Tafsir

Meluruskan Makna Jihad

5 Mins read

Setidaknya ada 3 pengertian pokok jihad yang dikemukakan dalam kamus-kamus istilah Islam: qital al-‘aduww al-kafir, perang terhadap musuh kafir {kamus istilah  ulama fikih (Muhammad Rawwas Qal’ahaji, 1985:  168)};  istifragh al-wus’ mudafa’ah al-‘aduww, mendayagunakan seluruh kemampuan secara maksimal dalam perlawanan terhadap musuh {kamus istilah Al-Qur’an (al-Ashfahani, t.t.: 99); dan ad-du’a’ ila ad-din al-haqq, dakwah mengajak mengikuti agama yang benar {kamus istilah Islam umum (al-Jurjani, 2009: 84)}.

Dari 3 pengertian ini, yang populer di kalangan umat adalah pengertian pertama sehingga di antara mereka ada yang mengidentikkan jihad dengan perang. Hanya saja, pembacaan Al-Qur’an dengan cermat dan memperhatikan waktu turun dan munasabah-nya menunjukkan bahwa pengertian jihad yang tepat adalah pengertian kedua dengan cakupan pembicaraan meliputi aspek-aspek: aksi, kedudukan,  kerangka, pola, pelaksanaan, musuh yang dilawan,  alasan mengapa muslim diperintahkan jihad dan hasil dari jihad.

Jihad, Kebijakan Mewujudkan Hidup Baik

Jihad dibicarakan dalam banyak ayat dengan 2 di antaranya termasuk makkiyyah (turun sebelum hijrah), yakni al-Furqan, 25: 52 dan al-‘Ankabut, 29: 69.

Menurut kronologi mushaf Mesir, al-Furqan merupakan surat makkiyyah ke-42 (makkiyyah tengah) dan dapat diperkirakan turun pada tahun ke-8 kenabian; dan al-’Ankabut merupakan surat makkiyyah ke-85 (makkiyyah akhir) dan dapat diperkirakan turun pada tahun ke-12 kenabian.

Dalam al-Furqan, 25: 52 Nabi diperintahkan jihad terhadap orang-orang kafir menyusul larangan taat kepada mereka. Orang-orang kafir yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kaum Musyrikin Mekah yang berusaha menghentikan dakwah (pengembangan agama) Islam dengan berbagai cara, lunak (membuat stigma, menyelenggarakan “dakwah tandingan”, menawarkan harta untuk dimiliki, jabatan untuk diduduki dan perempuan untuk dinikahi) maupun keras (menyiksa dan meneror sahabat, meneror dan berusaha mencelakakan Nabi dan boikot kepada klannya, Bani Hasyim).

Perintah yang menyusul larangan tersebut merupakan perintah jihad yang pertama dan menunjukkan bahwa dalam menghadapi permusuhan kaum Musyrikin Nabi tidak boleh taat kepada mereka dalam pengertian tunduk menghentikan dakwah dan menerima tawaran mereka dan harus berjihad menghadapi mereka.

Konteks pembicaraan dalam al-Furqan, 25: 52 ini menunjukkan bahwa jihad adalah perlawanan (mudafa’ah) mengimbangi apa yang dipertentangkan, siapa yang menentang dan cara penentangan yang dilakukan.

Baca Juga  Apakah Penyelenggara Pemilu Juga Termasuk Jihad?

Makna ini sesuai dengan perkembangan tantangan perjuangan (kifah) Islam pada zaman Nabi yang -supaya berhasil- harus direspon secara kreatif.

Pada awal kenabian ketika kaum Musyrikin (Mekah) yang menjadi umat dakwahnya belum menunjukkan tindakan penentangan, Nabi diperintahkan untuk melakukan dakwah (du’a’) dengan pengertian melakukan pemberdayaan secara persuasif untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Perintah ini disampaikan pertama kali dalam al-Muddatstsir, 74: 1 – 2 yang merupakan surah makkiyyah ke-5 (makkiyyah permulaan) dan turun pada tahun ke-4 kenabian.

Supaya pemberdayaan tersebut efektif mencapai hasil, Nabi diperintahkan melakukan amar ma’ruf dan nahy munkar dalam pengertian menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk secara imperatif “memaksakan” perbaikan hidup kaum Musyrikin.  

Perintah ini disampaikan pertama kali dalam al-A’raf, 7: 157 yang merupakan surah makkiyyah ke-39 (makkiyyah tengah) dan diperkirakan turun pada tahun ke-7 kenabian. 

***

Kemudian ketika kaum Musyrikin melakukan penentangan dengan kelicikan dan kekerasan, maka Nabi diperintahkan untuk jihad.

Makna jihad yang sesuai dengan perkembangan perjuangan ini sudah barang tentu adalah melakukan perlawanan dalam pengertian di atas.

Selanjutnya ketika kaum Musyrikin melakukan penentangan dengan perang, maka Nabi pun diperintahkan untuk melawan mereka dengan perang.

Perintah ini disampaikan pertama dalam al-Baqarah, 2: 190 yang merupakan surah madaniyyah ke-1 (madaniyyah permulaan) dan turun pada tahun pertama sampai kedua hijrah.

Perkembangan kebijakan kreatif dalam perjuangan dengan jihad menempati urutan ketiga di atas tidak terlepas dari tujuan Islam yang harus diperjuangkan untuk diwujudkan dalam kenyataan.

Tujuan Islam ditegaskan dalam al-Anbiya, 21: 107 dengan penyebutannya sebagai risalah Rahmatan (rahmah) lil ‘Alamin, agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.  

Rahmah ialah riiqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, perasaan lembut (cinta)  yang mendorong untuk memberikan kebaikan  nyata kepada yang dikasihi. Berdasarkan pengertian rahmah ini maka Islam diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad untuk  mewujudkan kebaikan nyata bagi seluruh makhluk Allah.

Kebaikan nyata dalam pengertian yang paling luas adalah hidup baik yang dalam  an-Nahl, 16: 97 disebut hayah thayyibah dan hanya dapat diwujudkan dengan amal saleh dan menjadi orang beriman (mukmin). 

Baca Juga  Bagaimana Jika Teori Logosentrisme Diterapkan dalam Al-Qur’an?

Dalam tafsir sabahat, hayah thayyibah meliputi 3 kriteria: rejeki halal (Ibn Abbas dalam satu riwayat), qana’ah/kepuasan (Ali bin Abi Thalib), dan kebahagiaan (Ibn Abbas dalam riwayat yang lain).

Tafsir sahabat ini sejalan dengan perolehan iman dan amal shaleh yang  disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 62 dan menjadi kriteria hayah thayyibah yang diajarkan Al-Qur’an:

  1. lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya/ ar-rafahiyyah kulluha);
  2. wa la khaufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya/as-salamu kulluha); dan
  3. wa la hum yahzanun (bahagia sebahagia-bahagianya/as-sa’adatu kulluha) di dunia dan di akhirat.

Pengertian Jihad

Sesuai dengan kenyataannya sebagai kebijakan dalam perjuangan mewujudkan tujuan Islam Risalah Rahmatan lil ‘Alamin, jihad memiliki pengertian: “perlawanan dalam rangka perjuangan mencapai tujuan Islam mewujudkan hidup baik dengan ukuran sejahtera sesejahtera-sejahteranya, damai sedamai-damainya, dan bahagia sebahagia-bahagianya bagi semua di dunia dan akhirat.”

Pengertian jihad demikian ditunjukkan oleh hadis Nabi yang membicarakan jihad yang paling utama berupa haji mabrur dan “mengingatkan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.” Haji mabrur sebagai jihad yang paling utama ditegaskan dalam hadis:

Diriwayatkan dari “Aisyah Ummil Mukminin RA. Dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasullah, kami (kaum perempuan) melihat bahwa jihad merupakan amal yang paling utama. Apakah kami boleh berjihad (ikut berperang)? Nabi menjawab, Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur” (HR Imam Bukhari).

Alasan kepalingutamaan haji marbur sebagai jihad terdapat dalam hadis:

Diriwayatkan dari Jabir RA. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.” Para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, apa kebajikan haji mabrur?” Nabi menjawab, “Memberi makan mereka yang kelaparan dan menebarkan perdamaian”. (HR Ahmad)

Adapun kepalingutamaan “mengingatkan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng” ditegaskan dalam hadis:

Diriwayatkan dari Abu Umamah bahwa ada orang bertanya kepada Nabi SAW, “Jihad apakah yang paling utama?” Ketika itu Nabi sedang melempar Jumrah Pertama, sehingga beliau tidak menjawabnya. Orang itu bertanya lagi ketika Nabi sedang melempar Jumrah Tengah, beliau pun tidak menjawabnya. Setelah selesai melempar Jumrah ‘Aqabah dan meletakkan kaki di sanggurdi kulit (pijakan kaki yang menggantung di pelana hewan kendaraan), beliau bertanya, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Orang tersebut menjawab, “Ini saya, ya Rasul.” Rasulullah menjawab, “Seutama-utama jihad adalah mengingatkan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.”

Baca Juga  Makna Kalimat Tauhid Laa Ilaaha Illallah
***

Untuk dapat melaksanakan dan memperoleh haji mabrur, orang jelas harus melakukan perjuangan dan perlawanan. Dia harus berjuang dan melawan dirinya sendiri dan orang lain untuk bekerja, menabung, melaksanakan haji dengan khusyu’, menempuh perjalanan berangkat-pulang dengan selamat; mewujudkan kemabruran haji dengan itham ath-tha’am: menghilangkan kelaparan dan kemiskinan; dan mewujudkan kemabruran haji dengan ifsya’ as-salam: membangun budaya damai dan menyelesaikan konflik di masyarakat yang dapat membuat nyawanya melayang.

Begitu juga untuk “mengingatkan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng”, orang harus berjuang dan melawan dirinya sendiri dan orang lain untuk dapat bertemu, menyampaikan kebenaran dan menerima resiko ketika sang penguasa tidak dapat menerima peringatannya.

Dengan demikian jelas bahwa dalam haji mabrur dan “mengingatkan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng” ada perjuangan dan perlawanan untuk merwujudkan hidup baik yang menjadi tujuan risalah Islam dengan 3 kriteria di atas. Karena itu jihad tidak dapat menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Jihad tanpa fungsi mewujudkan hidup baik bukan jihad yang benar.

Penutup

Dari uraian singkat ini jelas bahwa jihad dan perang masing-masing menjadi kebijakan dalam rangka mewujudkan tujuan risalah Islam yang dilaksanakan Nabi sesuai tantangan yang dihadapi. Jadi jihad tidak identik dengan perang.

Ketidakiedentikan antara keduanya ditegaskan oleh Nabi sendiri sebagaimana yang dapat dibaca dalam hadis riwayat Aisyah di atas. Karena itu definisi jihad yang dikemukakan para ahli fikih dan populer di kalangan umat tidak sesuai dengan nash dan pelaksanaannya dalam sejarah di zaman Nabi, kecuali jika batasan “perang” di dalamnya dipahami sebagai “perang lembut” yang identik dengan perlawanan.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Editor: Yahya FR

28 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds