Kebanyakan kita memahami haji adalah ibadah fisik. Untuk itu, perjalanan haji butuh kesehatan ragawi. Haji butuh manasik supaya tata caranya benar. Haji juga butuh kemampuan ekonomi. Akan tetapi secara hakikat, ibadah haji adalah ibadah spiritual perjalanan ruhani. Karena perjalanan ruhani, ibadah haji jangan disibukkan urusan teknis. Sibuk dengan hotel, makanan, oleh-oleh, dan keperluan fisik semata. Meskipun haji adalah ibadah fisik, butuh kesiapan fisik, tapi intinya tetap perjalanan ruhani: spiritual.
Ibadah kita hendaknya tidak hanya mengejar pahala dan hal-hal yang bersifat praktis-ragawi, tanpa penghayatan (rasa) makna spiritualitas. Sejatinya ibadah tidak bermaksud untuk memberat-beratkan manusia dan tidak bertujuan menjadikannya sebagai hukuman kepadanya, melainkan untuk memberikan pengayaan spiritual dan kemanfaatan rohaniah baginya. Karena itu, Syamsul Anwar, dalam bukunya Fikih Ibadah (2023) menjelaskan ada empat prinsip ibadah (1) prinsip kemudahan, (2) prinsip sesuai kemampuan, (3) prinsip tidak menimbulkan mudarat, dan (4) prinsip sesuai ajaran (sunnah) Nabi saw. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan perintah agama, termasuk ibadah, terdapat beberapa prinsip yang diatur dalam ketentuan syariah guna menjaga terwujudnya kemaslahatan yang menjadi tujuan agama.
Ibadah harus membuahkan akhlak mulia. Ibadah haji, selain dimaksudkan untuk kontak rohaniah dengan Yang Maha Pencipta juga untuk memperoleh inspirasi agung dari risalah Muhammad SAW untuk memperbaiki sikap, perilaku, akhlak, moral-etik setelah melakukan ibadah. Sebagai perjalanan ruhani, penumpangnya adalah ruh kita. Kendaraan adalah tubuh, karena itu selama haji kita tetap menjaga Kesehatan raga. Supirnya adalah pikiran, selama haji kita kendalikan pikiran agar tetap tenang. Jalannya adalah syariat agama, petunjuk jalannya (kitab suci, penuntun jalan adalah rasul dan ulama. Sebaik-baik bekalnya adalah taqwa. Senjatanya adalah ilmu pengetahuan.
Dalam QS Al Hajj: 27 dikatakan, “Dan berserulah kepada manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Pertanyaanya, mengapa berjalan kaki dan mengendarai unta kurus? Perjalanan ruhani harus kendaraan ringan, simbolnya adalah onta kurus. Dalam perjalanan badan kita jangan terlalu banyak makan. Jika terlalu fokus pada makan, tubuh, dan yang lezat-lezat. Hal ini kurang bangus untuk perjalanan ruhani. Intinya harus bisa mengendalikan kenikmatan jasmani, agar ruhani tidak terganggu.
Panggilan Haji
Bagi muslim, ibadah haji itu “panggilan Allah”. Berangkat ke tanah suci hanya soal waktu, jika sudah saatnya akan dimampukan oleh Allah dengan berbagai jalannya akan tiba di tanah suci. Banyak yang sudah daftar dan menunggu bertahun-tahun, karena satu hal bisa tidak jadi berangkat. Tidak sedikit, yang sudah siap-siap tinggal beberapa hari tidak berangkat karena sakit atau wafat.
Tujuan haji adalah memenuhi panggilan Allah dan membebaskan syirik yang ada pada diri kita. Hal ini dapat ditemukan dari lafal talbiyah, Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak “Ya Allah aku memenuhi panggilanMu, Ya Allah aku memenuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, sesungguhnya pujian dan kenikmatan hanya milikMu, dan kerajaan hanyalah milikMu, tiada sekutu bagiMu” (HR Al-Bukhari no 1549 dan Muslim no 1184)
Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi (gerak substansi) manusia menuju Allah. Ketika undangan Allah itu datang Allah, seolah ada dorongan untuk meninggalkan kampung halaman, meninggalkan pekerjaan, meninggalkan amanah, dan segala urusan dunia untuk menemui Allah yang sudah menunggumu hambanya di Baitullah. Seolah ada teguran pada manusia yang sudah terlalu lama bergelut dengan urusan dunia, lalai dari-Nya. Berhentilah sejenak dari segala orientasi mengejar dunia yang memalingkanmu dari Allah. Allah rindu dan kangen padamu. Wahai manusia, kembalilah ke asalmu. Tunaikan ibadah haji dan temuilah Kekasih Sejatimu. Dia menanti kedatanganmu. Tinggalkanlah segala kekuasaan, amanah, pekerjaan-pekerjaan yang menyibukkanmu dan menjauhkanmu dari Allah.
Panggilan haji adalah panggilan bertemu Allah. Karena bertemu kepada Allah, panggilan bertemu Allah, di rumah Allah itu ibarat panggilan kematian. Kesadaran inilah yang mendorong untuk pamitan haji. Ada yang lewat media sosial. Ada yang secara individu. Ada yang secara institusi. Ada yang mengadakan Walimatus Safar, sekedar mengundang sanak-keluarga dan tetangga terdekat. Hanya untuk berpamitan, meminta doa dan permohonan maaf apabila ada kesalahan seolah akan meninggalkan dunia ini selamanya. Bagi kaum beriman, kematian adalah hal yang dirindukan seperti rindu kepada Baitullah. Orang yang sudah selesai urusan dunia, yang dipikirkan hanyalah akhirat, rindu kepada Sang Khaliq, dan yang dinantikan adalah kematian.
Perasaan seorang hamba yang menunggu antrean haji harusnya sama dengan perasaan menunggu kematian (ajal). Adapun rasa rindu atas panggilan haji ke Baitullah seyogyanya sama dengan perasaan merindukan kembali kepada Allah. Perasaan orang yang ingin mendapat panggilan haji, seharusnya sudah terbebas dari materi duniawi. Yang adalah adalah ingin kembali dekat sedekat-dekatnya dengan Allah Swt Sang Maha Pencipta. Karena akan kembali kepada Allah, maka sebelum berangkat orang berhaji hendaknya melunasi segala hutang dan membersihkan segala rasa benci terhadap keluarga dan orang lain. Jika diperlukan menuliskan wasiat untuk mereka yang hendak ditinggalkan. Semua ini dalam rangka persiapan menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja menjemput manusia.
Secara jiwa dan raga benar-benar bersiap menempuh jalan keabadian kembali kepada Allah. Di atas itu semua, membersihkan diri dari segala dosa karena perjalanan haji seolah-olah menyongsong kematian. Keselamatan perjalanan sangat dipertaruhkan. Perjalanan pesawat terbang bukan tidak mungkin menghadapi musibah. Maka upacara pemberangkatan (pamitan) haji dengan keluarga, dengan warga sekitar dan handai tolan menjadi seolah wajib dilakukan oleh jamaah haji Indonesia.
Editor: Soleh