Review

Sukidi dan Upaya Pemurnian Makna dalam Al-Qur’an

4 Mins read

Nama Sukidi kian tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Gagasan bernasnya mudah kita dapatkan di media massa, stasiun TV nasional, dan siniar (podcast) di beberapa kanal Youtube. Dalam pelbagai kesempatan, ia konsisten menyampaikan gagasan tentang pembaruan Islam, gagasan kebhinekaan, gagasan tentang impian Indonesia (Indonesian Dreams), komitmen kebangsaan, dan spirit kesetaraan.

Reputasi sebagai cendekiawan muslim terkemuka diraih Sukidi berkat pertapaan intelektual panjang di Amerika. Ibarat kawah candradimuka, alam pikir Sukidi ditempa oleh raksasa pengetahuan, seperti Prof. William A. Graham, Prof. Roy Muttahedeh, Prof. Ali Asani, dan ilmuan studi Islam lainnya. Di akhir cerita, pertapaan ini usai setelah Sukidi berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul The Gradual Qur’ān: Views of Early Muslim Commentators di Harvard University pada Mei 2019. Sebuah disertasi yang menyoroti ihwal pewahyuan secara gradual (berangsur-angsur) dengan merujuk penafsir Al-Quran di awal Islam, seperti Abdullah bin Abbas (Wafat 68 H) dan Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari (wafat 310).

Kabar kelulusan Sukidi dari Harvard University menuai pujian. Ucapan syukur terujar dari para sahabatnya, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Andar Nubowo, Hilman Latief, Muhammad Ali, dan Zuhairi Misrawi. Ungkapan kebahagiaan itu tercatat dalam buku Sukidi Inspirasi dan Api Pembaruan Islam dari Harvard (Gramedia: 2022)

Kelulusan Sukidi merupakan pencapaian yang diraih (sangat) sedikit orang Indonesia. Oleh karena itu, meminjam tuturan Andar, keberhasilan Sukidi menjinakkan Harvard University merupakan gubahan narasi ketekunan dan keuletan dengan indah (h. 8). Dari kisahnya yang epik, terpetik inspirasi untuk bangsa Indonesia bahwa berbekal ketekunan dan keuletan Sukidi menaklukan “keangkeran” universitas terbaik di dunia.

Selepas kabar kelulusannya, sayup-sayup kabar kepulangannya pun mulai terdengar. Kepulangannya ditunggu-tunggu sejak lama oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) disambut berbagai harapan berbagai tokoh. Budiman Tanuredjo, wartawan senior Kompas salah satunya. Ia menyimpan harapan agar Sukidi tampil sebagai “muazin bangsa” yang menyeru keadilan sosial, moralitas bangsa, dan visi kebangsaan Indonesia (h. 34-35).

Baca Juga  Bagaimana Masa Depan Kaum Muda Muslim di Indonesia?

Harapan serupa disampaikan juga oleh Buya Syafii Maarif kepada Sukidi sebagai kader Muhammadiyah untuk senantiasa rendah hati dan mengamalkan ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Tak hanya itu, sebelum alm. Buya Syafii Maarif wafat, beliau sempat beramanat kepada Sukidi tetap bersama rakyat kecil yang selama ini terpinggirkan oleh pembangunan.

Wacana Pembaruan Islam

Selain itu, kepulangan Sukidi membawa wacana baru tentang pembaruan Islam. Dalam beberapa tulisan dan berbagai kuliah umum, Sukidi kerap mengutarakan gagasannya terkait dengan al-rujuʼ ilā al-Qurʻān wa al-Sunnah. Ia mengajukan revisi atas gagasan tersebut atas dasar argumentasi bahwa Al-Qur’an sulit dipahami melalui dirinya. Melalui wawancaranya dengan Isngadi, Sukidi menjelaskan bahwa banyak kosakata dalam Al-Qur’an yang maknanya tidak jelas (h. 83). Makna hanya muncul ketika teks Al-Qur’an berinteraksi secara historis melalui proses pembacaan dan penafsiran oleh para mufassir (h. 75).

Dengan demikian, agar menjadi kitab yang bermakna, menurut Sukidi pemaknaan terhadap Al-Qur’an membutuhkan konteks pewahyuan sebagai instrumen penafsiran (asbāb al-nuzūl) dan butuh penafsiran melalui tradisi tafsir yang telah dimulai oleh komunitas penafsir Al-Qur’an pada periode awal Islam (h. 84). Oleh karena itu, ia menganjurkan untuk kembali kepada tradisi.

Sukidi mencontohkan pemaknaan kata al-najm dalam QS Al-Najm ayat 1. Jika dibaca dengan sendirinya, al-najm merujuk kepada bintang. Namun, berdasarkan penjelasan mufassir awal, kata al-najm tersebut merujuk pada turunnya Al-Qur’an secara gradual. Penafsiran ini diperkuat dengan ayat-ayat selanjutnya yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak sesat dan tidak mengucapkan sesuatu berdasarkan keinginannya, melainkan wahyu yang diturunkan kepadanya (h. 94).

Argumentasi Sukidi di atas menggulirkan wacana baru dalam studi Islam di Indonesia. Sebagai bentuk apresiasi, suara-suara pro maupun kontra bermunculan di pelbagai media daring. Terlepas dari itu, diskursus ini merupakan angin segar bagi pergerakan alam pikir intelektualitas muslim di Indonesia. 

Baca Juga  Desentralisasi Islam, dari Timur Tengah Menuju Indonesia

Ikhtiar Mencari Kejernihan Makna

Penyelusuran yang dilakukan Sukidi, bagi saya, adalah upaya untuk melihat makna yang terkandung dalam Al-Qur’an secara jernih. Menurut Sukidi makna tidak inheren (melekat) pada teks dan makna muncul saat proses penafsiran. Oleh karena itu, agar mendapatkan makna yang jernih, ia meretas penerokaan dari karya mufassir awal. Baginya, mufassir awal (hidup abad pertama hingga kelima Hijriah)merasakan semangat zaman pada masa itu sehingga memahami latar peristiwa turunnya sebuah ayat. Ini menjadi instrument penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an.

Upaya ini mengingatkan saya pada “kepelikan” makna dalam bahasa alamiah (natural language). Dalam Linguistik, makna adalah sesuatu yang problematis. Para ahli bahasa melakukan upaya yang terstruktur untuk memahami, mengkategori, mengklasifikasi makna sebagai unsur batin (deep structure) bahasa. Ferdinand de Saussure, Bapak Linguistik Modern mengungkapkan dalam tanda (baca: tanda bahasa) terkandung penanda (signifiant) dan petanda (signifié). Penanda berupa citra akustik (bunyi/kata) merujuk kepada petanda (citra mental/makna) yang ada dalam benak penutur berdasarkan konvensinya. Dengan kata lain, makna tersandikan dalam tanda. 

Seiring waktu, berbagai kritik tertuju kepada de Saussure seperti yang diungkapkan Derrida melalui konsep diffèrance. Baginya hubungan antara penanda dan petanda tidaklah ajek. Artinya tanda tidak selalu merujuk kepada makna tertentu. Pemaknaan terhadap sebuah tanda akan bergantung rangkaian jejak-jejak (trace) yang terkandung pada tanda-tanda yang lain. Oleh karena itu, tanda senantiasa bersifat berbeda dan menunda (tidak ada yang makna yang absolut). Pemaknaan pada tanda menjadi terbuka pada pelbagai penafsiran.

***

Kembali pada penyelidikan yang dilakukan Sukidi, rupanya penyelusuran terhadap karya mufassir awal membuka realitas pada penafsiran terhadap Al-Qur’an yang beragam (multivokal). Realitas ini mengandaikan pembaca untuk memiliki pikiran terbuka. Hanya dengan pikiran terbukalah keragaman penafsiran dilihat secara kritis dan positif.

Baca Juga  Kemenlu: Jadikan Indonesia Sebagai Contoh Penerapan Islam Rahmatan lil Alamin

Selain itu, dengan pikiran terbukalah, kita akan mampu mengapresiasi ikhtiar intelektual para mufassir yang berupaya agar Al-Qur’an bisa dipahami oleh pembaca lintas waktu dan tempat. Tak hanya itu, realitas ini menuntun kita untuk bersikap rendah hati dan tidak merasa paling benar apalagi memosisikan pihak yang berbeda sebagai pihak yang salah.

Kiranya, pikiran terbuka dan rendah hati adalah inspirasi yang dapat kita petik dari Sukidi. Realitas keberagaman tafsir Al-Qur’an berbuah ibrah pada pembentukan akhlak mulia. Boleh jadi ini menjadikan Al-Qur’an sebagai bintang penuntun yang menerangi nurani dan memendarkan cahaya kebaikan dari diri.

Judul : SUKIDI: Inspirasi dan Api Pembaruan Islam dari Harvard
Editor : Kamil Alfi Arifin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hal. : 193 + xlii
Tahun Terbit : September, 2022

Editor: Soleh

Neneng Nurjanah
1 posts

About author
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pegiat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *