Feature

Merayakan Kegagalan Mendapatkan Beasiswa S3 Luar Negeri

4 Mins read

Sistem pendidikan kita tidak pernah memberikan narasi kepada orang-orang kalah. Di bawah payung neo-liberalisme, pendidikan kita justru dituntut untuk berhasil. Keberhasilan untuk mendapatkan sesuatu kemudian menjadi penanda bahwasanya kita telah merengkuh dunia modern; berkompetisi dengan ketat dan kemudian merayakan kemenangan tersebut. Di tengah itu, mereka yang tersingkirkan diabaikan begitu saja. Karena belajar dari sang pemenang, kita tidak pernah tahu bagaimana artinya kegagalan dan belajar dari mereka. Padahal, belajar dari kegagalan orang lain, ini jauh lebih signifikan.

Kegagalan, dengan begini, bukan dianggap sebagai sesuatu yang normal, melainkan menjadi semacam aib. Tidak seperti Desember sebelumnya, di mana saya menceritakan torehan prestasi yang telah saya tunai sepanjang satu tahun. Di sini, saya ingin menceritakan sejumlah kegagalan, khususnya dalam pencarian Sekolah S3 selama 10 tahun yang saya simpan saja secara personal. Dalam membagikan pengalaman ini, saya ingin menegaskan bahwasanya kegagalan itu perlu dinormalisasikan sebagai sesuatu yang biasa saja dan kalau perlu ditertawakan bareng-bareng. Tujuannya, agar kita bisa bangkit kembali untuk terus berusaha.

Gagal di Beasiswa Luar Negeri Australian Awards

Pertama, beasiswa luar negeri Australian Awards Scholarship. Beasiswa ini tidak hanya bergengsi, tapi murah hati untuk sebagian besar Indonesia. Tidak hanya para penerimanya bisa bekerja paruh waktu di sela belajar kuliah, mereka mendapatkan beasiswa yang sangat layak. Di bawah tahun 2000an, beasiswa ini bahkan menanggung biaya hidup keluarga.

Tidak berhenti di sini. Mereka yang mendapatkan beasiswa ini tidak perlu bersusah payah untuk mencari lembaga kursus bahasa Inggris karena sudah disediakan. Mereka juga tidak perlu sibuk mengurus administrasi kampus karena akan dibantu untuk didaftarkan. Selama 10 tahun, saya sudah mendaftarkan beasiswa ini selama 5 kali dan gagal!

Baca Juga  Budaya Melayu (4): Darek dan Rantau dalam Alam Minangkabau

Belum Beruntung Mendapatkan Beasiswa Luar Negeri S3 Jerman

Kedua, beasiswa S3 di Jerman. Saya mendaftarkan beasiswa ini gagal 3 kali, baik saat menyelesaikan dokumen yang tidak jadi dikirimkan hingga kemudian sudah mengirimkan semua persyaratan untuk sebuah proyek riset S3.

Untuk melamar beasiswa proyek risset S3, saya sebenarnya cukup percaya diri utnuk diterima. Apalagi ketika reviewernya tampak baik dalam menilai proposal saya. Namun, karena terlalu percaya diri inilah saya justru gagal dalam tahap seleksi administrassi. Duh, sakitnya minta ampun deh.

Hanya Berhenti di Dokumentasi

Ketiga, dokumen beasiswa dalam draft. Ya, saya membuat semua daftar beasiswa S3. Semua dokumen sudah saya siapkan. Namun, lagi-lagi saat hari H pendaftaran, saya urung memasukan lamaran beasiswa tersebut, baik itu beasiswa LPDP yang keren itu, hingga beasiswa by proyek riset di negara-negara Eropa.

Di sini, pertautan antara keraguan dan penyesalan mengiringi saya dalam mendaftarkan beasiswa itu, apalagi mengingat IELTS dan CV saya belum cukup terlihat meyakinkan. Akibatnya, saya memiliki banyak folder lamaran beasiswa S3 tapi hanya jadi dokumentasi pribadi saja.

Sudah Pamitan, Malah Tidak Jadi

Keempat, beasiswa Riset Pro S3 Luar Negeri. Untuk penguatan kapasitas lembaga riset, lembaga tempat saya bekerja menawarkan beasiswa ini. Dalam usaha pertama saya dinyatakan gagal untuk mendapatkan beasiswa, di mana kebanyakan angkatan saya saat masuk lembaga riset diterima. Saat percobaan kedua, saya dinyatakan diterima dan diminta secepatnya untuk mendaftarkan kampus luar negeri. Kampus pertama tentu saja negara di Australia.

Saya diterima dengan LOA conditional karena IELTS saya dianggap belum cukup. Namun, calon pembimbing bermurah hati akan memberikan saya beasiswa pelatihan bahasa Inggris selama 3 bulan. Sayangnya, pihak pemberi beasiswa dari administrasi di lembaga saya tidak membolehkan. Dengan terpaksa saya cari jalan lain dengan mencari kampus yang sekiranya cukup dengan IELTS saya.

Baca Juga  'Masyarakat Hibernasi' di Era Pandemi

Akhirnya, saya mendapatkan kampus dari Taiwan dengan mendapatkan LOA Unconditional. Dengan percaya diri, saya lalu mengabarkan kepada pihak administrasi di lembaga saya bekerja. Bersamaan dengan beberapa kolega yang diterima dengan beasiswa ini, di pusat penelitian saya kemudian diadakan semacam perpisahan untuk mereka yang sekolah S3, termasuk di dalamnya adalah saya. Saya sebenarnya tidak mau ikut, mengingat belum ada kepastian akan berangkat kuliah di Taiwan, tapi karena diminta hadir saya hadir juga.

Dalam proses perpisahan itu tentu saja ada testimoni. Saya orang yang mengisi testimoni itu bagaimana kemudian “berhasil” mendapatkan beasiswa keluar negeri! Ironisnya, saat beberapa kolega benar-benar berangkat kuliah S3, hanya saya yang tidak jadi berangkat. Duh, betapa malunya saya saat itu, sudah diselametin ramai-ramai kok malah enggak jadi berangkat, mau taruh di mana nih muka?

Saat saya mendapatkan LOA dari kampus di Taiwan ternyata beasiswa Riset Pro Luar Negeri ditutup. Ini karena program pendanaan dari World Bank ketika itu hanya sampai tahun 2020. Jadi, untuk S3 yang aplikasi pada tahun 2018 tidak bisa, mengingat waktu penyelesaiannya dan durasi yang diminta oleh pendana beasiswa tenggatnya sangat pendek.

***

Dengan perasaan malu itu, saya memutuskan untuk terus menulis saja, memperbanyak angka kum untuk naik pangkat. Dalam situasi ini, saya mengambil langkah mundur dengan memperdalam lagi kemampuan skor IELTS yang tidak kunjung naik untuk mendapatkan skor yang dianggap layak diterima di sebuah kampus luar negeri, di mana pengantar kuliahnya adalah bahasa Inggris.

Di tengah kegagalan itu, kalimat yang seringkali muncul bukan kalimat motivasi untuk terus menyemangati agar terus berjuang sekolah S3. Sebaliknya, tidak sedikit yang bertanya, mengapa belum Sekolah S3 lagi? Tentu saja, saat berbicara ini, kolega yang menanyakan itu biasanya membandingkan dengan kolega lain yang jauh lebih muda dan berangkat sekolah S3 lebih dahulu dari saya.

Baca Juga  Kesalahan Trump dan Hikmah Kerusuhan di Amerika

Pertanyaan ini biasanya cukup jadi motivasi saya saja sambil saya alihkan energi saya untuk terus menulis dan menulis. Ini karena, bagi saya, kalaupun tidak mendapatkan beasiswa S3 tahun, setidaknya saya naik pangkat fungsional untuk sampai ke posisi aman. Saya sebut posisi aman ini maksudnya, setidaknya saya tidak mati-matian lagi untuk membayar cicilan KPR bulanan di tengah biaya variabel rumah tangga yang cukup tinggi di Jakarta.

Rayakan Kegagalan!

Ya, itu sejumlah kegagalan saya dalam pencarian beasiswa S3 kurun waktu selama 10 tahun saat saya menjadi peneliti lembaga riset. Pengalaman kegagalan ini tentu saja tidak dialami oleh mereka yang memang sudah siap, baik dalam persoalan IELTS ataupun jaringan sebelumnya dengan calon pembimbing.

Namun, kegagalan ini perlu saya ceritakan bahwasanya jatuh terpuruk itu sebagai sesuatu yang tidak perlu disimpan, melainkan perlu dirayakan. Tujuannya, tentu saja, apalagi kalau bukan untuk mentertawakan dan membangkitkan imunitas diri agar saya bisa maju lagi untuk tahun.

Editor: Yahya FR

Avatar
82 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *