Media Mempengaruhi Kehidupan Manusia
Secara tradisional, jati diri seseorang terbentuk oleh keluarga, teman, dan tetangga. Tetapi, penilaian tersebut harus direnungi kembali di era modern. Mengingat, kehidupan manusia modern sudah menyatu dengan kehadiran media.
Media ikut membentuk identitas manusia modern yang bersifat absurd. Seyogyanya, media akan menghasilkan rekognisi identitas yang sulit untuk mencapai kestabilan.
Lantas, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Persoalan itu menjadi pertanyaan esensial dalam buku yang ditulis oleh Ariel Heryanto yang berjudul Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Melalui hasil risetnya, Ariel Heryanto ingin menguraikan jika media memiliki pengaruh besar dalam dinamika kehidupan di Indonesia.
Media menjadi ruang pertarungan wacana pengetahuan yang dapat membuai kehidupan manusia. Selama ini, masyarakat Indonesia terjebak pada reproduksi pengetahuan yang telah dibentuk oleh budaya layar. Apabila menelisik secara historis, kehadiran budaya layar di Indonesia terbagi menjadi dua periode, yakni saat masa Orde Baru dan pasca Orde Baru.
Budaya Media Layar Orde Baru
Perjalanan budaya layar saat Orde Baru, tidak bisa dilepaskan dengan kondisi sosial politik yang otoriter di bawah pimpinan Soeharto. Itulah yang membuat produksi film saat Orde Baru harus melewati proses seleksi yang ketat.
Selain itu, pembuatan film di masa Orde Baru bertujuan untuk membangun nilai nasionalisme. Hanya saja, nilai nasionalisme yang dibentuk lebih bertendensi untuk membenarkan tindakan yang dilakukan oleh Soeharto.
Oleh sebab itu, film yang berbau kiri akan dilarang penayangannya saat Orde Baru. Berbeda dengan film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan untuk ditayangkan di TVRI. Sebab, film tersebut bertujuan untuk melakukan propaganda mengenai pengkhianatan PKI dan membenarkan tindakan Soeharto untuk memberantas PKI.
Alhasil, tidak mengherankan, apabila dampak dari propaganda Orde Baru tetap bertahan lebih dari satu dekade. Kejatuhan Orde Baru tidak banyak memberikan ruang untuk membuka kebenaran, rekonsiliasi, dan mencapai keadilan.
Lantaran, propaganda Orde Baru dengan menggunakan media film menjelma menjadi panopticon. Sehingga, membuat tubuh masyarakat Indonesia mengalami pendisiplinan dan kepatuhan.
***
Akibatnya, upaya perlawanan terhadap film Pengkhianatan G30S/PKI mengalami kesulitan. Para pembuat film susah untuk menciptakan perspektif baru yang memiliki bobot penting. Penyebab utamanya adalah terjadi pertentangan mengenai pembenaran nilai sejarah yang pasti, terutama tentang aksi pembunuhan 1965.
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Indonesia mengalami kemustahilan untuk melakukan rekonstruksi sejarah. Ditambah lagi, korban kekerasan 1965 lebih memilih diam.
Terdapat dua alasan yang membuat korban kekerasan 1965 tidak mau membuka suara. Pertama, merasa takut karena akan dianggap akan menghidupkan kembali PKI. Kedua, masyarakat memberikan stigma kepada korban kekerasan 1965 sebagai pengkhianat bangsa.
Lebih mirisnya lagi, pada masa Orde Baru juga, terjadi diskriminasi kepada etnis minoritas di Indonesia: etnis Tionghoa. Terlihat ketika etnis Tionghoa kerap mengalami pendiskreditan.
Teraktualisasikan dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang melakukan pembatasan akses kepada warga Tionghoa.
Salah satunya terlihat dalam penyingkiran kepada warga Tionghoa yang sulit untuk ikut terlibat sebagai aktor film. Meskipun ada juga film yang menceritakan keluarga Tionghoa, seperti Putri Giok. Tetapi, cerita filmnya justru memperburuk warga Tionghoa sebagai etnis yang menjadi lumbung masalah di Indonesia.
Film Pasca Orde Baru
Pada perkembangannya, geliat film pasca Orde Baru mengalami perubahan orientasi yang mengarah kepada nilai islam. Islam telah menjadi komoditas untuk memanjakan mata masyarakat Indonesia. Sehingga, keberadaan film lebih mengarah kepada pertarungan antara islamisme dan post-islamisme.
Bentuk dari pertarungan antara islamisme dan post-islamisme tersaji dalam film: Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Kiamat Sudah Dekat, dan Al Kautsar. Film Ayat-Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban lebih mengandung nilai post-islamisme. Karena, terdapat adegan yang bertentangan dengan islam fundamentalis yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an.
Berbeda dengan film Kiamat Sudah Dekat dan Al Kautsar yang berorientasi kepada islamisme. Kedua film tersebut mengajarkan bahwa kehidupan yang berpegang teguh kepada nilai keislaman dan menjauhi nilai sekularis akan lebih baik.
Pertarungan identitas di media yang menyatu dengan politik, membuat masyarakat Indonesia mengalami kejenuhan. Atas dasar itulah, masyarakat Indonesia mulai mencari identitas baru sebagai orang yang modern dan kosmopolitan.
Masyarakat Indonesia mulai menggemari budaya populer yang berasal dari Korea, yakni K-Pop. Terjadinya hibriditas menjadi ciri produksi dan konsumsi budaya di wilayah tersebut.
Pada akhirnya, membaca buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, dapat membawa kenikmatan untuk melihat eksistensi manusia modern yang sudah termanifestasikan dalam budaya layar.
Bahkan, saya memiliki pertanyaan dilematis: Apakah keberadaan budaya layar membawa manusia dalam keterasingan atau alat untuk resistensi terhadap ketidakadilan? Entahlah, biarkan waktu yang menjawab.
Judul Buku: Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia.
Penulis. Ariel Heryanto.
Tahun Terbit: 2019.
Penerbit: Pustaka Pelajar
Editor: Yahya FR