Falsafah

Manusia Paripurna (Insan Kamil) Menurut Ibnu Arabi

4 Mins read

Dalam pengertian umum, manusia itu tidak ada yang sempurna, bahkan banyak kekuranganya dari pada kesempurnaannya. Pengertian ini biasanya didasarkan atas segenap pujian atau cacian terhadap seseorang. Yah memang benar di satu sisi dari segi fisik, maupun psikis; dari segi moralitas, maupun kecerdasan; atau dari segi harta, maupun nasab.

Tak pelak, pujian-pujian itu datang dari kawan, saudara, atau pun tetangga, bahkan sampai netizen. Yaps, netizen adalah salah satu pemuji dan pencaci paling handal dalam dunia per-medsos-an.

Bagaimana tidak, segala apapun yang muncul di media sosial, yang sekiranya menggelitik, maka tak segan-segan menghunus komentar pedas maupun manisnya.

Dalam konteks ini (manusia sempurna), tentu sangat berbeda jika dalam dunia tasawuf. Pasalnya, dari segi substansi saja sudah cukup bertolak belakang. Pada pembahasan awal lebih merujuk ke arah fisika, sedangkan dalam konteks tasawuf ini lebih ke arah metafisika.

Sekilas tentang Ibnu Arabi

Salah satu tokoh sufi penggagas teori Manusia Sempurna (Insan Kamil) adalah Ibnu Arabi. Beliau memiliki nama lengkap Abu Bakr Muhammad ibnu al-Arabi al-Hatimi al-Tai.

Lahir pada 28 Juli 1165 M atau bertepatan pada 17 Ramadhan 560 H di Murcia, Spanyol. Dan wafat di usianya yang ke-75 tahun, yakni pada 16 November 1240 M/ 22 Rabiul Akhir 638 H di Damaskus.

Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi

Dalam perenungannya tentang manusia, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia itu terletak pada apa yang disebut sebagai perpaduan. Di mana, al-Haqq memanggil seluruh hakikat yang tercerai berai dalam alam dan menghimpunnya dalam manusia.

Keterpaduan itu dapat diperoleh dari hasil perkawinan antara ruh-ruh yang suci dan superior sebagai “bapak” (yang memberi pengaruh) dan unsur-unsur alam sebagai “ibu” (yang ditempati pengaruh). Buah rahim dari perkawinan ini melahirkan “anak”, yang berupa benda tambang, tumbuhan, hewan dan jin dan manusialah yang paling sempurna dari semuanya (Muhyi al-Din Ibnu Arabi, t.th: 124).

Baca Juga  Pemikiran Kosmologi Sufistik Ibnu Arabi

Dalam konteks ini, berati bahwa perpaduan yang dimaksud adalah manusia dapat mengaktualisasikan dalam dirinya berupa pelimpahan semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam. Yang juga berati Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakekat Muhammad (nur Muhammad) ke dalam diri manusia.

Namun dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa Ibnu Arabi membedakan antara Manusia Sempurna pada tingkat universal atau kosmik dan Manusia Sempurna pada tingkat partikular atau individu.

Manusia Sempurna pada tingkat kosmik yaitu kesejatian manusia pada model asli yang abadi dan permanen sebagai sosok manusia. Sedangkan, Manusia Sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan para manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya, seperti yang diperoleh oleh para nabi dan para wali Allah (Akilah Mahmud, 2014: 35).

***

Manusia sempurna pada tingkat kosmik demikian halnya yang disimbolkan dengan penciptaan Adam. Genus manusia pertama yang diciptakan sebagai tempat berkumpulnya kesempurnaan-kesempurnaan wujud yang rasional, spiritual, dan material.

Dan ini merupakan sebuah mahakarya Tuhan yang tertinggi dibanding malaikat dan iblis. Oleh karenanya pula malaikat dan iblis diperintahkan bersujud kepada Adam, sebab karena kesempurnaan itu tidak dimiliki oleh malaikat dan iblis.

Dalam pandangan Ibnu Arabi, aktualisasi derajat kemanusian yang tertinggi itu  tidak dapat ditemukan kecuali pada martabat kenabian dan kewalian. Dan yang paling sempurna dari mereka semua secara mutlak adalah perwujudan Nabi Muhammad SAW.

Akan tetapi yang dimaksud di sini bukanlah Muhammad yang menjadi nabi yang diutus, melainkan al-Haqiqah al-Muhammadiyah atau ruh al-Muhammady. Karena ia merupakan tempat penampakan yang paling sempurna bagi Dzat Tuhan dan bagi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (Ah. Haris Fahrudi, 2015: 26-27).

Baca Juga  Konsep Hukuman (Punishment) Tak Cocok Diterapkan di Dunia Pendidikan

Dalam konsep Insal Kamil Ibnu Arabi tersebut dapat dipahami sebenarnya manusia itu memang sudah diciptakan secara sempurna oleh Tuhan. Hanya saja sangat sedikit sekali manusia yang sadar bahwa dirinya adalah sempurna, sebagaimana pemahaman jamaknya manusia. Mereka cenderung abai terhadap wujud asaliahnya. Padahal dengan mengenal dirinya sendiri maka ia juga akan mengenal Tuhannya.

Cara Menjadi Insan Kamil

Selain dari pada martabat kenabian dan kewalian, manusia yang sempurna atau yang seutuhnya juga dapat diperoleh oleh manusia biasa. Lantas bagaimana caranya? Caranya adalah dengan meniru suri tauladan yang diperagakan oleh para nabi dan wali dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang paling utama dari pada itu ialah seperti apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, baik hubungannya dengan alam, manusia, hingga Tuhan.

Bukan jalan yang mudah untuk dapat meniru suri tauladan. Sebab dalam diri manusia sudah tertanam unsur-unsur potensial seperti sombong, egois, pesimis, ambisius, perfeksionis, bijaksana, sabar, humoris, idealis, optimis, dst. Yang merupakan sebagai akibat logis gabungan antar elemen-elemen yang ada dalam makrokosmos. Karena bagaimanapun juga manusia adalah miniatur alam raya yang maha luas ini.

Dan untuk menjadi manusia yang paripurna (Insan Kamil) sebagaimana konsep Ibnu Arabi, dibutuhkannya usaha yang keras untuk meredam atau mengendalikan unsur-unsur tersebut.

Mudahnya adalah dengan menakar sesuai takaran dosis seyogyanya. Sama halnya gula atau garam bagi tubuh manusia. Gula dan garam itu baik untuk kesehatan manusia, tapi jika melebihi kadar, juga tidak akan baik bagi kesehatan.

Contoh lain misal obat. Obat itu baik sebagai penyembuhan. Tapi jika melebihi kadar yang ditentukan oleh dokter, juga tidak akan baik, boleh jadi over dosis.

Baca Juga  Kritik Asghar Ali Engineer terhadap Teologi Islam Klasik
***

Begitu juga unsur-unsur manusia yang serba metafisik tadi, untuk dapat menjadi manusia yang stabil maka harus dapat mengontrolnya; bukan berarti pula dapat menghilangkannya. Dan inilah yang dimaksud Ibnu Arabi sebagai manusia paripurna.

Sebaliknya, manusia yang tidak dapat mengontrol elemen-elemen itu, maka ia akan cenderung tidak stabil dalam hidupnya. Ia cenderung kepribadian toxic. Dan ini yang berbahaya bagi dirinya.

Pengendalian elemen-elemen itu mirip dengan serial animasi televisi Nickelodeon berjudul Avatar: The Legend of Aang. Sebuah animasi yang mengisahkan seorang biksu kecil bernama Aang berusia 112 tahun berasal dari kaum pengendali udara (ras manusia yang memiliki kemampuan mengendalikan udara).

Dalam ceritanya tersebut, awalnya Aang hanya mampu mengendalikan satu elemen saja, yaitu udara. Tapi dalam suatu keadaan, Aang mampu mengendalikan semua unsur (api, udara, tanah, dan air) dengan kekuatan yang menakjubkan. Keadaan itu  disebut sebagai keadaan “Avatar”. Suatu keadaan yang dapat dicapai saat Aang merasa sangat marah bercampur sedih, dan juga bisa saat sedang nyawanya terancam, kadang juga muncul dengan jalan meditasi.

Dan ketika Aang sadar kembali, elemen-elemen itu sudah hilang kembali, ia tidak dapat menggunakannya. Jalan untuk dapat membangkitkan ketiga elemen yang lain itu yaitu dengan cara berguru.

Jadi pada intinya, sebenarnya elemen-elemen itu sudah tertanam dalam jiwa manusia. Hanya saja untuk dapat membangkitkan atau mengendalikannya diperlukan pengetahuan dan kesadaran, yakni dengan proses belajar dan berguru.

Wallahu A’lam Bishawab.

Editor: Yahya FR

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds