Inspiring

Maria Ulfah, Pembela Hak Perempuan dalam Perkawinan

4 Mins read

Sighah ta’liq talak yang biasa diucapkan suami setelah proses ijab kabul adalah salah satu buah perjuangan atau dapat dibilang sebagai ijtihad Maria Ulfah, untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam hubungan perkawinan. Berkat inisiatifnya pula, UU Perkawinan mulai dirintis penyusunannya. 

Pentingnya Pembacaan Sighah Ta’liq

Pada masa awal diperkenalkannya sighah ta’liq talak ini, tidak semua suami mau membacakannya. Jika ia membacanya, orang biasa menyebut bahwa ia mengikuti mazhab Maria Ulfah.

Kini, sighah ta’liq talak itu telah jamak dibacakan dalam gelaran akad pernikahan, meski ada saja penghulu dan calon mempelai laki-laki yang memilih tidak membacakannya, sebagaimana penulis pernah temukan saat mengikuti akad nikah di salah satu desa pada kabupaten di Jawa Tengah.

Jika mengetahui sejarah dan maksud penyusunannya, niscaya perempuan Indonesia akan memilih untuk meminta suaminya membacakan sighah itu untuk melindungi dirinya.

Perempuan dan Relasi Perkawinan

Problematika perempuan dalam relasi perkawinan adalah diskursus yang usianya lebih tua dari gerakan perempuan Indonesia. Bagaimana tidak, masalah itu pula yang kerap menjadi agenda pembahasan dalam pertemuan organisasi perempuan hingga Kongres Perempuan Indonesia, sekaligus sumber persitegangan di antara gerakan perempuan. Siapa ‘wasitnya’? Sejarah harus mengakui dan menyebut nama Maria Ulfah.       

Saat berlangsung Konggres Perempuan Indonesia ke II, di Jakarta (1935), terjadi perseteruan ihwal poligami antara antara Ratna Sari, perwakilan Permi, yang pro poligami, dengan Soewarni, pimpinan Istri Sedar, yang getol menentang poligami. Pertentangan kedua ‘pentolan’ organisasi perempuan sayap kanan dan kiri ini sempat membuat suasana konggres memanas, hingga Istri Sedar memutuskan keluar dari konggres meski baru kali itu ia bersedia mengikuti konggres.

Saat itulah muncul usulan agar tak membahas prasaran Ratna Sari dalam Konggres yang disepakati peserta konggres. Inisiatif yang sejenak meredam ketegangan tersebut berasal dari Maria Ulfah, yang selanjutnya lebih dikenal sebagai penengah konflik. Sebagai gantinya, disepakati pembentukan Biro Konsultasi Perkawinan yang akan mempelajari hukum perkawinan Islam dan membantu kaum perempuan yang menemui kesulitan dalam perkawinan. Maria Ulfah, sang perempuan ahli hukum, ditunjuk menangani biro konsultasi ini.

Baca Juga  Minimnya Capres dan Cawapres Perempuan di Pemilu 2024

Sebagai badan federasi berbagai organisasi perempuan di Indonesia, Konggres Perempuan Indonesia (KPI) tidak luput dari perdebatan yang tidak memungkinkannya membuat keputusan berpihak pada satu golongan. Bahkan, karena itu pula, KPI dianggap tidak efektif dan terkesan plin plan. Beda pandangan karena beda ideologi gerakan nyaris sudah menjadi hal biasa.

Gerakan perempuan membutuhkan seorang mediator, Maria Ulfah salah satunya. Ia merupakan salah satu pendiri Isteri Indonesia, organisasi perempuan yang dikenal berhaluan nasionalis. Di tengah aktivisme dalam pergerakan perempuan, Maria Ullfah mengabdikan diri menjadi guru pada Perguruan Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat.

Sengketa atas Ordonansi Perkawinan

Pada 1937, pergerakan perempuan kembali bersengketa lantaran pemerintah menawarkan rancangan ordonansi perkawinan tercatat. Menurut rancangan undang-undang perkawinan ini, setiap pernikahan yang dilangsungkan menurut hukum Islam dapat didaftarkan pada kantor Bupati, meskipun pendaftaran bersifat sukarela.

Konsekuensinya, pernikahan tersebut harus tunduk pada asas hukum perkawinan sipil barat, yakni monogami. Rancangan ordonansi perkawinan tercatat ini akan mengundang pro kontra. Lagi-lagi, Konggres Perempuan Indonesia menghadapi dilema. Secara pribadi, Maria Ulfah menyepakati rancangan ordonansi ini, karena sifatnya yang juga tidak memaksa. Tetapi untuk prinsip persatuan pergerakan, Konggres Perempuan Indonesia tidak mengambil keputusan.

Meski tidak mengambil keputusan, tetapi Maria Ulfah bersama aktivis pergerakan perempuan yang lain tetap mencari jalan keluar. Berdirilah Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-Anak Indonesia (KPKPAI). Nantinya, pada Konggres Perempuan Indonesia III, di Bandung (1938), menjadi badan pelaksana KPI dengan perubahan nama Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP).

Badan ini berfungsi membantu kesulitan perempuan dalam perkawinan, menyusun ta’liq talak untuk menguatkan posisi perempuan dalam perkawinan yang memungkinkan perempuan minta cerai apabila suami mengambil istri yang lain atau bila timbul perselisihan yang tidak dapat didamaikan.

Baca Juga  Hermeneutik Amina Wadud: Al-Qur'an bukan Kitab Patriarki

Tak hanya itu, badan ini juga mengumpulkan bahan penyusunan rancangan Undang-Undang Perkawinan bagi umat Islam. Regulasi tersebut adalah gagasan Maria Ulfah, yang memandang pentingnya hukum perkawinan bagi orang Islam. Orang Kristen Indonesia sudah memiliki Huwelyks ordonansi Voor Christen Indonesiers, sementara orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum perkawinan yang diatur dalam hukum sipil (bugerlijk wetboek). Ia mengajak gerakan perempuan untuk memikirkan formulasi hukum perkawinan yang dapat melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama untuk kepentingan laki-laki sehingga merugikan perempuan.

Keistikamahan Maria Ulfa Mendampingi Masalah Perkawinan Perempuan

Pengabdian dan concern Maria Ulfah pada problem perempuan dalam perkawinan tak lepas dari pengalamannya mendampingi perempuan yang mengadukan nasibnya melalui biro konsultasi yang ditanganinya. Kebanyakan perempuan datang karena persoalan permaduan. Bila tak kuat menanggung akibat permaduan, para perempuan ini minta diupayakan perceraian.

Saat itu, kecil peluang bagi perempuan meminta cerai, meski suaminya menikah tanpa sepengetahuannya. Bahkan bila suaminya tak lagi menginginkannya, istri bisa sekenanya dicerai. Pada tulisan yang diberinya judul “Habis Manis Sepah Dibuang”, yang dimuat dalam majalah Isteri Indonesia (1939), Maria Ulfah menuliskan kegelisahannya tentang nasib perempuan yang tiba-tiba dicerai begitu saja oleh suaminya setelah keduanya menikah selama 33 tahun.

Persinggungannya dengan urusan perceraian membuat Maria Ulfah tidak disukai anggota pengadilan agama, tetapi begitulah konsekusensi yang harus Maria Ulfah pikul. Ia terlanjur bertekad mendampingi kaum istri yang bermasalah dalam perkawinan, kesadaran yang bukan datang begitu saja. Ia punya pengalaman personal dengan bibinya, R. A Soewenda, adik dari ayahnya, yang terpaksa kembali ke rumah orang tuanya karena dicerai oleh suaminya, Bupati Pandeglang karena jatuh hati pada perempuan lain.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, masa itu, seorang istri yang diceraikan suami akan dipandang gagal memikat perhatian suami. Sudah dicerai suami, dianggap beban keluarga, membawa malu, disalahkan pula. Bibinya dikucilkan dari pergaulan umum dan diharuskan tetap tinggal di kamar.

Baca Juga  Jalaluddin Rumi: Penyair dan Sufi Muslim dari Persia

Maria Ulfah tidak akan lupa pengalamannya berkunjung ke rumah kakeknya dengan membawa buah jeruk dan apel. Ia menyaksikan sendiri bahwa untuk merasai oleh-oleh bawaan Maria, bibinya harus meminta tolong pada Maria agar memintakan pada kakek dan neneknya, barang satu atau dua buah saja.

Peristiwa itu membekas di benaknya dan menjadi alasannya memilih belajar hukum di negeri Belanda. Ia bahkan menjadi perempuan Indonesia pertama yang menggondol sarjana hukum dari Leiden University. Maria Ulfah juga tercatat sebagai menteri perempuan pertama di Indonesia masa kepemimpinan perdana menteri Sjahrir, rekan karib Maria yang turut mempengaruhi pemikiran kebangsaannya.

Biografi Maria Ulfa

Maria Ulfah, perempuan kelahiran 18 Agustus 1911 adalah anak Mohammad Achmad dengan R. A. Hadidjah Djajadiningrat. Ayah dari perempuan yang biasa dipanggil It atau Ice ini merupakan seorang pamong praja, yang sempat menjadi patih, dan terakhir menjadi Bupati Kuningan.

Ibunya, Hadidjah Djajadiningrat, adalah anak bupati Serang R. T. A. Djajadiningrat. Achmad Djajadiningrat, anggota Raad Van Indie, maupun Hoesein Djajadiningrat, ahli Islam pertama Indonesia, adalah paman Maria Ulfa dari pihak ibunya.

Menurut Iwanah, adiknya, ayahnya menginginkan anaknya pandai bicara seperti Mirabeau, tokoh politik masa revolusi Perancis. Rupanya harapan itu mewujud pada pribadi Maria, yang pandai meyakinkan orang tentang pikirannya dan hampir selalu berhasil menengahi pendirian-pendirian yang bertentangan, khususnya di tengah pergerakan perempuan untuk merawat keutuhan pergerakan perempuan nasional.

Figurnya layak menjadi teladan. Kemampuannya menghargai perbedaan dan mencari jalan tengah tetap relevan hingga saat ini, di tengah perbedaan pandangan yang mewarnai Indonesia, setelah berusia 75 tahun.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Redaktur Majalah Suara Aisyiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds