Disrupsi ibarat ombak besar menghantam karam setiap kemapanan yang telah ajeg dibangun setelah proses yang cukup panjang, menghabiskan dekade-dekade yang melelahkan dan tanpa disadari paradigma bergeser, nilai terdegradasi, sistem berubah, budaya masyarakat mengalami akulturasi yang amat dahsyat, begitupun sektor-sektor vital dalam masyarakat. Seperti musuh yang tak terlihat, para jawara industri dilumpuhkan tanpa sadar lenyap ditelan zaman dan kemajuannya. Lantas, bagaimanakah nasib pendidikan islam kini dan masa depan?
Melansir laporan dari situs resmi Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia mencatat pada semester ganjil 2019-2020 bahwa sebanyak 9.450.198 siswa di setiap jenjang pendidikan dari seluruh lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Populasi masyarakat Indonesia yang telah menyentuh di angka 273,5 juta jiwa.
Di sisi lain, angka pertumbuhan di masyarakat masih dalam level yang memprihatinkan. Kemana para generasi baru pergi? Sampai dimana gerakan transformasi sosial dari para lulusan pendidikan Islam? Mengapa belum ada aktor revolusioner dari kaum muslimin ‘jebolan’ Lembaga Pendidikan Islam?
Kesenjangan sosial yang semakin curam, kemiskinan yang semakin mencekik populasi masyarakat marginal, kerusakan lingkungan dari musabab eksploitasi alam, keadilan yang tumpul, politik tanpa etik, nihilnya nilai dan spiritual yang kering kita dapati juga pada zaman ini.
Globalisasi yang memudahkan interaksi, begitu pula menjadi pemicu polarisasi. Teknologi memberi kebebasan dalam kebutuhan informasi, tapi tak ubahnya masyarakat kini mengidap penyakit disinformasi. Pengetahuan yang justru mendevaluasi nilai individu pada empu-nya.
Perubahan demikian terjadi juga pada industri, banyak lapangan pekerjaan yang terbuka lebar. Tak sampai disitu saja, teknologi dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan lebih cepat, mudah, dan bebas. Lalu lintas informasi yang semakin cepat dan mudah mempersempit jarak interaksi setiap individu di masyarakat.
Kondisi demikian kemudian juga membuat kita bertanya-tanya tentang pendidikan Islam; “what’s the problem and how to solve it?”
Pendidikan Islam Kini dan Masa Depan
Sekurang-kurangnya terdapat tiga permasalahan utama dalam batang tubuh Pendidikan Islam Indonesia; Pertama, ialah problem kelembagaan baik dari kebijakan sampai procedural masih memiliki berbagai kerancuan dan tidak mengedepankan kebutuhan riil peserta didik. Kedua, konstruk pendidikan yang belum mampu bersaing secara global. Ketiga, epistemologi keilmuan dalam pengembangan kurikulum tidak memiliki integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Permasalahan tersebut memberi dampak yang cukup besar bagi perkembangan pendidikan Islam secara substansial maupun instrumental. Diperlukan perombakan pembaruan pendidikan Islam yang lebih adaptif dan mampu mencetak individu-individu yang transformatif.
Pendidikan Islam kerap kali disematkan pada pembelajaran mengenai segala macam ilmu pengetahuan keagamaan baik dari akidah, fikih, akhlak, qur’an-hadits, sejarah, dan lain-lain. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah karena pendidikan Islam juga menitikberatkan pada ajaran keagamaan. Namun pendidikan Islam tidak sesempit itu, inilah yang membedakan antara Pendidikan Agama Islam dan pendidikan Islam.
Penerjemahan yang paling sederhana bagi pendidikan Islam ialah proses pendewasaan manusia dalam rangka menjalani hidup yang sempurna serta mampu menjadi khalifah fil ‘ard dan memiliki kompetensi sebagai khayru ummah berlandas pada nilai Islam, iman, dan ihsan.
Secara fungsional, pendidikan Islam seharusnya mampu mendorong laju perubahan menuju kemajuan peradaban. Membentuk individu yang totalitas dengan ilmu pengetahuan serta kemuliaan akhlak menjadi peran utama dalam pendidikan Islam bagi masyarakat. Di sisi lain, dasar dari pendidikan Islam tidak boleh melepaskan diri secara parsial antara perkembangan dengan landasannya, yakni; al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua sumber tersebut perlu untuk tetap kukuh sehingga dapat menjadi identitas autentik dari pendidikan Islam.
Kelembagaan dan pengembangan pemikiran pada diskursus pendidikan Islam ditujukan untuk menghasilkan penyelenggaraan pendidikan yang juga mampu membaca pertanda zaman dan mengentaskan segala problematika kemanusiaan di masyarakat luas. Dengan demikian orientasi regenerasi pendidikan ialah melahirkan generasi “The agent of rahmatan lil ‘alamiin”.
Tantangan dan Tugas Intelektual Muslim Abad 21
Berbicara mengenai intelektual, konsepsi yang paling ringkas adalah mereka yang menggunakan akal budi untuk mengkaji, mengembangkan, serta mengamalkan pengetahuannya secara praksis dan kritis pada masyarakat dengan berlandas pada basis analisis dan teoretis yang akurat. Intelektual muslim sebagai “educated-people” secara akademik maupun non-akademik, keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya diabdikan untuk kemajuan masyarakat. Dalam ibarat yang sederhana bagi para intelektual adalah para “khayru-ummah”.
Tantangan intelektual muslim dalam beberapa dasawarsa mendatang menurut hemat saya berporos pada dua orientasi; pertama, regenerasi intelektual muda dengan kemapanan keterampilan dan karakter islami. Kedua, reproduksi wacana dan gerakan transformasi sosial.
Generasi di masa mendatang perlu untuk memiliki keterampilan yang responsif terhadap perubahan serta memiliki adaptabilitas yang baik. Inilah yang disebut keterampilan abad ke-21 “21st Century Skills” salah satu diantaranya gagasan tentang 4C’s; Critical-thinking, Communication, Collaboration, Creativity. Keterampilan tersebut merupakan kompetensi dasar bagi individu untuk mampu terus bertahan berselancar di tengah ombak disrupsi industrialisasi yang begitu cepat berubah yang menuntut inovasi dan memiliki nilai guna yang tepat.
Intelektual muslim memiliki tanggung jawab agar konsentrasi pada diskursus pendidikan Islam yang dituntut untuk menjadi rahim paling sehat dalam mengandung serta melahirkan para intelektual muslim dan pada gilirannya mereproduksi gagasan dan wacana revolusioner menciptakan peradaban yang rahmatan lil ‘alamiin.
Wacana dan khazanah pemikiran islam yang memiliki dimensi transformasi sosial begitu membanjiri diskursus dalam islamic studies. Tetapi perlu diakui bahwa begitu banyak warisan pemikiran islam, begitu pula kuantitas lembaga pendidikan Islam akan tetapi pemikiran pendidikan Islam belum begitu berkembang lantaran para pendidik tidak mempunyai kualifikasi dalam pemikiran, dan pemikir Islam tidak minim konsentrasi yang serius terhadap perkembangan kualitas pendidikan Islam.
Catatan Penutup
Membahas pendidikan Islam tidak sekadar mengurai muatan bahan ajar semata, melainkan pembahas secara luas meliputi orientasi, paradigma, system, budaya, kebijakan, dan metodologi pembelajaran yang selama ini menjadi status quo di berbagai jenjang institusi dan lembaga pendidikan Islam.
Metodologi pendidikan Islam sejauh ini masih tertinggal, tidak hanya dalam pengembangan kurikulum bahkan manajerial sampai evaluasi serta asesmen dalam proses pendidikan Islam belum sampai pada konsep yang integralistik yang berangkat dari nilai ajaran Islam. Pendidikan Islam perlu memiliki anajemen, administrasi, metode, media, dan berbagai instrumen lainnya secara konseptual maupun operasional semestinya memiliki kerangka yang khusus lantaran berangkat dari paradigma pendidkan yang berbeda.
Intelektualitas, humanitas, dan religiusitas peserta didik menuntut akan adanya asesmen yang jelas, kredibel, dan akurat sehingga proses perumusan skema kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, para ‘jebolan’ institusi dan lembaga pendidikan Islam tidak sekadar memiliki keunggulan pada keanggunan moral dan akhlak semata. Lebih dari itu ia mampu bersaing secara global dan membawa perubahan serta kemajuan bagi masyarakat.