Pada level paradigmatik, Islam tidak hanya dipahami sebagai sistem ajaran keagamaan, tetapi dapat dipahami sebagai “paradigma” yang mencakup pandangan hidup, sistem pemikiran, dan kebudayaan yang dibangun di atas nilai-nilai fundamental Islam.
Dengan meletakkan pemahaman Islam pada level paradigmatik, prosedur dan cara kerja keilmuan Islam akan dapat menemukan formulasinya yang khas. Seperti ketika Muhammad Jawwad Ridla mengkaji aliran-aliran filsafat dan teori pendidikan Islam, ia meletakkan tesis pertamanya, “Islam sebagai madrasah bagi umat Islam.”
Berangkat dari tesis inilah, Jawwad Ridla melakukan penelitian pendidikan dengan pendekatan sejarah dan filsafat sehingga ia mampu mengidentifikasi berbagai peristiwa sejarah yang berhubungan dengan aktivitas dan pemikiran pendidikan.
Kemudian melakukan analisis terhadap ragam tipe, kecenderungan, dan model aktivitas dan pemikiran pendidikan yang pernah berkembang di masa lampau, sampai akhirnya terbentuklah tiga model aliran pendidikan Islam: al-mukhafidz(konservatif), al-diniy al-‘aqlaniy(religious-rasional), dan al-dara’i (pragmatis) (Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis,2002, h. 7).
Jawwad Ridla menggunakan analisis teori relasi interaktif antara politik kekuasaan dengan sistem distribusi potensi sosial yang melahirkan ragam tipe, kecenderungan, dan model pendidikan Islam (h. 21).
Terutama sekali pada masa kepemimpinan Usman hingga abad ke IV hijrah yang penuh konflik. Meskipun penelitian Jawwad Ridla telah meletakkan abad pertengahan sebagai puncak kejayaan pendidikan Islam—seiring dengan kejayaan kekuasaan politik dinasti Abbasiyah—sebagaimana para peneliti insider maupun outsider.
Tetapi, terdapat mata rantai yang terputus ketika hendak membaca sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dalam alur dialektika historis yang progresif.
Kurangnya analisis terhadap relasi interaktif para filosof dan pendidikan muslim abad pertengahan dengan sistem filsafat dan kebudayaan Yunani (Hellenisme), Persia, dan India, seperti yang dilakukan Majid Fakhry (1987: 27), menjadikan narasi historis pendidikan Islam seakan-akan seperti fenomena loncatan peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa sebab-sebab sebelumnya. Logika historis sulit menerima alur semacam ini.
Untuk menyambung mata rantai yang terputus dalam proses transmisi ilmu pengetahuan dari sistem peradaban Hellenisme, Persia, dan India menuju peradaban umat Islam pada abad pertengahan dibutuhkan analisis berdasarkan pendekatan arkeologi ilmu pengetahuan.
Selain kurangnya analisis terhadap relasi interaktif antara para filosof dan pakar pendidikan muslim dengan peradaban Hellenisme, penelitian Jawwad Ridla dirasa kurang komprehensif dalam menganalisis sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, sejak zaman Nabi (bahkan pra kenabian) hingga memasuki akhir masa kekuasaan Turki Usmani.
Dalam penelitian Jawwad Ridla, periodisasi sejarah pendidikan Islam sebagai berikut: pertama, sejak peristiwa hijrah Nabi SAW hingga berdirinya Darul Hikmah (832 M); kedua, sejak berdirinya Darul Hikmah hingga munculnya madrasah Nidzamiyah (1065 M); ketiga, setelah era madrasah Nidzamiyah hingga runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani (h. 22).
Periodisasi sejarah pendidikan Islam, menurut Jawwad Ridla, terlalu sederhana untuk menjelaskan dinamika interaktif antara kekuasaan politik dan distribusi potensi sosial dalam panggung sejarah umat Islam yang masing-masing memiliki karakter, ciri khas, dan model yang berbeda.
Pembacaan atas relasi interaktif antara kekuasaan politik dan praktik sosial sejak zaman awal kedatangan Nabi Muhammad SAW (periode pewahyuan hingga peristiwa hijrah) perlu diidentifikasi karakter, ciri khas, dan model-model praktik pendidikan pada waktu itu.
Bahkan pembacaan atas fase ini perlu juga analisis pembacaan pengaruh dari kebudayaan lain seperti Romawi (Hellenisme), Persia, dan India yang menjadi kekuatan super powerpada waktu itu.
Kemudian fase kehidupan pasca Nabi SAW (Khulafaurrasyidin), Masa dinasti-dinasti Besar, Masa dinasti-dinasti Kecil, dan masa-masa kemunduran pasca runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani hingga memunculkan abad kebangkitan umat Islam.
Dalam pengamatan Jawwad Ridla, dari tiga model aliran pendidikan Islam, aliran al-Muhafidzterbukti paling dominan (h. 74-75), sedangkan aliran al-Diniy al-‘Aqlaniydan al-Dara’itidak banyak berkembang.
Analisis semacam ini sudah menjadi konsekuensi logis karena pendekatan politik memang berorientasi pada upaya melanggengkan otoritas kekuasaan. Sehingga munculnya pemikiran dan praktik pendidikan tetap dibaca dalam rangka melestarikan otoritas rezim.
Sekalipun aliran dan teori pendidikan religious-rasional dan pragmatis kurang mendapat tempat di kalangan umat Islam, tetapi di belahan bumi lain, keduanya mendapatkan tempat yang strategis dan mampu mengantarkan bangsa setempat mencapai abad pencerahan.
Seperti aliran religious-rasional, meskipun pada abad pertengahan tidak mampu mendominasi sistem pendidikan di Baghdad, tetapi di beberapa kawasan di Persia seperti dalam penelitian Mehdi Nakosteen (2003: 279) dapat berkembang dengan baik.
Sedangkan aliran pragmatisme yang dirintis oleh Ibnu Khaldun (h. 104), sekalipun tidak mampu mendominasi sistem pendidikan di Baghdad pada abad pertengahan, tetapi aliran pendidikan ini diterima dengan baik di kalangan bangsa-bangsa di Eropa. Aliran pendidikan inilah yang menurut Nakosteen mampu mengantarkan bangsa Barat mencapai abad pencerahan hingga kini (2003: 276-277).
Terdapat mata rantai pemikiran filsafat pendidikan yang terputus di kalangan umat Islam, tetapi bangsa Barat justru menyambungnya sehingga mampu membangun peradaban yang maju hingga saat ini.
Berawal dari kajian dan pengembangan konsep-konsep pendidikan pragmatis yang telah dirintis oleh Ibnu Khaldun. Istilah al-dara’i(bentuk jamak dari kata al-dari’ah) secara bahasa berarti “cara,” “medium,” “alat” atau “instrument”—sebenarnya senafas dengan Filsafat Pragmatisme alaJohn Dewey (Instrumentalisme).
Jejak filsafat pendidikan Ibnu Khaldun dapat ditemukan dalam filsafat Pendidikan yang berkembang di Barat dengan hadirnya aliran Pragmatisme dalam pendidikan—disebut juga Filsafat Pendidikan Progresif—lahir dari paradigma Filsafat Pragmatis yang dirintis oleh Charles S. Peirce, William James, John Dewey, dan lain-lain di Amerika Serikat.
Menurut Milton Karl Munitz (1981: 15), pemikiran filsafat Pragmatisme merujuk pada tiga tokoh besar Amerika Serikat, yaitu Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Adapun John Dewey, dalam perkembangan mutakhir, ia berhasil mengkonstruksi sistem filsafat pendidikan kontemporer berdasarkan prinsip-prinsip fundamental Filsafat Pragmatisme.
Dia meletakkan pancaindra, pengalaman empiris, dan proses refleksi yang melibatkan akal manusia sebagai serangkaian “instrument” untuk mencari kebenaran dan pengetahuan. Konsep filsafat John Dewey selain disebut sebagai Filsafat Pragmatisme, juga dikenal dengan istilah “instrumentalisme” (William F. O’neil, 2002: 23).