Perspektif

Meluruskan Makna Hijrah

2 Mins read

Beberapa tahun ini, kata-kata hijrah sering sekali kita dengar. Hal ini seiring banyaknya seminar-seminar yang bertemakan hijrah dan beberapa kalangan artis yang mengubah haluan keagamaannya ke arah yang lebih asketis.

Hijrah adalah sebuah kata yang dianggap menjadi sebuah simbol atau penanda bahwa seseorang sudah meninggalkan segala perbuatan yang melenceng dari syariat Islam dan berjanji akan meniti jalan syariat Islam secara ketat.

Ketika seseorang memilih untuk berhijrah, biasanya ia seketika meninggalkan profesi-profesi lamanya yang dianggap tak sesuai dengan syariat Islam. Tanda pertama yang sering kita lihat dari orang yang baru ber-hijrah adalah perubahan tampilan visualnya; dari yang belum berhijab menjadi berhijab, dari yang tak ada jenggotnya menjadi berjenggot, dari yang mulanya bercelana isbal menjadi cingkrang, dan lain sebagainya.

Pergeseran Pemaknaan Hijrah  

Istilah hijrah sebenarnya sudah melenceng jauh dari makna aslinya. Dalam bahasa Arab, hijrah dimaknai sebagai perpindahan fisik seseorang dari tempat ke tempat lainnya.

Kata hijrah pada mulanya masyhur di kalangan umat Islam karena berkaitan dengan peristiwa perpindahan Nabi Muhammad dari kota kelahirannya, Mekkah, ke Madinah untuk misi dakwah.

Makna dari kata ini sebenarnya tidak berubah di dunia Arab, namun di Indonesia maknanya bergeser dan lebih dekat ke “pertobatan” alih-alih “perpindahan tempat”.

Hijrah dan Konservatisme Beragama

Maraknya tren hijrah tidak bisa lepas dari bangkitnya konservatisme beragama di tengah-tengah masyarakat. Tren ini disemaikan melalui pengajian-pengajian, seminar-seminar, atau halaqah-halaqah yang mengajarkan cara beragama secara ketat dan kaku.

Yang menjadi kekhawatiran dari merebaknya paham konservatisme berbalut tren hijrah ini adalah tumbuhnya benih intoleransi atas keyakinan atau keimanan yang berbeda. Intoleransi ini muncul karena timbulnya rasa percaya diri yang teramat besar atas keyakinan yang dianutnya. Dari titik ini, ia menganggap keyakinan yang berseberangan adalah pihak yang mutlak salah dan oleh karena itu wajib “diselamatkan” atau “diajak kembali” ke “jalan yang benar”.

Baca Juga  Dua Perempuan yang Berhasil Menjadi Pemimpin Politik

Tak jarang upaya “mengajak ke jalan yang benar ini” dilakukan dengan cara-cara yang tak pantas dan cenderung memaksa. Upaya pemaksaan itu dianggap sebagai hal yang lumrah. Alam bawah sadarnya berkeyakinan bahwa apapun harus dilakukan demi menyelamatkan orang dari ketersesatan. Etika dan metode dalam mengajak tidak menjadi hal yang perlu diperhatikan, yang penting bagaimana bisa mencapai idealism yang kita harapkan. Tentu cara pikir sistematis seperti ini yang patut dikhawatirkan.

Baru-baru ini, viral sebuah video yang menayangkan seorang wanita yang berhijab mencela bahkan memaksa wanita-wanita tak berhijab yang ditemuinya di jalan untuk mengenakan hijab. Pembaca bisa mengeceknya di kanal YouTube Zavilda.

Meskipun kita belum bisa memastikan bahwa sang wanita berhijab tadi baru “hijrah” tapi kita bisa pastikan bahwa ia terasuki paham-paham keagamaan yang konservatif; kaku dan rigid.

Ia tak mempedulikan bagaimana perasaan dan kenyamanan objek dakwahnya. Yang dia pedulikan hanyalah bagaimana wanita yang tak berhijab tadi merasa bersalah atas tindakannnya dan mau berhijab di kemudian hari.

Meskipun niatnya baik, tapi metode dakwahnya sama sekali tidak mencerminkan ciri Islam yang penuh kasih sayang.

Inilah bahaya cara beragama konservatif yang hinggap di pikiran manusia.

Meluruskan Makna Hijrah

Husein Ja’far Alhadar pernah mengatakan bahwa hal yang perlu diperbaiki atau “di-hijrahkan” adalah hati dan pola pikirnya terlebih dahulu, bukan segenap tetek bengek tampilan visualnya. Karena kalau hati dan pola pikir sudah “di-hijrahkan” ke arah yang lebih baik, maka sikap akan secara otomatis mengikutinya.

Hijrah harus dimaknai sebagai proses menjadi baik, bukan tanda seseorang menjadi baik. Jika orang menganggap bahwa dia masih dalam proses belajar, maka ia akan tetap rendah hati dan tidak merasa paling pintar dan benar sendiri.

Baca Juga  Konflik Palestina-Israel: Potensi Polarisasi Pemilu 2024

Ia tidak akan buru-buru menganggap orang yang berbeda paham dan sikap dengannya mutlak salah. Jika sudah tertanam pola pikir seperti itu, bisa dipastikan tidak akan terjadi tindakan-tindakan intoleransi kepada yang beda paham karena bisa saling memahami akan keterbatasannya.

Seperti inilah seharusnya perilaku hijrah dipraktikkan, bukan malah merasa paling benar sendiri.

Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.

Yahya Fathur Rozy
39 posts

About author
Researcher | Writer | Project Manager
Articles
Related posts
Perspektif

Blue Ecology: Tafsir Kemerdekaan Atas Maritim

5 Mins read
Perayaan kemerdekaan selalu diiringi dengan pernak-pernik kemerdekaan, seperti lomba, karnaval atau event lainya. Tetapi jarang dari kita menganggap kemerdekaan sebagai ruang kontemplatif…
Perspektif

Kebakaran Los Angeles, Azab, dan Hoax

3 Mins read
Dalam tiga hari ini, saya menerima pertanyaan bertubi-tubi tentang kebakaran di tiga district di Los Angeles, Amerika Serikat. Saking banyaknya, sejujurnya hampir…
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *