Warga negara milenial punya kekuatan super yang tidak dimiliki oleh ras manusia sebelumnya: membaca secepat jet tempur Amerika Serikat. Karena itu, tulisan ini hanya disajikan untuk para pasukan milenial, bukan generasi old yang keras kepala dan lambat. Sebab hanya milenial yang bersedia dan mampu membaca Cak Nur dalam 120 detik.
Di tahun ini, 2019, Nurcholis Madjid Society (NMS) menerbitkan “Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan,” setebal 5031 halaman.
Di dalam buku tebal itu, berisi kumpulan tulisan karya Nurcholish Majdid (Cak Nur) yang menceritakan mengenai pentingnya “sekularisme religius.”
Membaca Cak Nur dalam 120 Detik
Sekularisme berakar pada gerakan reformasi gereja di Eropa. Dari sejarah tersebut, kita lantas mengenal Protestanisme dan Calvinisme. Reformasi yang dimaksud, menentang otoritarianisme kekuasaan berwajah agama. Karena itu, sistem politik yang berlaku harus menegaskan bahwa kekuasaan politik tidak boleh memperalat agama.
Pada 1648, disepakati adanya “Perjanjian Westphalia.” Di antara negara-negara Eropa Barat, menuntut berdirinya negara berbasis agama. Kendati demikian, di saat yang sama, tuntutan mereka harus berhadapan dengan gerakan pembebasan yang dipicu oleh persekusi terhadap kelompok keagamaan minoritas. Sekali lagi, sekularisme menjadi tuntutan.
Pada 1776, terjadi “Revolusi Amerika.” Intisari tuntutan revolusi saat itu adalah mendelegitimasi negara agama atas nama kebebasan beragama. Empat belas tahun kemudian (1789), terjadi “Revolusi Prancis.” Cita-cita yang ingin diwujudkan dari adanya revolusi ini adalah, negara harus bebas dari agama (laicite). Tuntutan ini mirip seperti halnya yang terjadi di Turki (1920an) dan Iran (1950an).
Revolusi Prancis menimbulkan gerakan sosialisme, terutama Marxism-Leninism yang membenarkan untuk mensupresi atau menindas dan meminggirkan agama. Sementara itu, Turki modern yang berdiri pada 1923, menerapkan modernisasi dengan pengertian mengontrol dan menggunakan Islam (menjadikan sebagai instrumen politik). Bukan seperti penghancuran agama sebagaimana halnya yang dilakukan oleh rezim komunis.
Kebanyakan negara Eropa Barat (Inggris, Denmark, Norwegia dan Finlandia), dalam konteks (revolusi) ini, masih lebih lunak. Mereka tidak mempraktikkan “separasi” sebagaimana Amerika dan juga tidak menghilangkan agama dari ruang publik seperti laicite di Prancis (Soviet juga melakukannya).
Sekularisme ala Cak Nur
Menurut Cak Nur, Pancasila adalah manifestasi dari sekularisasi sistem politik. Terutama, sejak dasar negara tersebut dipandang bukanlah sebagai konsep Islamisme dan bukan pula yang anti agama (anti-faith).
Dengan kata lain, Pancasila itu sendiri secara inheren bersifat Islami–oleh karena konseptualisasinya dan pemahamannya berdasarkan kepada nilai-nilai yang Islami. Secara lebih jauh, Pancasila bukanlah hal yang bersifat “Islamis” atau konsep yang menghendaki adanya negara Islam.
Berkenaan dengan hal ini, secara teologis, Cak Nur berpikir bahwa di dalam Islam, menekankan pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti shūra (kedaulatan rakyat atau konsultasi atau musyawarah), ‘adālah (keadilan), musāwah (kesetaraan), dan ḥurriyyah (kemerdekaan) dan lain sebagainya.
Dengan demikian, menurut perspektif teologis tersebut, Islam mengafirmasi nilai-nilai demokratis. Sementara itu di saat yang sama, ia juga berargumentasi bahwa demokrasi (Pancasila) secara esensial bersifat Islami.
Kesimpulannya, maka, menurut hemat Cak Nur, “Letakkan hal-hal yang bersifat duniawiyah secara duniawi, dan letakkan pelbagai persoalan kegamaan secara religius.” Inilah yang dimaksud dengan sekularisme religius atau sekularisme Islami.
Konsekuensinya, yang diharapkan Cak Nur, sekali lagi, bukanlah mengislamkan negara Indonesia. Tetapi kita memerlukan agensi politik di negeri ini yang ber-akhlak karimah. Lalu mereka menjadi pemimpin negara, birokrat dan aparatur negara yang bermoralitas unggul nan mulia.