetap damai. Mengingat kini banyak narasi yang menyatakan bahwa Pancasila bertentangan dengan ajaran agama. Seperti hormat kepada bendera Merah-Putih adalah bentuk kesyirikan, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah sebuah keharaman.

Berdasarkan uraian di atas, Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa moderasi beragama sejatinya nilai yang diambil dari esensi agama. Ia merupakan suatu jalan untuk meningkatkan kualitas beragama, baik secara individu maupun kelompok.

Moderasi beragama membantu individu untuk tidak bersikap eksklusif, melainkan inklusif. Sehingga, setiap agama punya titik yang sama dalam berusaha dan mengupayakan kemaslahatan bersama dengan jalan tengah (moderat) yang damai.

Sumber Bacaan:

Saifuddin, Lukman Hakim. 2022. Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya. Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri.

Shihab, Quraish. 2019. Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Jakarta: Lentera Hati.

Editor: Soleh

Avatar
15 posts

About author
Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kotabaru
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds