Perspektif

Masa Depan Suram Demokrasi Jokowi

3 Mins read

Freedom House merilis laporan tahunan tentang perkembangan demokrasi negara-negara di dunia. Pada dua tahun terakhir, judul yang diangkat oleh lembaga independen di Amerika Serikat ini bagai kabar lelayu (kabar duka) bagi negara-negara demokrasi. Judul laporan tahun 2019 adalah “democracy in retreat” (demokrasi dalam kemunduran) sedangkan judul yang diangkat pada laporan tahun 2020 jauh lebih menakutkan, “a leaderless struggle for democracy” (perjuangan tanpa pemimpin untuk demorkasi).

Laporan dua tahun terakhir tersebut mengisyaratkan, bahwa demokrasi di dunia sedang dalam bahaya. Ramalan terjadinya kemuduran demokrasi dan bangkitnya rezim otoriter di sejumlah negara demokratis bisa saja terjadi. Namun, tulisan ini tidak akan membahas jauh ke situ karena fokus tulisan ini adalah perjalanan demokrasi di Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika.

Masa Depan Suram Demokrasi Indonesia

Masih menurut laporan tahunan Freedom House, Indonesia pernah berada pada fase negara demokratis antara 2006 dan 2013. Ini merupakan prestasi baik di mana Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden saat itu mampu mendongkrak status Indonesia yang sebelum 2006 masih berada pada posisi negara semi-demokratis. Namun, sejak 2014 hingga 2020, posisi Indonesia turun kembali sebagai negara semi-demokratis. Data ini mengindikasikan, bahwa demokrasi Indonesia justru lebih berhasil di bawah kepemimpinan militer daripada sipil.

Laporan serupa juga dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam laporan Indeks Demokrasi 2019, judul yang diangkat oleh lembaga berbasis di London ini adalah “a year of democratic setbacks and popular protest” yang menegaskan, bahwa 2019 adalah tahun kemunduran demokrasi dunia dan mencuatnya gerakan protes di berbagai negara. Sementara laporan EIU tahun 2020 masih belum dirilis. Secara spesifik, demokrasi Indonesia dikategorikan EIU sebagai “a flawed democracy”, negara yang secara prosedural berhasil menyelenggarakan pemilu tetapi lemah dalam hal tata kelola, memiliki budaya politik yang terbelakang, partisipasi politik yang lemah, dan pemasungan terhadap kebebasan media.

Baca Juga  Jokowi dan Bahasa Kesederhanaannya

Sejumlah ilmuwan politik juga memberikan label terhadap demokrasi Indonesia. Ilmuwan politik asal Jerman, Wolfgang Merkel (2007), menglasifikasikan Indonesia sebagai “domain democracy” di mana kekuatan veto seperti militer, pengusaha, tuan tanah, dan perusahaan-perusahaan multinasional memiliki kemampuan mengambil alih kekuasan dari pemegang kekuasaan resmi. Faktanya (meski tidak terlihat), Jokowi sebagai presiden seakan tidak berdaya dalam mengambil keputusan-keputusan penting di republik ini.

Itulah yang menyebabkan ilmuwan politik Amerika, Jeffery A. Winters, selalu menyatakan, meski Indonesia demokratis, kekuatan oligarki semakin kuat dan pejabat resmi pemerintah justru semakin melemah dalam berbagai aspek. Winters memprediksi demokrasi di Indonesia sepertinya akan mengalami masa depan yang suram alias tidak cerah.

Kemunduran di Rezim Jokowi

Ilmuwan politik asal Australia, Thomas P. Power, dalam artikel ilmiah yang dipublikasikan di Bulletin of Economic Studies (Vol. 54 No. 3, 2018), juga menegaskan kemunduran demokrasi Indonesia di bawah rezim Jokowi karena sejumlah gerakan manipulasi terhadap penegakan hukum serta meningkatnya represi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat terutama tekanan terhadap kelompok oposisi yang semakin tidak berdaya. Power juga menggarisbawahi, bahwa kemunculan dua capres, Jokowi versus Prabowo, pada Pilpres 2019 juga seakan membunuh masa depan demokrasi Indonesia.

Gerakan pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui jalur parlemen dengan pengesahan revisi Undang-Undang KPK tahun 2019 serta pengesahan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja pada 05 Oktober 2020 membuat media Inggris, the Economist, mengeluarkan pernyataan keras pada 15 Oktober 2020, bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi telah kembali pada otoritarianisme. Apalagi terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua KPK dinilai oleh sejumlah aktivis anti-korupsi sebagai babak akhir dari terpuruknya lembaga anti-rasuah tersebut.

Baca Juga  Ma’mur Al-Fadil: Respon Terhadap Kebijakan Pemerintah Membingungakan

Dalam headline tulisan the Economist tersebut ditegaskan, bahwa meski Jokowi memotong ruwetnya birokrasi di Indonesia, tetapi presiden ini justru yang merusak institusi birokrasi itu sendiri. Dia seolah ingin membangunkan kembali rezim otoriter atau dalam istilah the Economist, Jokowi ingin menjadi seperti Soeharto.

Akhir dari Indahnya Demokrasi?

Sosok Jokowi yang sering disebut sebagai “Man of the People” atau sosok yang mewakili kepribadian rakyat pada umumnya, kini tak sedikit dari para pendukungnya yang kecewa. Bahkan, the Economist menyebut Jokowi kini menjadi presiden yang terpencil dan jauh dari rakyatnya, terkepung dan tersandera oleh kelompok bangsawan baik kalangan elite bisnis maupun elite politik.

Itulah mengapa Ben Bland menjuluki Jokowi sebagai “Man of Contradictions” (2020) yang menyatakan, pemerintahan Jokowi merupakan rezim yang penuh dengan kontradiksi dan berlawanan dengan wajah Indonesia yang modern.

Represi yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap para demonstran anti-Omnibuslaw serta tindakan kekerasan dan penangkapan terhadap sejumlah aktivis dan tokoh Islam juga menjadi bukti penguat, bahwa demokrasi di bawah rezim Jokowi sudah berada pada istilah MADESU, kata dalam bahasa gaul yang merupakan akronim dari masa depan suram.

Jangan sampai akhir kepemimpinan Jokowi sebagai presiden menjadi akhir dari indahnya demokrasi dan awal dari suramnya kebebasan di segala bidang hingga yang dikenang oleh rakyat: Jokowi adalah Bapak Madesu Demokrasi. Karena itu, Jokowi seharusnya sadar, bahwa kekuasaan mutlak ada di tangannya. Tidak ada lagi target kekuasaan Jokowi pada 2024 sehingga diharapkan dia bisa benar-benar mendengar suara rakyat karena vox populi vox dei (suara rakyat adalah sura Tuhan).

Editor: Nabhan

Avatar
7 posts

About author
Direktur International Program of Government Affairs and Administration (IGOV) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Pengurus Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *