Mungkin hanya Indonesia saja satu-satunya negara yang secara terang-terangan menyatakan berdamai dengan Covid-19 sampai saat ini, ketika hampir seluruh negara di dunia masih menyatakan berperang melawan virus ini.
Berdamai dengan Covid-19
Indonesia ngajak damai virus, eh banyak yang protes, tapi tunggu dulu, jangan emosi, saya punya penjelasannya. Perlu digarisbawahi bahwa respons negara-negara di dunia pun berbeda untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 ini. Setidaknya, secara garis besar ada dua cara penanganan yang dilakukan negara-negara di dunia menghadapi pandemi ini:
Pertama, negara yang terkena paling awal dan dianggap sebagai sumber virus ini berasal, Tiongkok. Negara ini menerapkan karantina (lockdown) untuk mencegah penyebaran virus. Kota Wuhan yang dianggap sebagai pusat penyebaran dikunci. Penduduk dan kegiatan keluar-masuknya barang diperketat kecuali hal-hal dasar seperti makanan dan obat-obatan.
Cara kedua adalah yang dilakukan oleh Korea Selatan. Berbeda dengan Tiongkok, Korea Selatan tidak melakukan karantina. Kegiatan masyarakat dibiarkan seperti biasa dengan memenuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, cuci tangan dan menjaga jarak fisik. Negara asal Siwon Super Junior ini mengandalkan tes masal di berbagai tempat. Tujuan tes ini yaitu untuk memetakan daerah terdampak dan jika ada yang positif maka akan ditangani lebih lanjut.
Karantina oleh Tiongkok dan tes masal oleh Korea Selatan sering dijadikan contoh negara-negara lain untuk mengendalikan virus ini. Bagaimana dengan negara ini? Saya melihat Indonesia mencoba menerapkan karantina halus (soft lockdown) yang disebut dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan melakukan tes masal.
Meskipun efektifivitas dari PSBB dan tes masal ini baru terlihat sedikit, sekonyong-konyong negara mengumumkan berdamai dengan Covid-19. Ibarat baru mulai pertandingan tinju kemudian wasit memukul lonceng dan memutuskan duel ini selesai. Sontak masyarakat yang peduli kesehatan dan sebagian netizen +62 bingung bukan kepalang.
Sikap Tiongkok dan Korea Selatan
Sebentar, sebelum bereaksi lebih lanjut coba kita telaah dua pencegahan yang dilakukan Tiongkok dan Korea Selatan. Tahukah Anda bahwa jawaban karantina dan tes masal itu semua berdasarkan pendekatan sains modern? Ya, sains yang diagung-agungkan dapat menjawab semua permasalahan manusia. Saya sendiri bukan anti sains. Tidak seperti itu. Saya juga bukan buzzerRp yang menulis ini untuk membela Presiden. Bukan, bukan itu.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa fakta dan sains adalah dua hal yang berbeda. Fakta adalah kejadian apa adanya. Belum ada penjelasan tentang sebuah fenomena. Seperti kita mengambil sebuah objek dengan kamera. Cekrek. Jadilah sebuah foto.
Sedangkan penjelasan manusia terhadap fakta itu disebut dengan sains. Ya, sains adalah penafsiran manusia atas sebuah fakta. Jika fakta bebas nilai karena dia tidak punya kepentingan, maka sains sebaliknya. Tafsir manusia ini tidaklah bebas nilai alias memiliki kepentingan. Ibarat foto hasil tangkapan kamera tadi diberi caption, maka posisi sains sama dengan caption itu.
Hal ini untuk menjawab mengapa terjadi perbedaan sikap dua negara tadi dalam menangani covid19. Meskipun semua merujuk kepada para ilmuwan modern, tetapi jawaban mereka berbeda dan tidak satu suara. Sekali lagi karena sains adalah tafsir para saintis terhadap sebuah fenomena. Karena mereka juga manusia maka lumrah sekali ada perbedaan penafsiran di antara mereka. Meskipun objek kajiannya sama yaitu Covid19.
Saya menyarankan sebaiknya kita tidak perlu berharap banyak dengan sains. Loh, kenapa? Ya, karena sains bukanlah satu-satunya kebenaran. Benar bahwa sains dapat membantu menjelaskan dan menjawab fenomena alam. Tapi sains belum tentu bisa menyelesaikan seluruh masalah alam semesta. Sekali lagi, saya bukanlah anti sains tetapi saya menganggap sains adalah salah satu jalan saja. Bukan jalan satu-satunya.
Kearifan Lokal
Ajakan berdamai menurut saya merupakan pengejawantahan dari kearifan lokal khas bangsa Indonesia. Sedari awal pandemi ini saya meyakini kearifkan lokal bisa menjadi solusi. Konsep ini menempatkan manusia yang merupakan bagian dari alam harus berbagi dengan makhluk alam lainnya. Hidup berdampingan tanpa harus mengusik antara satu dengan yang lain.
Ada beberapa contoh mengenai kearifan lokal berdampingan dengan alam ini. Sebut saja masyarakat Aceh Simeulue yang memiliki kode unik dalam bentuk syair yang disebut Smong untuk menghindari tsunami. Karena mereka tinggal di pesisir dengan potensi tsunami maka mereka beradaptasi dan berbagi dengan alam. Mereka tidak pindah (lari) dan juga tidak membuat giant wall (memerangi) untuk menahan tsunami.
Sehingga ketika tsunami datang, syair Smong menjadi kode antar masyarakat untuk berlari ke tempat yang lebih tinggi. Walhasil ketika tsunami Aceh tahun 2004 lalu korban masyarakat Simeulue lebih sedikit dibandingkan daerah lainnya.
Contoh lain adalah mitigasi tanah bergerak (likuifasi) di Palu. Sebelum kejadian gempa dan likuifasi, masyarakat setempat memiliki istilah Nalodo yang artinya amblas dihisap lumpur. Daerah yang menjadi bagian sesar Palu ditandai dengan menyebutnya Nalodo. Sebelum pembangunan Infrastuktur merangsek ke seluruh penjuru Indonesia, daerah Nalodo sepi dari bangunan fisik.
Masyarakat Palu memilih hidup berdampingan dengan resiko tanah bergerak tanpa membuat cor-coran atau beton untuk menghalangi itu. Tetapi belakangan daerah Nalodo dibangun berbagai macam bangunan bahkan perumahan. Sehingga ketika gempa dan likuifikasi Palu korban menjadi tidak terelakkan.
Cerita Pencegahan Wabah
Ada lagi cerita mengenai pencegahan wabah pada akhir abad ke-19 di Batubara, Sumatera. Penyakit yang belum diketahui ini menular secara cepat dan belum diketahui obatnya. Dalam rangka mencegah masuknya penyakit ini, masyarakat menemui Syaikh Muhammad Zain Batubara untuk meminta arahan.
Syaikh Muhammad Zain memberikan wirid dalam bentuk amalan dan mengajak penduduk tidak keluar masuk kampung. Akhirnya sebagaimana dilaporkan Ahmad Fauzi Ilyas, penulis biografi Syaikh Muhammad Zain Batubara, bahwa kampung itu tidak terdampak sama sekali dengan wabah.
Yang menarik adalah biasanya ketika kearifan lokal tadi ketika bertemu dengan sains modern, maka kearifan lokal suka dianggap hal yang aneh. Bahkan tidak sedikit yang menamakannya mitos dan takhayul yang tidak masuk akal, tanpa melakukan penelitian yang lebih mendalam. Padahal, kearifan lokal tadi merupakan warisan bagaimana manusia dahulu berdampingan selaras dengan alam.
Jadi, jika dilihat bangsa ini sebenarnya sudah punya banyak sejarah berdamai dengan alam. Jauh sebelum sains modern menjadi rujukan utama saat ini. Alih-alih berperang, tidak ada salahnya kita memilih opsi kearifan lokal hidup berdampingan dengan virus ini. Tanpa harus mengganggu satu dan lainnya dengan mematuhi protokol kesehatan untuk beberapa waktu ke depan sampai ditemukannya vaksin yang sudah teruji. Wallahu a’lam.
Editor: Nabhan