Inspiring

Membingkai Ruang Dialog Antaragama ala Hans Kung

3 Mins read

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar dengan penduduknya lebih dari 250 juta jiwa, menduduki peringkat keempat di dunia. Terdiri dari 17.000 pulau, besar dan kecil. Penduduknya sangat heterogen, terdiri lebih dari 200 suku bangsa dan memiliki lebih dari 300 bahasa. Selain beragam suku bangsa dan bahasa, Indonesia juga terdiri dari beragam corak budaya, agama, dan kepercayaan. Diantara agama yang dianut penduduk adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, dan lebih dari 400 kepercayaan lokal (indigenous religion).

Dengan fakta sosiologis seperti itu tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang harmonis dan damai. Sebab meski keberagaman di Indonesia itu di satu sisi memiliki nilai kekayaan tersendiri, tetapi di sisi lain memiliki kelemahan dan kekurangan. Di antara kekurangan itu adalah persinggung terkait keyakinan dan keimanan. Tak jarang di tengah-tengah masyarakat yang beragam, orang-orang atau kelompok tertentu seringkali terjebak pada egoisme keyakinan dan pemikirannya sendiri.

Sehingga selalu menyalahkan orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat dengannya yang berujung pada kekerasan. Terlebih lagi, dalam banyak hal hubungan antar-agama di Indonesia saat ini masih berada pada level toleransi dan belum sampai ke tahap pluralisme (Mulia, 2015). Oleh karena itu, di tengah-tengah keberagaman agama dan keyakinan. Dibutuhkan dialog agama yang yang berkelanjutan dan konstruktif.

Beberapa pengamat agama berkaliber internasional melihat Indonesia sebagai negara yang mampu memelihara hubungan agama yang baik, sehingga seringkali dijadikan sebagai teladan dalam hal kerukunan. Bagi orang yang hidup di Indonesia, pandangan semacam itu bukan hal yang gampang dilakukan begitu saja. Mengingat masih banyaknya kekerasan atau perbedaan pandangan terkait masalah keagamaan. Oleh karena itu, masih relevankah dialog antar agama? Jika ya, bagaimana dialog agama itu harus dilakukan?

Baca Juga  Buya Hamka, Bapak Mufasir Reformis Indonesia: Catatan Yang Hilang Darinya

Membangun Dialog Antaragama

Pada awal tahun 1970-an kesadaran dialog mendapatkan konteks baru, bukan hanya konteks misi agama melainkan lebih kepada konteks modernisasi atau menurut bahasa pemerintah disebut “pembangunan”. Agama-agama di Indonesia tidak hanya berhadapan satu sama lain untuk mendapatkan pengikut baru, melainkan secara bersama-sama harus menghadapi tanggung jawab dalam dunia yang sedang gandung dengan gagasan tentang modernisasi.

Agama sebagai Weltanschauung ditantang untuk membuktikan bahwa dirinya masih aktual. Demikianlah dialog tidak hanya diarahkan untuk menghindari konflik, melainkan juga untuk membicarakan partisipasi agama dalam proses perubahan masyarakat lewat modernisasi. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mukti Ali yang mengatakan bahwa mereka, para partisipan dialog harus bergaul dengan kelompok manusia yang memeluk agama yang lain (Sumartana, 1994).

Namun, dialog dan pertemuan yang dibangun bukan hanya sebentuk formalitas belaka dan tidak hanya sebatas “icons of diversity”. Melainkan harus “instruments of relationship”. Disinilah dialog berarti berbicara sekaligus mendengarkan, yang dalam prosesnya harus bisa mengungkapkan “common understanding”, dimana fakta-fakta perbedaan dapat disikapi dengan cara saling menghargai. Selain itu, dialog juga diharapkan mampu menumbuhkan perubahan pada sikap beragama dari sikap yang eksklusif menjadi inklusif, bahkan sikap agama yang pluralis (Kusuma, 2014).

Oleh karena itu, untuk mewujudkan dialog yang baik dengan kehadiran yang sepenuhnya tulus dan saling menghargai. Hans Kung seorang pastor dan teolog asal Swiss mencoba memberikan konsep terkait dialog antar agama. Dari banyaknya pengalaman dialog antar agama yang selama ini diusahakan muncullah bermacam-macam istilah terkait dialog, seperti dialog iman, dialog hidup, dan kerjasama antar agama (interreligious cooperation).

Tetapi Hans Kung tidak memasukkan istilah baru untuk “dialog”, melainkan menggunakan kata “ekumene” sebagai perbendaharaan kata dalam konteks dialog semua agama dunia dan bukan hanya di kalangan gereja-gereja. Sesuai dengan aspirasinya dalam dialog antar agama, dalam konteks ini Hans Kung secara tidak langsung ingin mengkritik mentalitas gereja-sentris. Berkenaan dengan tujuan dialog.

Baca Juga  Global Forum for Climate Movement: Muhammadiyah's Efforts to Prevent Climate Crisis

Dari Ko-Eksistensi ke Pro-Eksistensi Hans Kung

Oleh sebab itu, Hans Kung mengajukan istilah pro-eksistensi. Sasaran dialog, kata Hans Kung bukan sekedar ko-eksistensi secara damai, tetapi lebih jauh dari itu, yakni pro-eksistensi. Pro-eksistensi yang dimaksud Hans Kung adalah bahwa sasaran dialog harus terlibat dengan melibatkan semua perbedaan otentik. Hans Kung mencoba mengakhiri fase ko-eksistensi dimana toleransi masih menjadi satu-satunya tujuan utama dialog.

Tanpa bermaksud merendahkan toleransi, Hans Kung mencoba melangkah lebih jauh. Menurut Hans Kung, toleransi untuk ber-ko-eksistensi secara damai bukanlah tujuan akhir dari suatu dialog. Era pro-eksistensi harus terus diupayakan sebagai bentuk potensi pengenalan satu sama lain tanpa prasangka, tetapi juga kesempatan untuk mengenal agamanya sendiri secara kritis lewat agama-agama lain. Dan juga untuk mengakhiri dua era sebelumnya, yakni era “perang panas dan perang dingin”. Kini sudah tiba saatnya bagi agama-agama dunia secara bersama-sama mengarahkan dialog untuk menyongsong masa depan.

Maka dalam bentuk yang sangat umum, Hans Kung menunjukkan tiga aspek arah dari setiap dialog antar agama: (Sumartana, 1994)

1. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesame kita, maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh.

2. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah.

3. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama. Meskipun ada perbedaannya dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai.

Demikianlah dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleran, melainkan menghadirkan pengalaman transformatif masing-masing pihak. Selain itu, tujuan dialog tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi, melainkan pro-eksistensi, yakni membiarkan orang lain ada dan juga turut aktif mengadakannya.

Baca Juga  Makna Sebenarnya Diinul Qayyim

Daftar Referensi

Kusuma, M. T. (2014). Ketika Makkah Menjadi Seperti Las Vegas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mulia, M. (2015, Desember 17). Pentingnya Dialog Agama dalam Mewujudkan Persatuan Bangsa. Retrieved from jurnalperempuan.org.

Sumartana. (1994). Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Editor: Soleh

Dimas Sigit Cahyokusumo
20 posts

About author
Alumni Pascasarjana Studi Perdamaian & Resolusi Konflik UGM
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *