Feature

Membaca untuk Apa?

4 Mins read

Guru di sekolah selalu mengingatkan murid-muridnya agar rajin membaca buku. Jika ditanya “membaca untuk apa?” jawabannya adalah guru ingin menjelajahi dunia bersama murid-muridnya. Menambah pengetahuan, memperluas wawasan lewat membaca buku, sehingga ditanamkanlah slogan “Buku adalah jendela dunia”.

Membaca untuk Apa?

Apakah setelah tamat sekolah, selesai di perguruan tinggi lantas bacaan kita juga sudah tamat? Atau apakah ilmu yang kita dapatkan semenjak sekolah, belajar di bangku kuliah sudah cukup untuk berbagi ilmu dan menjadi pencerah di tengah masalah yang semakin kompleks di masyarakat?

Bagi guru SD, SMP, dan SMA mungkin modal kesarjanaan dan spesialisasi ilmu yang disandang setelah selesai kuliah cukup untuk menjadi pengetahuan kemudian ditransfer kepada murid-muridnya. Itupun sebenarnya di era disrupsi pendidikan saat ini guru dituntut tidak hanya untuk mahir (itu pun kalau mahir) mentransfer ilmu pengetahuan. Melainkan juga harus mampu menanamkan morality education, pendidikan moral kepada murid-muridnya.

Lain lagi ceritanya di bangku perkuliahan. Kalau di sekolah tingkat dasar sampai menengah cenderung pasif, mahasiswa sudah berada pada pola pikir yang berbeda, pikirannya sudah dewasa, mereka sudah mulai berfikir kritis. Namun selain kritis, mahasiswa juga harus banyak membaca buku, ikut kajian, dan sebagainya. Berfikir kritis minus bacaan jadinya kebablasan. Pada tahap ini akalnya lebih dominan dibanding rasanya. Kecuali soal asmara, rasa mendominasi pikirannya, dan mudah baperan. Maklumlah anak muda.

Menghadapi mahasiswa yang pola pikirnya kritis, walaupun mengampuh satu mata kuliah, seorang dosen harus intens mengupdate pengetahuannya. Ya mau tidak mau seorang dosen harus banyak membaca, ia harus lebih banyak menyajikan sumber referensi kepada para mahasiswanya. Kan tidak keren kalau mahasiswanya lebih update pengetahuan ketimbang dosennya.

Baca Juga  Tujuh Jenis Polisi Arab Saudi yang Akan Ditemui Jemaah Haji

Ilmu itu Dinamis

Berapa banyak buku yang kita sudah baca, apakah ilmu yang kita miliki sudah cukup untuk menjawab persoalan hidup yang semakin kompleks saat ini?

Imam Syafi’i yang hanya sampai berumur 54 tahun sudah menuliskan lebih dari 100 buku, itu artinya hari-hari Imam Syafi’i tidak pernah luput dari membaca. Mulai dari kitab fiqhi, tafsir Al-quran, hadits, dan ilmu lainnya. Tidak mungkin menghasilkan karya sebanyak itu tanpa banyak membaca. Bisa dibayangkan setiap harinya Sang Imam membaca beberapa kitab belum lagi menelaah bacaannya.

Prof. Dr. Nadirsyah Hosen yang akrab disapa Gus Nadir, satu-satunya dosen asal Indonesia yang dibajak ke Monash University Australia, beliau tercatat sebagai dosen di Monash Law School, salah satu fakultas hukum terbaik di dunia, dan mengajar Hukum Tata negara Australia, Pengantar Hukum Islam, dan Hukum Asia Tenggara.

Dalam sehari, dirinya mampu mengkhatamkan 4-5 buku. Ia kalau sudah baca buku seakan terputus dengan dunia luar. Sampai-sampai kalau ada sesuatu yang diminta anaknya kepadanya, anaknya akan meminta pada saat Abinya membaca buku, pasti diiyakan.

Ulama sekelas Imam Syafi’i saja masih merasa perlu untuk belajar dan masih menemukan kekurangan pada dirinya begitu pun juga kebanyakan ulama-ulama lainnya. Apalagi kita yang pengetahuan/ilmu kita hanya sejengkal. Apa yang harus kuberikan kepada keluargaku, kepada orang lain jika mereka butuh jawaban, petunjuk atas kehidupan dan persoalan yang mereka hadapi. Apakah akan kukatakan inilah petunjuk yang paling benar sedang pengetahuanku terbatas?

Kita bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi karena membaca. Kita bisa memahami dan mengamalkan madzhab syafi’i, madzhab-madzhab Imam lain, pemikiran ulama-ulama, dan ilmu pengetahuan umum karena membaca. Semuanya karena membaca, namun jangan ada kepuasan atas ilmu yang sudah dimiliki. Itu belum apa-apa, terlebih lagi kalau yang kita baca baru 1-2 pemikiran.

Baca Juga  Novel Rumah Kertas: Buku Lebih Hidup Dibandingkan Manusia

Jika kamu hanya mengandalkan bacaan sejengkalmu, berhenti membaca, sungguh sulit kamu temukan pintu kebahagiaan, kehidupan yang lebih baik dan indah diluar pandanganmu. Kamu mengira dunia seluas tempat tinggalmu padahal ia hanya bagian terkecil dari luasnya bumi yang kita diami ini. Terlebih lagi jika yang kamu baca adalah informasi cacat, tentu bisa menyesatkan.

Ilmu itu tak ada habisnya, seandainya lautan samudra menjadi tinta untuk menuliskan ilmu Tuhan, maka telah habis tinta samudra itu sedang ilmu Tuhan belum selesai ditulis. Ilmu Tuhan begitu luas, ia harus dicari, tak heran kemudian perintah Tuhan yang pertama turun adalah membaca. (QS. Al-‘alaq 1-5).

Menemukan Kebahagiaan

Banyak rahasia Tuhan yang terkandung dalam ilmuNya, makanya orang tidak pernah berhenti mencari dan mencari. Untuk ilmu tidak ada kata puas, ia harus terus dicari dan diusahakan, semakin bertambah pengetahuan seseorang, maka semakin ia menyadari kebodohan dan keterbatasan pada dirinya. Jadi orang yang tidak mau membaca berarti dia sedang membiarkan dirinya tenggelam dalam kebodohan.

Kerap kali orang yang memiliki sedikit ilmu pengetahuan menganggap dirinya paling benar, dan di matanya orang lain selalu terlihat salah. Bisa saja demikian, karena ia menilai orang lain berdasarkan pandangan matanya, akal tidak mampu bekerja dengan baik karena minimnya pengetahuan.

Ada yang membaca, tapi yang dibaca cuman covernya tanpa membuka isinya, link-link yang bertebaran di media sosial misalnya, hampir tidak bisa dibedakan lagi yang mana link resmi dan yang mana link hoax. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kebutaan informasi terhadap suatu hal dan menyebarlah kebohongan dari mulut ke mulut.

Tidak sedikit juga orang karena malas membaca, mereka belajar agama misalnya pada konten-konten ceramah di youtube, untung baik kalau yang dipilih adalah ulama atau ustaz yang mencerahkan dan meneduhkan, bagaimana kalau yang Anda ikuti adalah penceramah atau ustaz yang sejak awal bicara sampai akhir volume bicaranya sekeras loudspeaker dekat telingamu, ia sampaikan agama dengan ajaran yang keras seakan kiamat sudah dekat di depan mata, persoalan agama hanya fokus dipahami pada halal-haramnya sesuatu tanpa kajian yang mendalam, kan ribet. Kita kan belajar agama untuk cari ketenangan batin ko’ malah menegankan sih.

Baca Juga  Resensi Buku: Jejak Intelektual Sjahrir Sang "Bung Kecil"

Membacalah, Saudaraku

Untuk itu, wahai saudaraku membacalah, jangan sia-siakan waktumu, manfaatkan dengan baik untuk membaca rahasia Tuhan. Orang dulu dengan keterbatasan fasilitas bisa  menghasilkan banyak karya itu karena kegigihannya mencari ilmu. Sedang kita yang hidup saat ini dimana fasilitas serba tersedia minim karya atau tidak bisa berbuat apa-apa.

Banyak guru yang bisa kita tempati belajar, banyak ilmu yang perlu dibaca dalam buku. Kalau malas buka buku, lewat gawai juga bisa. Cukup membuka ebook, membaca artikel-artikel para pakar, kiyai, penulis di situs-situs yang tersedia atau menyimak hal-hal penting di WhatsApp.

Pertanyaan untuk apa membaca pun sudah terjawab. Mari kita bersama-sama melaksanakan perintah pertama “membaca” dari Tuhan ini dengan memperbanyak membaca informasi yang Tuhan ragamkan dan sediakan untuk kita. Dengan membaca rahasia Tuhan akan tersingkap dan darinya kita akan mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat.

Wallahu a’lam

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Guru MTs Negeri 1 Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pengurus Ikatan Guru Indonesia Polewali Mandar.
Articles
Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *