Report

Malik Fadjar: Sang Pencerah Inspirator Aktivis HAM Munir

4 Mins read

Intelektual, negarawan, sekaligus agamawan Abdul Malik Fadjar wafat pada 7 September 2020 lalu. Satu hal yang perlu menjadi perhatian, wafatnya beliau terjadi pada tanggal yang sama persis dengan Munir, aktivis HAM yang wafat karena diracun pada 7 September 2004 silam.

Lebih dalam lagi, ternyata kesamaan kedua tokoh tidak hanya pada tanggal wafat. Malik Fadjar bisa disebut sebagai guru bagi Munir. Hal ini dijelaskan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid pada JIB Obituari: Mengenang Prof. Abdul Malik Fadjar, 10 September 2020.

Malik Fadjar Seorang Sang Pencerah

Malik Fadjar dikenal dengan ide-ide dan tindakannya dalam reformasi di sektor pendidikan. Lebih dari itu, ia merupakan intelektual Islam yang sangat berpengaruh di Indonesia, terutama medio 1980-2000an. Kalangan aktivis kemanusiaan pun menganggap Malik istimewa, Usman Hamid menyebut Malik Fadjar sebagai “sang pencerah”.

“(Pak Malik adalah) orang yang penuh integritas. Orang yang juga santun, rendah hati tapi juga sangat berani,”

Usman Hamid

Aktivis kemanusiaan di tahun 1990-an mengenang Malik Fadjar salah satunya di saat Pemerintah Belanda menekan Pemerintah Indonesia. Saat itu, Pemerintah Belanda mengancam untuk membatalkan dana bantuan internasional kepada pemerintah Indonesia karena tindakan-tindakan angkatan bersenjata pemerintah Indonesia di Timor Timur. Ketika itu, tokoh-tokoh Indonesia terbawa emosi dan mengecam Belanda dengan memberikan pandangan-pandangan yang cenderung nasionalis.

“Pandangan yang nasionalis ini dalam sudut pandang HAM kerap kali justru kontraproduktif. Apalagi jika dikaitkan dengan demokrasi,” kata Usman. Pada saat itu, Pemerintah Indonesia bereaksi dengan keras, menolak tawaran bantuan dari Belanda. Seperti halnya ketika Indonesia memimpin gerakan non-blok di era Soekarno.

Sebaliknya, Malik Fadjar justru memberikan pandangan yang mencerahkan. “Dia (Malik Fadjar) menyatakan bahwa tekanan itu harus dilihat secara adil. Bahwa ada protes dari dunia internasional, atau dari Belanda pada saat itu, terhadap persoalan hak asasi manusia itu harus diakui. Ada persoalan demokrasi di Indonesia, itu harus diakui,” ujar Usman saat membeberkan argumen Malik Fadjar pantas disebut sebagai sang pencerah.

Baca Juga  Fikih Muhammadiyah, Apa Bedanya dengan yang Lain?

Bahkan, eks Menteri Agama RI ini dengan berani menyatakan bahwa hak asasi manusia dan demokrasi telah menjadi “agama” dunia. Istilah “agama” (dalam tanda petik) itu menjadi unik dalam pandangan dominan yang cenderung nasionalis. “Di situ pak Malik menjadi pembeda dan mampu memberi semacam batas antara HAM dan demokrasi sebagai nilai yang selaras dengan kehidupan kita. Nilai-nilai pendirian negara-bangsa Indonesia, nilai-nilai Islam,” kata Usman.

Pada saat itu, Malik Fadjar seakan juga menyatakan bahwa kedua konsep itu harus kita terima. Bahwa HAM dan demokrasi sulit untuk dipisahkan. Pernyataan tersebut juga menyiratkan bahwa tidak benar persoalan-persoalan HAM harus ditolak karena sering menjadi instrumentalisasi negara-negara Barat.

Di sisi lain, Malik Fadjar tidak menolak ada instrumentalisasi Barat. Misalnya ada penggunaan bantuan-bantuan negara Barat untuk menekan. Tetapi, dia memposisikan diri untuk tidak terjebak nasionalisme yang sempit lalu marah dan menjadi anti-Barat.

Kiai Bagi Munir

Munir adalah salah seorang aktivis yang paling mendapat pencerahan dari Malik Fadjar. Malik Fadjar-lah yang mencerahkan seorang munir. “Ini mungkin merupakan cerita yang paling menarik. Karena pada era 80-an, ketika Malik Fadjar menjadi rektor Universitas Muhammadiyah Malang, menjadi orang yang paling mengubah hidup seorang Munir,” tandas Usman seraya menyatakan bahwa Munir seakan menjadi “Kiai” bagi dirinya, dan Malik Fadjar menjadi “Kiai” bagi Munir.

Jika ditilik lebih dalam, keadaan politik tahun 1980-an memang mengarah pada depolitisasi kalangan Islam. Hal ini dilakukan melalui pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Ada dua peristiwa yang membuat kalangan Islam cukup marah saat itu; 1) Pelanggaran HAM di Tanjung Priok, 2) Kekerasan dan pelanggaran HAM di Talangsari 1989.

Aktivis-aktivis Islam pada saat itu kecewa, tak terkecuali Munir. Namun, sebelum momen itu, Munir berbeda dengan Munir yang kita kenal sebagai aktivis HAM.

“Dalam kesaksiannya, Munir berkali-kali dalam cerita-cerita di awal-awal saya bergabung dengan KontraS tahun 98, bahwa Pak Malik-lah orang yang mengubahnya (Munir)”

Usman Hamid

Sebelum permasalahan Talangsari muncul, Munir adalah seorang yang cukup militan di HMI. Bukan hanya militan, namun juga pro-Soeharto. Dengan sikap itu, Munir sering berkelahi dengan aktivis-aktivis Islam neo-modernis/liberal. Tidak hanya itu, Munir juga berkelahi dengan aktivis-aktivis kiri yang sering menggelar aksi protes di jalanan.

Baca Juga  Dawuh Mbah Malik tentang Beragama yang Menggembirakan

Dalam masa-masa itu, Munir bertemu dengan Malik Fadjar. Pada saat itu, Malik mungkin kesal karena Munir mengekspresikan kemarahannya yang berbau sentimen keislaman. Pandangan Munir tidak jauh dari Islam sedang ditindas dan menghadapi ancaman dari musuh Islam. Munir pada saat itu selalu membawa pisau di tasnya, dirinya seakan selalu siap untuk berjihad ke manapun dia pergi.

Petir di Siang Bolong

Munir sebelum menjadi aktivis kemanusiaan terkesan pro-Soeharto, namun dirinya tidak tahu banyak tentang Soeharto pada saat itu. Dirinya seperti terjebak dan menjadi pro-Soeharto karena melihat foto Soeharto di mana-mana, dirinya pun merasa Soeharto adalah sosok pemimpin yang selalu tersenyum. Singkat kata, pada saat itu Munir tidak pernah mempertanyakan kepemimpinan Soeharto.

Ketika bertemu Malik Fadjar, Munir seakan terganggu dengan pernyataan Malik saat menyinggung pisau yang kerap dibawa oleh Munir. “Oh, dengan pisau itu Anda merasa akan bisa membela Islam? Dengan pisau itu Anda merasa bisa mengalahkan musuh-musuh Islam?” kata Usman Hamid menirukan perkataan Malik Fadjar. Munir pun disarankan oleh Malik menengok kembali nilai-nilai dasar HMI yang ditulis oleh Nurcholish Madjid.

Munir kemudian berefleksi, membaca ulang. Ia menyadari bahwa Islam menyadari realita bahwa ada ketidakadilan. Islam pun ada untuk mengubah realitas ketidakadilan dengan perjuangan keadilan. Pada saat itu, Malik Fadjar mendorong Munir untuk memahami bahwa Islam ada bukan untuk umat Islam itu sendiri. Tetapi Islam ada untuk yang tertindas.

Di masa itu, ada ucapan Malik yang sangat menarik ditirukan oleh Usman Hamid, “Saya tidak pernah bertemu dengan anak muda sebodoh kamu. Berlari ke mana-mana membawa dorongan bertarung, dengan alat agama, untuk mengontrol orang lain.”

Baca Juga  Hijrah adalah Perubahan dari Ketertinggalan menuju Kemajuan

Saat itu Munir merasa mendapat petir di siang bolong, Munir pun menyadari bahwa Tuhan tidak membutuhkan pengawal lalu Munir meninggalkan pisau itu. Meninggalkan yang dia sebut sebagai ekstremisme dalam kehidupan beragama.

Munir mencari cara menggunakan agama untuk menghidupkan masyarakat membela kehidupan manusia berdasarkan inspirasi dari Malik Fadjar. Baik untuk kebebasan dasar maupun keadilan sosial. Inilah kisah yang menegaskan peran Malik sebagai sang pencerah.

***

Pak Malik sangatlah berjasa. Mungkin kalau tidak ada orang seperti Pak Malik kita tidak akan pernah memiliki seorang Munir.

Usman Hamid

Reporter: Nabhan

Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hilman Latief: Kader Muda Muhammadiyah Harus Paham Risalah Islam Berkemajuan

2 Mins read
IBTimes.ID – Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia menyebut, kader muda Muhammadiyah harus paham isi daripada…
Report

Ema Marhumah: Islam Agama yang Ramah Penyandang Disabilitas

1 Mins read
IBTimes.ID – Ema Marhumah, Dosen Tafsir dan Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap…
Report

Salmah Orbayinah: Perempuan Penyandang Disabilitas Berhak Atas Hak Pendidikan

2 Mins read
IBTimes.ID – Salmah Orbayinah Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah (PPA) menyebut, perempuan penyandang disabilitas berhak atas hak pendidikan. Pendidikan menjadi hak dasar…

This will close in 0 seconds