Azhar Syahida
Saat ini Muhammadiyah tengah menunggu pemikirnya di abad kedua. “’ala kulli ra’si kulli mi’ah sanah mujahiddin—setiap melintasi seratus tahun usia zaman, akan datang seorang pembaharu”, begitu tulis Pak Amin Abdullah (Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah 1995-2000) dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah 2000-2005), dalam buku terbarunya, “Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran Muhammadiyah di Era Disrupsi”. Beliau menuliskan hadis itu dengan ungkapan tanya, “…akankah juga berlaku bagi Muhammadiyah?” (hlm. 2).
Sebuah ungkapan tanya yang sebetulnya mengharapkan Muhammadiyah terus melakukan kerja-kerja pembaharuan. Bagaimanapun, Muhammadiyah seratus tahun yang lalu telah banyak melakukan perubahan dahsyat pada struktur berfikir masyarakat. Tidak hanya ranah teoritis dan estetis, tetapi juga pada proses aplikasi di lapangan—jumlah amal usaha Muhammadiyah adalah konkret buktinya.
Pada kesempatan yang lain, Muhammadiyah berhasil meramu gerak langkah yang progresif-revolusioner. Kiai Dahlan mendirikan langgar tidak sekadar langgar. Melainkan, langgar yang dibangun secara kokoh di atas fondasi ilmu pengetahuan. Perubahan arah kiblat menggunakan perhitungan modern, misalnya—tidak mungkin ada jika Kiai Dahlan tidak meramunya dengan ilmu pengetahuan modern.
Termasuk, metode pengajaran agama. Kiai Ahmad Dahlan tidak sekadar mengajarkan agama dalam ruang kognisi murid-muridnya, melainkan membaca ajaran agama dengan bauran realitas sosial yang ada di masyarakat, sehingga pesan Ilahi tidak hanya bergerak dalam ruang normatif, tetapi menyejarah dalam kehidupan masyarakat. Maka, tahun 1922 lahirlah PKO Muhammadiyah, di Yogyakarta.
Dalam catatan sejarah lainnya, Kiai Ahmad Dahlan telah mempopulerkan istilah “Berkemajoean” yang dulu memang sangat asing (bada’a ghariban) dan sepertinya istilah itu akan kembali asing (ya’udu ghariban) di abad 21 ini, tulis Pak Amin Abdullah. Maknanya, Muhammadiyah harus terus menjaga semangat pembaharuannya. Kebutuhan pembaharuan Muhammadiyah 100 tahun yang lalu jelas berbeda dengan kebutuhan pembaharuan Muhammadiyah 100 tahun ke depan. Faktornya tentu saja suhu sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang berbeda.
Prof. Amin Abdullah membaca gejala itu dengan hebat. Beliau menyebut, ijtihad perlu terus diperbaharui. Tidak ada kebenaran hakiki di dalam setiap kognisi manusia, sehingga tuntutan untuk melahirkan buah pemikiran yang “Fresh” adalah sebuah keniscayaan, sebab, tidak semua ijtihad itu “Fresh”. Inilah catatan pentingnya.
Dalam buku ini, Pak Amin Abdullah menyebut, proses ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah harus mampu melahirkan tafsir beragama yang mencerahkan. Tulis beliau, untuk melahirkan sebuah gagasan besar “Beragama yang mencerahkan”, Muhammadiyah perlu mengembangkan konsep “Ihsan” sebagai basis kesalehan individual dan “Tasawuf” sebagai basis kesalehan sosial.
Nah, dalam rangka melahirkan interpretasi yang komprehensif itu, kata beliau, Muhammadiyah perlu memperlebar ceruk pemikiran keagamaannya. Tidak hanya berbatas pada kajian-kajian yang bersifat juristik, tetapi meluas pada konteks kehidupan sosial masyarakat. Jika demikian, konsekuensinya, kata Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga ini, Muhammadiyah tidak bisa hanya menggunakan pendekatan ilmu agama saja. Tetapi perlu pendekatan “Integrasi” dan “Interkoneksi”—yaitu menggabungkan ijtihad Muhammadiyah dengan keilmuan sosial lainnya, sehingga, tidak hanya satu corak pendekatan yang digunakan, tetapi multi-disiplin, inter-disiplin, dan trans-disiplin.
Misalnya, Pak Amin Abdullah mencontohkan tentang konsep “Puritanisme”. Muhammadiyah sudah selayaknya memahami maksud puritanisme tidak hanya sebagai konsep “akidah”. Tetapi harus digeser dan disandingkan dalam konteks kehidupan sosial supaya mampu menjawab persoalan sosial yang semakin kompleks. Umpamanya soal-soal korupsi. Dalam konteks ini, puritanisme mewujud dalam bentuk ukuran-ukuran “moral” di ruang publik.
Namun begitu, pertanyaanya, harus dimulai dari manakah proses ijtihad Muhammadiyah untuk seratus tahun ke depan ini?
Muhammadiyah tidak punya pilihan lain. Pusat-pusat keilmuwan Muhammadiyah perlu digerakkan ke arah yang lebih berkualitas. Penajaman nilai, visi, strategi, dan pembaruan pendidikan Muhammadiyah adalah fokus utamanya. Setidak-tidaknya, pendidikan Muhammadiyah harus memegang prinsip transendensi, humanisasi, dan keadilan, begitu ungkap Pak Amin Abdullah.
Maka, bagaimanapun, “Muhammadiyah harus berani terus-menerus bertanya, melakukan “koreksi”, “meragukan” sebagian atau semua langkah yang pernah ditempuhnya sebagai bahan untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah yang akan ditempuh pada masa-masa yang akan datang, khususnya di era abad kedua usianya”, begitu pesan Pak Amin Abdullah. Hlm. 30.
Jika dulu Kiai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah, panti asuhan, PKU, dan langgar, maka bisa jadi itu sesuai dengan konteksnya ketika itu. Nah, sekarang ini, apa yang sesuai dengan konteks sosial sekarang? Muhammadiyah dituntut untuk melahirkan hal baru, sebuah tuntutan yang telah dimulai oleh Pak Amin Abdullah, sosok pemikir hebat Muhammadiyah.
Akhirnya, jika Muhammadiyah tengah menunggu sosok pemikirnya di abad kedua, maka tanpa ragu, kita bisa menyebut Pak Amin Abdullah adalah salah satu jawabannya. Buku “Fresh Ijtihad” adalah buahnya yang ranum. Sajian pembuka yang dahsyat bagi pembaharuan Muhammadiyah di abad kedua. Selamat membaca. []
*Penulis adalah Kader Muhammadiyah, di Malang