Review

Memahami Nasionalisme di Kalangan Perempuan Bercadar

2 Mins read

Fenomena aksi terorisme dengan mengkambinghitamkan wajah Islam di dunia dipengaruhi oleh kalangan perempuan yang menjadi istri para teroris yang mengenakan cadar. Sehingga hal tersebut menjadikan para perempuan bercadar atau niqab disimbolkan sebagai perempuan teroris, tidak memiliki nasionalisme, dan semacamnya.

Dalam penelitian Ruhayani Dzuhayatin yang berjudul Islamism and Nationalism Among Niqabis Women in Egypt and Indonesia yang diterbitkan melalui Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, dia mencoba melihat fenomena perempuan cadar yang selalu dikaitkan dengan perkembangan terorisme. apalagi ISIS yang sejauh ini selalu jadi perbicangan serius di tiap-tiap negara.

Melalui penelitian tersebut, ia memaparkan fenomena perempuan yang memakai niqab dengan responden perempuan Indonesia dan Mesir mempertanyakan bagaimana cara pandang Islam dan cara mereka menjadi warga negara yang memiliki rasa nasionalisme atas tempat tinggal yang selama ini menjadi tanah kelahirannya.

Kesalahpahaman Pada Perempuan Bercadar

Penelitian dibantu dengan melibatkan 205 perempuan bercadar dari Indonesia dan 87 perempuan bercadar dari Mesir. Data kuantitatif diperoleh dari 292 responden, sedangkan data kualitatif dikumpulkan dari 27 niqabis menggunakan wawancara mendalam enam orang Mesir dan 21 orang Indonesia. Sebanyak 12 tokoh di Mesir dan Indonesia diwawancarai dan dua diskusi kelompok terfokus dilakukan di kedua negara yang melibatkan aktivis perempuan, akademisi, pegawai pemerintah, dan pemuka agama.

Berdasarkan penelitian tersebut, ada beberapa hal yang disampaikan oleh Ruhaini. Berbagai pandangan pakaian seperti cadar, selama ini menjadi legitimasi para feminis seperti Fatimah Mernissi yang mengonstruksi bahwa pakaian semacam itu membelenggu perempuan dalam segala aktivitas yang dilakukan.

Cadar kain hitam sebagai penutup wajah yang selama ini dipakai perempuan untuk melindungi dirinya, kini menjadi simbol yang menakutkan bagi kalangan orang. Apalagi perempuan bercadar kerap disebut sebagai para penganut aliran terorisme, golongan fanatik terhadap agama, serta simbol negatif lainnya. Penelitian yang melihat perbedaan dua negara yang sama-sama memiliki mayoritas penduduk Islam, nyatanya tidak jauh berbeda dengan hasil penelitiannya.

Baca Juga  Macron Tidak Memusuhi Islam, tapi "Islam Radikal" di Prancis

Tidak heran, berbagai perilaku kurang baik diterima oleh para perempuan bercadar. Mereka kerap diolok-olok dengan kata kasar, dilempari barang, ataupun perilaku kurang etis lainnya dikarenakan menganggap cadar erat dengan radikalisme. Bahkan, para perempuan bercadar Indonesia yang baru mengenakannya dalam rentang usia 16-21, mendapati berbagai penolakan dari pihak keluarga. Keluarga biasa menyarankan untuk membuka cadar apabila pulang ke rumah atau kampung halaman.

Pandangan Perempuan Bercadar Terhadap Nasionalisme

Berdasarkan hal tersebut, masyarakat kita masih menganggap cadar sebagai simbol terorisme, fanatik agama, serta simbol kekerasan agama lainnya.  Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa pandangan tentang nasionalisme yang diukur dari kebanggaan kewarganegaraan dan aspirasi sistem kekhalifahan berbeda-beda. Sistem kekhalifahan, sebagai inti perjuangan politik kaum Islamis, hanya menerima 52% di Indonesia dan 59% di Mesir, yang lebih rendah dari perkiraan umum bahwa mereka kelompok akan mendapat skor tertinggi.

Derajat nasionalisme yang diukur dengan kebanggaan warga negara menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hanya 20% orang Indonesia, dan 3% orang Mesir, perempuan bercadar mengungkapkan ketidakpuasan mereka dan menyatakan bahwa mereka tidak bangga menjadi warga negara mereka. Artinya, 80% hingga 97% dari mereka masih memegang teguh nasionalisme, meski aspirasi mereka untuk mengadopsi sistem kekhalifahan, yang sedikit di atas 50%.

Selanjutnya respons terhadap pemerintahan yang diukur dari penerimaan pemerintahan dan sistem ekonomi yang ada terfragmentasi. Penerimaannya sekitar 60-73% terhadap pemerintahan yang ada. Berbeda dengan yang memandangnya sebagai thaghut atau tidak sesuai dengan prinsip politik Islam, 37% di Mesir dan 40% di Indonesia.

Sistem ekonomi yang diukur dari bunga bank memberikan respons tertinggi yaitu 87% di Indonesia dan 79% di Mesir. Keberatan mendesak kekerasan atas nama agama untuk tujuan politik sangat tinggi di kelompok ini di kedua negara, yang merupakan indikasi kuat untuk tidak mau mengaitkan diri dengan terorisme.

Baca Juga  Perbedaan Kebijakan Penanggulangan Terorisme ala SBY dan Jokowi

***

Sudah seharusnya, kita kembali pada titik tolak ajaran Islam untuk memuliakan manusia seperti apa pun penampilan yang dipilihnya. Mindset tokenism perlu dikonstruksi kembali dalam benak kita dengan tidak mengedepankan ego, apalagi perilaku Islamofobia yang menjadi virus dalam diri sehingga menyebabkan diri menuduh tanpa dasar yang benar atas mereka.

Nyatanya, kita tidak benar-benar tahu isi hati seseorang, apalagi pada mereka yang sedang mengenakan cadar untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Editor: Shidqi Mukhtasor

Muallifah
7 posts

About author
Mahasiswi Universitas Gadjah Mada
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds