Runtuhnya Orde Baru (1998) menyisakan pailit. Problem kebangsaan kian rumit. Seperti benang kusut. Seluruh aspek kehidupan jadi carut-marut. Aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan juga pendidikan kita. Borok-borok itu makin kentara. Banyak belangnya. Revolusi di bulan Mei tahun 1998 telah mengakhiri kedigdayaannya. Kekuasaan 23 tahun tumbang dalam sehari, ketika gelombang kekuatan mahasiswa memukul mundur rezim ini. Malaikat menang dan setan kalah terusir.
Revolusi: Suatu Pembelajaran
Revolusi itu suatu pembelajaran. Revolusi juga suatu gairah baru. Seketika rakyat jadi beringas. Mereka geram. Barangkali mereka gemas melihat sepak-terjang rezim yang telah ambruk ini. Di tengah-tengah puing kehancuran Orde Baru, suara rakyat yang serak menyeruak. Mereka makin berani mengorek kebijakan rezim ini. Coba bandingkan ketika rezim ini masih berkuasa, adakah rakyat yang berani unjuk gigi?
Rakyat makin cerdas lewat jalan revolusi. Perasaan terkekang meletup mengeluarkan aroma busuk memuakkan. Ketika kekecewaan menjelma menjadi hujatan. Rakyat baru sadar, rezim Orde Baru ternyata “pewaris utama” kolonialisme Belanda.
Orang-orang Kompeni telah menghisap darah bangsa ini selama tiga setengah abad lamanya. Feodalisme, sistem dan struktur ekonomi eksploitatif, imitasi, fasisme, pemaksaan fisik, merupakan peninggalan kolonial. Banditisme juga menghujam sampai ke akar kebudayaan bangsa ini selama bertahun-tahun. Namun, nilai-nilai kolonialisme masih tetap lestari, karena rezim Orde Baru jadi pewaris tunggalnya.
Mungkin secara de-jure bangsa ini telah merdeka. Kompeni sudah terusir. Atau proklamasi sudah dikumandangkan. Tapi, secara de-facto, bangsa ini masih harus bergelut melawan kolonialisme baru. Model “penindasan baru” di depan mata. Sialnya, penindasan dilakukan oleh bangsa sendiri.
Romo Mangunwijaya
Seseorang telah menyaksikan. Ia juga pelaku dari sejarah penting ini. Sepak-terjangnya acapkali membuat penguasa berang. Kritik-kritik pedasnya membuat telinga penguasa panas. Siapa lagi kalau bukan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya.
Sepak-terjang Mangunwijaya memang selalu identik dengan komunitas Kali Code. Sebuah daerah kumuh di jantung kota Yogyakarta. Dia berasal dari keluarga Katolik taat. Karenanya, ia dipanggil “Romo.” Statusnya sebagai pendeta makin menunjukkan jiwa religiusnya. Namun, cara pandang tokoh yang satu ini sangat inklusif, pluralis, juga toleran. Malah dia sering berkunjung ke Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, untuk bersilaturahmi dan tukar pikiran.
Cara pandangnya memang tidak biasa. Sepak-terjangnya tidak seperti umumnya pendeta-pendeta Katolik. Namun, itulah yang menjadikannya monumental.
Pada 10 Februari 1999, ia pergi untuk tak kembali. Simposium dalam rangka menggagas pembentukan masyarakat Indonesia baru melalui arti penting “peran buku” telah menjadi saksi kepergiannya. Orang-orang terhentak. Lubuk hati mereka terhenyak. Lantas mereka sadar, bahwa kepergiannya bukanlah sesuatu yang bisa dikompromi.
Sang Pembebas dari Kali Code
Romo Mangunwijaya adalah sosok yang konsisten membela akar rumput. Dengan rasa kemanusiaanya, ia mengasuh dan membenahi suatu masyarakat paling kumuh di Kali Code. Perjuangannya telah membuahkan hasil. Melalui jerih payahnya, masyarakat Kali Code berhasil membebaskan diri dari jeratan kemiskinan, kebodohan, dan tradisi bejat tak bermoral. Romo Mangun memang “sang pembebas” (juru selamat) komunitas Kali Code.
Dia adalah guru bangsa. Semangat dan komitmennya menempuh jalur pendidikan terbukti nyata dengan berdirinya Sekolah Dasar (SD) Eksperimental Mangunan. Sekolahan ini adalah “miniatur” cita-cita pembebasannya bagi masyarakat tertindas.
Apa yang unik darinya? Mangunwijaya memandang sistem pendidikan nasional sebagai warisan kolonial. Karananya, tidak bisa mencerdaskan. Sistem sentralistik mengabaikan karakter khas kedaerahan. Out put-nya hanya menciptakan manusia-manusia yang “gagap realitas.”
Kritik Pendidikan Kita
Bagi Mangunwijaya, out put pendidikan di zaman Orde Baru tidak mandiri. Tidak berpikiran kreatif dan inovatif. Pendidikan hanya bisa menciptakan buruh, kuli, atau babu. Karena itulah, pendidikan malah menciptakan “beban sosial.” Mungkin saja ia sedang berkata, “pendidikan gagal mendidik dan mendewasakan bangsa ini.” Mungkin.
Mangunwijaya mengkritik kurikulum nasional yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru. Salah satu kelemahan kurikulum nasional ialah dengan melegalkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Pelajaran ini rentan intervensi kekuasaan. Pelajaran sejenis, seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), juga rawan.
Masalahnya, dengan sistem sentralistik, negara leluasa mengintervensi. Nuansa kepentingan segelintir orang (rezim penguasa) sangat besar mempengaruhi obyektifitas sejarah. Atau, kurikulum menjadi media indoktrinasi bagi penguasa. Inilah kelicikan politik Orde Baru yang mengelabuhi rakyat secara sistemik.
Guru Kemanusiaan Kita
Konsep pendidikan Romo Mangunwijaya sangat menekankan daya kritis dan progresif. Tokoh-tokoh seperti Paulo Freire, Ivan Illich dan Jean Piaget menjadi inspirasi bagi pemikiran-pemikiran kritisnya. Ketiga tokoh ini adalah jagoan-jagoan yang konsisten dalam membangun filosofi pendidikan kritis. Romo Mangunwijaya juga terinspirasi oleh tiga tokoh nasional founding father bangsa ini. Yakni, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan Soekarno selagi masih muda.
Dengan merujuk pada tiga tokoh pemikir dunia seperti Paulo Freire, Ivan Illich, dan Jean Piaget, karakter pemikirannya sudah bisa terbaca sebagai pemikir kritis-progresif. Sebuah konstruk pemikiran yang kerap sekali menggunakan paradigma Marxis. Yakni, dengan membaca realitas sosial secara kontradiktif. Antara si-kaya dan si-miskin. Antara penguasa dan kaum tertindas. Antara si kuat dan si lemah, dan seterusnya. Dengan paradigma pendidikan kritis-progresif itulah, Romo Mangun sempat menuai kritik tajam. Dia malah dituduh sebagai antek-antek komunis (salah satu senjata politik rezim Orba).
Membaca buah pemikiran Romo Mangunwijaya semakin mendekatkan kita pada paradigma pendidikan kritis (critical education) yang pernah digagas oleh Paulo Freire. Menurut tokoh yang satu ini, pendidikan bertujuan untuk “penyadaran” (conscientizacao) setiap manusia sebagai pelaku aktif yang sadar (cognitive) atas kehidupannya sendiri. Setiap sistem yang membelenggu atau merampas kebebasan manusia adalah penindas. Situasi yang demikian adalah “penindasan.” Karena itulah, pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari sistem yang menindas.
Yang paling fundamental pada sosok Romo Mangunwijaya adalah komitmen kemanusiaannya yang tak kenal sekat-sekat ideologis, atau bahkan agama manapun. Ibaratnya, ia berjuang membela kaum lemah tidak kenal siapa orangnya, apa keyakinannya serta bagaimana latarbelakang kehidupannya. Itu semua tidak menjadi penghalang bagi sosok guru kaum tertindas dalam membimbing dan menemani mereka agar segera terentaskan dari situasi tertindas.