Dalam bulan Agustus 2009, ada dua tokoh publik yang meninggal dunia hanya dalam rentang waktu dua hari saja. Yaitu Urip Ahmad Ariyanto atau Mbah Surip, seniman nyentrik yang baru kondang, meninggal pada hari Selasa (4/8/2009) dan Willybrodus Surendra atau WS Rendra, yang mendapat julukan penyair “Burung Merak,” meninggal pada malam Kamis (6/8/2009). Mereka telah pulang menuju keabadian pada saat bangsa ini sedang mengalami apa yang disebut oleh pujangga Ronggowarsito (abad ke-19) sebagai “zaman pancaroba.”
Beberapa abad silam, pujangga Ronggowarsito telah meramalkan, pasca Kalatida, bangsa ini akan memasuki masa kehancuran (Kalabendu). Namun, masa kehancuran tata nilai dan kebenaran akan berlalu seiring datangnya Kalasuba (Zaman Kemakmuran). Kalasuba tak datang begitu saja karena ia mensyaratkan munculnya sosok “Ratu Adil.” Kedatangan figur Ratu Adil inilah yang menurut Ronggowarsito menjadi alternatif solusi untuk mengatasi kerusakan tatanan kehidupan.
Namun, bagi penyair “Burung Merak,” justru figur Ratu Adil dianggap sebatas mitos atau omong kosong belaka. Menurutnya, situasi yang demikian justru menghendaki terciptanya hukum yang adil, mandiri, dan terkawal. Inilah kritik WS Rendra dalam pidato penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa (HC) di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) dua belas tahun yang lalu (4/2/2008).
“Megatruh Kambuh”
Pada pertengahan abad ke-19, pujangga Ronggowarsito sudah meramalkan akan datang “Zaman Edan” (Kalatida) dan “Zaman Kehancuran” (Kalabendu). Indikasinya ketika akal sehat justru dikalahkan oleh kekuasaan. Ketika kehidupan menjadi makin materialis dan hedonis. Saat itulah “Zaman Edan” datang. Ketika tata nilai-nilai budaya lokal tergerus oleh budaya tanding. Ketika kebenaran menjadi samar-samar hanya karena kepentingan politik segelintir orang. Saat itulah “Zaman Kehancuran” telah dimulai.
Sebagai aktor dalam panggung sejarah, setiap manusia dibekali “daya hidup” untuk menopang eksistensinya. Untuk menopang daya hidupnya, manusia dibekali dengan akal. Daya hidup dan anugrah akal memungkinkan manusia bertahan hidup melewati setiap masa dan perubahan. Sejarah kemudian merekam proses dialog interaktif antara manusia dengan realitas kehidupan yang teramat kompleks.
Menurut WS Rendra, setiap manusia memiliki kesadaran untuk menghayati dan mencerna pengalaman. Manusia juga memiliki kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Di samping itu, manusia memiliki kemampuan beradaptasi, daya tumbuh, dan berkembang. Inilah yang oleh penyair “Burung Merak” disebut sebagai “daya hidup” dalam perspektif kebudayaan (WS Rendra, 2001: 51-52).
Pada kenyataannya, daya hidup manusia di zaman modern tidak ditopang oleh stamina yang kuat. Peran akal dalam merasionalisasi keadaan cenderung dikalahkan oleh kepentingan materi. Di zaman sekarang, kekuatan akal yang mengusung kebenaran amat mudah ditepis oleh kepentingan materi atau kekuasaan. Sistem kapitalis telah merajai dunia sehingga sesuatu yang irrasional dengan mudah mengalahkan rasionalitas. Zaman inilah yang telah diramalkan oleh pujangga Ronggowarsito sebagai Kalatida. Oleh penyair Burung Merak, zaman yang demikian ditafsiri kembali sebagai suatu kondisi di mana stamina kebudayaan mulai menurun.
***
Di zaman sekarang ini, manusia modern cenderung menempatkan diri di alam ini sebagai entitas tersendiri. Manusia memposisikan diri sebagai subyek sementara alam semesta sebagai obyek. Akibatnya, manusia yang menempatkan diri sebagai subyek aktif cenderung mengeksploitasi alam secara serakah. Kesadaran untuk menghayati dan mencerna kembali setiap pengalaman hidup juga mulai sirna. Ketika sebuah bangsa yang berkali-kali mendapat musibah bencana alam tiap tahunnya, tetapi justru tidak mampu mengantisipasi atau memberi solusi alternatif, maka stamina kebudayaannya sedang menurun. Di sini, WS Rendra mengritik bangsa ini secara lugas dan tandas.
Menurut pujangga kelahiran Solo ini, stamina kebudayaan suatu bangsa juga dianggap menurun manakala kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dalam sebuah masyarakat sudah menjelma menjadi individualisme dan absolutisme. Dalam kondisi seperti ini, manusia merasa sudah cukup dengan dirinya sendiri. Seolah-olah ia tidak butuh orang lain.
Kehendaknya seakan-akan harus diwujudkan, tanpa peduli dengan kehendak orang lain. Kekuasaan kemudian mengkristal dalam individualisme dan absolutisme. Secara otomatis, individualisme dan absolutisme bertentangan dengan kehidupan demokratis. Tetapi memang fenomena seperti inilah yang sedang digugat oleh WS Rendra dalam naskah pidatonya, “Mengatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu.” Menurutnya, pemerintah saat ini dianggap tidak memihak pada rakyat kecil karena kekuasaan berubah menjadi absolut. Kekuasaan hanya mementingkan segelintir orang sementara kepentingan rakyat diabaikan.
Namun demikian, penyair kelahiran 7 November 1935 ini tidak mengandaikan datangnya “Ratu Adil.” Jika Ronggowarsito meramal kedatangan Kalasuba (Zaman Kesejahteraan) lewat perantara “Ratu Adil”, maka WS Rendra lebih percaya pada sistem hukum yang berkeadilan, mandiri, dan terkawal. Menurutnya, bangsa Indonesia harus terus aktif mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum, dan tata kenegaraan. Tujuannya agar tercipta daya hidup dan daya cipta bangsa yang lebih baik.
Peran Penyair
Kabar meninggalnya WS Rendra mengingatkan kita pada peran penyair dalam proses pembangunan bangsa ini. Sang penyair yang tidak pernah melanjutkan S-1, tetapi ia berhasil membidani lahirnya Bengkel Teater pada 1967, mengingatkan kita pada perjuangannya menekuni dunia sastra hingga akhir hayatnya.
Kiprah WS Rendra memang dinilai telah memberikan pencerahan terhadap bangsa. Lewat karya-karya sastranya, terutama puisi—yang menurut WS Rendra sendiri amat sulit mengembangkan karya sastra yang satu ini—memang sudah diakui oleh masyarakat, baik di dalam mengeri maupun luar negeri. Sementara gagasan-gagasannya tentang kebudayaan juga patut diperhitungkan. Bakdi Soemanto, sewaktu menghadiri acara penganugrahan gelar kehormatan tersebut, mengatakan bahwa WS Rendra adalah orang yang tahu tentang banyak hal terkait sastra dan kebudayaan.
Dalam salah satu esai yang pernah dimuat di majalah Gatra, WS Rendra menulis esai tentang “Penyair dan Kritik Sosial” (11/1/1997). Menurutnya, kita semua dapat dan perlu menerima kritik-kritik sosial para penyair sebagai masukan untuk menyegarkan kehidupan sosial kemasyarakatan.
***
Tampaknya, seorang WS Rendra menyadari bahwa peran penyair dalam sebuah sistem sosial sangat penting. Peran seorang penyair merupakan penjelmaan dari seorang “pawang” yang membacakan mantra-mantra—dalam sistem sosial bangsa Proto-Melayu dan Deutrero-Melayu. Dalam tradisi bangsa Smitik, peran seorang penyair seperti halnya seorang nabi. Dengan menyadari peran ini, maka tidak mengherankan jika karya-karya sastra WS Rendra, baik dalam bentuk esai maupun puisi, selalu merupakan bentuk kritik sosial yang konstruktif.
Esai-esai budaya WS Rendra sudah diterjemahkan dan beredar di beberapa negara, seperti India (Hindi, Urdu), Korea, Jepang, Inggris, Belanda, Rusia, Prancis, Italia, Cheko, dan Swedia. Beberapa esai yang telah diterbitkan di antaranya: Mempertimbangkan Tradisi (1983), Memberi Makna pada Hidup yang Fana (1999), Agenda Reformasi Seorang Penyair (1998), Deklarasi Agustus (bersama kawan-kawan, 1999), Rakyat Belum Merdeka (2000), dan Megatruh (2001).
Lewat “Megatruh Kambuh,” WS Rendra kembali menegaskan kritiknya bahwa stamina kebudayaan kita sedang menurun. Indikasinya jelas: akal sehat diremehkan dan tata nilai dijungkirbalikkan. Karena daya hidup makin lemah, maka Zaman Edan segera datang. Kalabendu telah menunggu. Tetapi untuk mencapai Kalasuba, bangsa Indonesia mesti terus aktif mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum, dan tata kenegaraan. Tentu saja ini semua demi perubahan yang lebih baik. Atau menurut WS Rendra, semua ini demi terciptanya daya hidup dan daya cipta bangsa yang lebih baik.
Editor: Yahya FR