Buya Husein: Intelektual Organik
Untuk menghimpun secara utuh pemikiran seorang tokoh, buku bunga rampai tulisan dari berbagai media menjadi alternatif yang menarik. Barangkali pernah termuat di berbagai surat kabar, atau tulisan yang diterbitkan di media online, semua tercecer lama kemudian terlupakan. Proses mengumpulkan tulisan-tulisan menjadi penting, terlebih merupakan buah pemikiran dari intelektual organik sekaliber Buya Husein Muhammad.
Buya Husein dikenal publik sebagai ulama yang aktif mengampanyekan keadilan dan kesetaraan gender. Track record nya dapat dilihat sebagai komisioner komnas perempuan periode 2007-2012, ketua yayasan Fahmina, hingga menerbitkan karya-karya yang bernuansa perjuangan terhadap kesetaraan gender. Seperti Islam Agama Ramah Perempuan, Fiqh Perempuan, Perempuan, Islam dan Negara, Poligami, Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah, dan lain-lain.
Buya Husein sebagai intelektual organik, dalam istilah Antonio Gramsci, merupakan seorang akademisi yang menjadi keilmuan yang mereka miliki dengan penuh kesadaran memilih jalan untuk melawan penindasan terhadap rakyat. Keilmuan yang mereka miliki digunakan pula untuk memecahkan permasalahan sosial di sekitarnya.
Kelompok ini tidak anti terhadap pemerintah, namun tidak segan melakukan kritik tajam terhadap hegemoni kekuasaan. Hal tersebut menunjukkan konsistensi komitmen mereka dalam mempertahankan sikap idealisme dan kritisnya untuk kepentingan khalayak luas.
Membaca Buku Buya Husein
Berangkat dari permasalahan sosial yang di sekitarnya, Buya Husein menulis esai-esainya yang kemudian ia publikasikan melalui ragam media. Di antaranya adalah Facebook dan forum-forum yang relevan. Hal tersebut menjadi cikal bakal lahirnya buku yang saat ini saya review, yakni buku Islam: Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan.
Perlu dipahami, bunga rampai yang kini sudah diterbitkan ini tidaklah menjamin aktual sepenuhnya. Sebab, bisa jadi pengumpulan tulisan hingga layak dijadikan sebuah buku bunga rampai memiliki proses panjang. Sebab tulisan yang ada lahir dalam rentang waktu yang tidak berdekatan.
Secara umum, esai-esai di dalamnya dipetakan menjadi empat sajian utama, yakni sajian mengenai keislaman, kenabian, kesetaraan, serta pencerahan. Namun, saya sendiri menemukan tiga hal yang menarik saat membaca buku ini.
Dampak Puasa Ramadan dan Takbir yang Membebaskan
Buya Husein dalam buku ini mengemas konsep-konsep keislaman dengan bahasa yang sederhana. Misalnya dalam esai berjudul Islam: Kepasrahan dan Ihsan: Keindahan Islam, Buya Husein menjelaskan bahwa berislam dan bersikap ihsan berarti menjamin keselamatan terhadap orang lain, hidup bersama orang lain tanpa membedakan agama, status sosial-ekonomi, serta bersikap adil terhadap hak orang lain dan tidak merusak alam.
Saat review ini ditulis, suara gema takbir bersahut-sahutan. Sudah satu bulan lamanya kita melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Pada buku ini Buya Husein mengingatkan bahwa harapannya setelah Ramadan, manusia diharapkan tampil kembali sebagai pribadi-pribadi yang berguna bagi kemanusiaan.
Perenungan saat Ramadan seyogyanya menyentuh kepada hal-hal di sekitar kita. Seperti kemiskinan, tindakan melukai sesama yang masih marak terjadi, kekerasan terhadap perempuan, keadilan terhadap buruh dan pekerja kasar, keadilan terhadap hak-hak minoritas; perizinan hingga perusakan tempat ibadah. Puasa bagi Buya Husein merupakan momen melatih sensitivitas pikiran, hasrat, dan tindakan agar selalu terkontrol dan terkendali.
Di samping itu, takbir hendaknya jangan dijadikan sebagai simbol identitas yang menakuti kelompok “liyan”, namun mestinya mengandung komitmen terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal Islam.
Takbir pada zaman Nabi begitu ditakuti oleh golongan yang belum satu visi dengan Nabi lantaran memiliki implikasi yang serius; ia berarti seruan untuk mengutuk kepada sistem monopoli perdagangan yang berdampak pada kesenjangan ekonomi, ia juga berarti seruan untuk kesetaraan sosial, pendistribusian harta berlebih kepada golongan yang membutuhkan, ia juga berarti seruan untuk membuka akses pendidikan yang seluas-luasnya. (hlm. 36)
Keniscayaan Pemimpin yang Adil
Terdapat sebuah fragmen menarik dalam buku ini. Hal ini ada kaitannya dalam waktu dekat, timeline media sosial, grup WhatsApp, berita-berita daring akan dipenuhi dengan nuansa pesta demokrasi pemilihan presiden 2024.
Dalam esai Buya Husein yang berjudul Amanat Negara: Menegakkan Keadilan, Buya Husein mengutip sebuah fragmen yang diambil dari buku karya Imam Al-Ghazali.
Buya Husein menjelaskan bahwa pemimpin pada dasarnya merupakan seorang yang memfasilitasi berbagai kepentingan komunitasnya, menjadi pelayan masyarakat.
Buya Husein menceritakan bahwa dalam bukunya At-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk karya Imam Al-Ghazali, sejarah dunia mencatat bangsa Majusi yang menyembah api di Persia pernah menguasai dunia 4.000 tahun lamanya. Di antara rahasianya adalah bangsa itu dipimpin oleh pemimpin yang adil dan orang-orang yang bekerja untuk kesejahteraan bangsanya. Menurut mereka, agama tidak membenarkan kezaliman dan penyimpangan.
Kemudian Buya Husein mengaitkannya dengan zaman kini bahwa kunci kesuksesan suatu negara tidak terletak dari atribut dari suku, agama, bangsa, warna kulit, bahkan jenis kelamin, melainkan sikap adil yang dimiliki serta komitmen untuk menyejahterakan rakyatnya.
Kajian Ulang Makna Istri Sholihah
Rasanya tak lengkap jika membahas buku karya Buya Husein tanpa mengaitkan dengan konsen utamanya dalam hal kesetaraan gender. Setidaknya terdapat dua esai yang menurut saya menarik. Di antaranya esai berjudul Laki-Laki juga Menggoda, serta Istri Shalihah.
Esai pertama ini membahas bagaimana konstruk sosial di mana perempuan selalu menjadi pihak ‘tertuduh’ dan bertanggung jawab atas moral sebuah masyarakat. Perempuan memiliki stereotip yang buruk sebagai penggoda dan meresahkan sosial. Sementara Buya berusaha mengcounter pemahaman mainstream tersebut sehingga berdasarkan sejarah, laki-laki pun bisa jadi menjadi sumber keresahan sosial, sebagaimana kisah Nashr bin Hajjaj.
Sementara esai kedua, Buya Husein seakan hendak menyampaikan bahwa keshalih/shalihan merupakan bagian dari konstruk budaya. Diperlukan pemahaman ulang mengenai makna shalih itu sendiri.
Bagi Buya Husein, istri shalihah tidak harus bekerja terbatas pada wilayah domestik, melainkan bisa juga di ranah publik. Kaum perempuan shalihah memiliki hak untuk membimbing umat dan merumuskan kebijakan-kebijakan politik bersama kaum laki-laki. Sehingga pemahaman ke-shalihah-an tidak terkungkung sebagai kelas kedua, serta ranah domestik saja.
Hal penting lainnya, membahas keshalihahan istri, perlu diimbangi dengan keshalihan suami. Suami shalih, dalam penjelasan Buya Husein, adalah suami yang dapat menyenangkan istrinya sebagaimana istri menyenangkannya, suami yang menjaganya sebagaimana istri menjaganya, suami yang membantunya manakala istri membutuhkan bantuannya, dan sebagainya. (hlm. 242)
Akhir kata, esai-esai yang tersaji di dalamnya tentu mengalami banyak penyuntingan sehingga menjaga aktualitas isi di dalamnya agar relevan dengan pembaca.
Menyelami esai reflektif Buya Husein dalam buku ini sangat direkomendasikan. Ulasan esai disajikan secara ringkas, padat, dengan bahasa yang mudah dipahami, serta progresif menyentuh universalitas makna pembacanya. Wallahu A’lam Bishawab.
Daftar Buku
Judul : Islam: Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan
Penulis : KH. Husein Muhammad
Editor : Munawir Aziz dan Muhammad Ali Fakih
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : 2021
Tebal : 296 halaman
Editor: Soleh