Efek multidimensi yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 ini menjadikan kita melihat dampaknya secara lebih luas. Tak hanya sisi medis yang jadi bulan-bulanan, isu ekonomi hingga ketahanan pangan juga jadi sorotan. International Labour Organization (ILO) menyebut situasi saat ini merupakan krisis global terparah sejak perang dunia kedua. Kondisi tersebut menyadarkan kita bahwa kesadaran kolektif untuk bergerak dan berkontribusi nyata dalam aspek ketahanan pangan dan memasifkan lumbung pangan sangat dibutuhkan.
Ancaman Krisis Pangan
Gerakan akar rumput dari ragam golongan secara masif mulai melakukan penggalangan dana hingga membentuk dapur umum. Upaya ini dilakukan demi menopang kebutuhan logistik pekerja harian yang paling rentan terdampak ekonomi di masa pandemi ini. Bahkan Lembaga Amal Zakat Muhammadiyah (Lazismu) telah menjadikan isu ketahanan pangan sebagai diskursus utama menyikapi masa pandemi.
Menilik ke belakang, isu ketahanan pangan dalam sejarahnya telah menjadi pemicu berbagai pergolakan dan revolusi negara-negara di dunia. Akhir orde baru, legitimasi pemerintahan Presiden Suharto menurun drastis akibat tak terkendalinya harga pangan sehingga turut mendorong reformasi.
Padahal, orde baru adalah era dimana komoditi pangan begitu digaungkan. Gejolak revolusi yang terjadi di Mesir dan Tunisia satu dekade silam juga tak lepas dari faktor tidak terpenuhinya hajat masyarakat tentang kebutuhan pangan.
Kini bukan tanpa alasan, isu pangan adalah efek samping pandemi yang paling mengkhawatirkan dalam jangka panjang. Presiden Jokowi telah meneruskan peringatan dari Food Agriculture Organization (FAO) bahwa pandemi ini dalam jangka panjang bisa menyebabkan krisis pangan.
Selain itu, dalam laporan yang juga dirilis ILO, sektor akomodasi dan layanan makanan adalah salah satu yang paling berisiko krisis paling tinggi.  Tentu salah satu faktor yang mendorongnya yakni  permasalahan distribusi bahan pangan antar negara yang terhambat akibat kebijakan pembatasan mobilitas dari masing-masing negara.
Tak ada yang bisa memprediksi secara pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Bahkan badan kesehatan dunia WHO kembali mengingatkan kepada seluruh negara bahwa pandemi ini memiliki potensi untuk berlangsung dalam jangka yang lama. Tentu, durasi terjadinya pandemi ini sangat mempengaruhi kondisi rantai pasok pangan global.
Asumsi Skenario Terburuk
Secara sederhana, jika pasokan impor terhambat maka suplai bahan makanan berkurang, sedangkan permintaan masih terus tinggi. Hal ini dapat memicu kenaikan harga bahan pangan jika pemerintah belum menyiapkan paket kebijakan khusus dalam situasi krisis ini. Di saat yang sama, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada (13/4) lalu merilis data bahwa ada 1,65 juta warga ter-PHK akibat tekanan di sektor bisnis semasa pandemi.
Jika kita asumsikan skenario terburuk pandemi masih berlangsung hingga penghunjung 2020 ini, masyarakat yang menggantungkan diri pada cadangan tabungan akan terdesak untuk memenuhi kebutuhan pangan. Di Venezuela, pandemi ini telah mendorong meningkatnya krisis pangan yang berujung pada aksi penjarahan, meski terdapat pra kondisi berupa krisis ekonomi dan politik yang telah mendera negara tersebut beberapa tahun terakhir. Tentu kita berharap tidak terjadi kasus serupa di Indonesia.
Jika kita perhatikan, saat ini fokus gerakan swadaya masyarakat untuk menopang kebutuhan pangan kelompok ekonomi rentan masih berkutat pada produk panganan siap saji dan sembako. Dalam jangka pendek pola ini masih bisa memberikan dampak berarti, namun jika pandemi masih bertahan dalam jangka waktu lama dan stabilitas ekonomi nasional semakin terganggu, maka diperlukan skema alternatif bagi gerakan ini.
Salah satu potensi alternatif yang bisa dimanfaatkan untuk menopang kebutuhan pangan adalah gerakan berbagi bibit tanaman penghasil pangan. Hal ini dapat berdampak besar jika dilakukan dalam skala yang luas dan bisa dijadikan solusi terciptanya lumbung pangan keluarga.
Beruntungnya, menurut pantauan BMKG tahun 2020 ini musim hujan akan terjadi dalam jangka waktu yang lebih panjang. Menurut rilis prakiraan BMKG, musim kemarau akan terlambat masuk di 43% wilayah Indonesia.
Memasifkan Lumbung Pangan
Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, menanam bisa menjadi langkah pasti menopang stok pangan skala rumahan bahkan sebagai lumbung pangan bagi para keluarga. Cukup banyak jenis sayuran yang dapat panen dalam jangka waktu 1-2 bulan saja. Stok tanaman penghasil sumber karbohidrat bagi tubuh juga bisa didapatkan melalui umbi-umbian yang dapat dipanen dalam jangka waktu 3 bulan. Tentu masih banyak jenis lain yang bisa dieksplorasi lagi dan dianalisis kesusuaiannya dengan lahan tanam masing-masing.
Bagi penduduk kawasan pedesaan tentu lahan bukan menjadi masalah. Sedangkan bagi yang tinggal di perkotaan kini telah muncul berbagai skema urban farming yang sangat mungkin diterapkan meski lahan terbatas. Dua pilihan ini menjadi jalan memasifkan lumbung pangan.
Organisasi pangan dunia FAO bahkan merilis data yang menunjukkan bahwa hasil urban farming telah menyuplai makanan ke 12% populasi dunia. Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai metode bercocok tanam, bahkan yang sering dianggap tidak efektif, telah memberikan dampak signifikan jika dimaksimalkan dengan cara yang tepat.
Belakangan telah muncul beberapa gerakan untuk mendorong masyarakat menopang sebagian kebutuhan pangannya melalui metode berkebun. Di Jogja misalnya, ada Muhammad Abduh Zulfikar yang telah membagikan 100 ribu bibit sayuran dengan Gerakan Keamanan Pangan (GKP) yang diinisiasinya.
Cerita lain datang dari Sigit Kusumawijaya. Dalam beberapa tahun ini dirinya telah menyebarkan virus menanam sayuran di halaman rumah dengan gerakan Indonesia Berkebun yang jejaringnya sudah lebih dari 40 titik kawasan Indonesia. Kini yang kita butuhkan adalah motor-motor penggerak lain seperti Zulfikar dan Sigit di berbagai daerah untuk menciptakan gerakan dengan skala yang lebih masif.
Memanfaatkan Waktu untuk Berbenah
Selanjutnya, gerakan kolektif masyarakat peduli pemenuhan pangan yang muncul saat pandemi akan menarik jika dapat dimodifikasi arah fokusnya. Beralih pada hal-hal produktif yang berkelanjutan bagi masyarakat luas melalui berbagi bibit tanaman dan menciptakan lumbung pangan keluarga.
Tentu tak berhenti di gerakan berbagi, namun disertai edukasi kiat berkebun skala rumahan dengan berbagai medium yang bisa digunakan.
Krisis pangan adalah ancaman serius pada setiap kondisi resesi global seperti saat ini, hal itu juga sering disertai social unrest berupa penjarahan hingga maraknya tindak kriminal. Keterdesakan akan pangan pula lah yang bisa membuat manusia melalukan tindakan irasional.
Kemungkinan terburuk tentu bukanlah hal yang kita harapkan. Masih ada waktu berbenah, dan bukan tak mungkin memasifkan gerakan lumbung pangan keluarga inilah jalan yang bisa kita tempuh bersama.
Artikel ini hasil kolaborasi Muhammad Ghufron Mustaqim (Alumnus Madrasah Muallimin 2009) dan Hammam Izzuddin (Alumnus Madrasah Muallimin 2017)
Editor: Nabhan