Pagi tadi saya berkunjung ke Indomaret untuk keperluan tertentu. Seperti biasanya, saya disambut dengan baik oleh para karyawannya. Mereka semuanya baik, ganteng-ganteng, dan cantik-cantik.
Namun, ada penampakan yang tidak biasanya saya lihat pada mereka. Yakni, tidak ada satupun di antara mereka yang tidak mengenakan masker. Rupa mereka yang (menurut mereka dan belum tentu bagi semua orang) begitu mempesona itu mereka tutupi dengan selembar kain berwarna hijau.
Saya menduga, barangkali hal itu sebagai upaya untuk melindungi wajah mereka dari terpaan debu dan kotoran sehingga kegantengan dan kecantikan mereka bisa tetap terjaga dengan baik, yang tentu saja selain sebagai modal kepercayaan diri juga bisa mempengaruhi kenyamanan para pengunjung.
Namun, ternyata dugaan saya keliru. Mereka melakukan hal itu justru sebagai upaya untuk mematuhi anjuran pemerintah yang mengharuskan bagi siapapun yang hendak ingin keluar rumah agar mengenakan masker.
***
Sementara itu, tidak jauh dari Indomaret yang saya kunjungi tadi, saya juga menemukan kebiasaan yang tidak umumnya kita lakukan selama ini. Terdapat sebuah toko makanan yang mewajibkan bagi para pembelinya untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum hendak memasuki toko.
Bahkan, bagi mereka yang enggan untuk mematuhinya akan diberikan hukuman berupa denda dengan sejumlah uang. Akibatnya, tidak sedikit dari para pembeli yang tampak resah dengan peraturan yang diberlakukan oleh pemilik toko tersebut.
Ya, keanehan-keanehan yang saya temukan tersebut merupakan beberapa contoh dari apa yang kemudian disebut sebagai “New Normal”. Sebuah istilah baru yang digaungkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mencegah meluasnya persebaran virus Corona.
Seperti keharusan untuk memakai masker saat di luar ruangan, rajin mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan bentuk-bentuk new normal yang lainnya yang pada masa pandemi saat ini menjadi penting bagi kita untuk lakukan.
Istilah tersebut pula yang belakangan ini sedang ramai diperbincangkan, baik di dunia maya maupun yang nyata.
Tak heran jika hampir di setiap tempat kita bisa menemukannya dengan mudah. Utamanya di sudut-sudut perkotaan tempat berkumpulnya banyak orang new normal dengan mudahnya bisa kita jumpai di sana.
Entah itu di kafe, taman, sekolah, kantor, pasar, masjid, dan tempat-tempat umum yang lainnya hampir bisa dipastikan semuanya ada new normalnya.
Seperti saat saya melaksanakan shalat Idul Adha di suatu masjid. Di sana saya menemukan sesuatu yang baru. Tentu saja bukan pada tata cara pelaksanaan shalatnya, melainkan pada aturan yang ditetapkan oleh pengurus masjid bagi para jamaah.
Yakni adanya kewajiban bagi setiap jamaah yang ikut melaksanakan shalat Idul Adha untuk mengenakan masker. Selain itu, mereka juga dianjurkan untuk saling menjaga jarak sekalipun dalam keadaan shalat, sehingga kewajiban tentang perlunya merapatkan shaf bagi para jamaah tidak berlaku lagi.
Demikianlah yang terjadi saat ini. New normal merajalela di sana-sini sebagaimana Corona yang masih saja bergentayangan hingga saat ini. Sebuah keadaan yang benar-benar baru bagi kita untuk hadapi.
Pra Corona
Sebelum Corona (pra Corona) untuk keluar rumah kita masih bisa dengan bebasnya memilih tempat mana yang akan kita kunjungi. Kita masih bisa menentukan kafe mana yang akan menjadi tempat tongkrongan kita. Masih bisa dengan bebasnya bercipika-cipiki dengan sahabat yang sudah sangat lama tidak berjumpa dengan kita, dan berbagai deretan kebiasaan lainnya yang pada masa pandemi seperti sekarang ini tidak normal lagi bagi kita untuk lakukan.
Sekarang semuanya sudah berubah secara drastis. Tidak lagi sama dengan yang lalu-lalu. Corona datang merasuki sendi-sendi kehidupan kita. Seolah-olah beserta dengan membawa sebuah kabar duka “wahai sekalian manusia, tidak lama lagi kalian akan bersedih dan meratap sepanjang hari.”
Alih-alih memilih kafe mana yang akan kita jadikan sebagai tempat tongkrongan, untuk mengadakan perkumpulan secara langsung saja kita harus dengan sembunyi-sembunyi. Sebagaimana adanya peraturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang digaungkan oleh pemerintah. Apalagi untuk berpeluk-pelukan dengan para sahabat, jangan mimpi deh.
Saya kemudian teringat dengan guyonan seorang teman. Ia berkata kepada saya “Bro, kalau saya pikir-pikir ya, Corona ini sebenarnya layaknya seorang pemerkosa. Ia menelanjangi watak kita yang tersembunyi selama ini dengan tanpa ampun. Seperti Jumat kemarin, saya tiba-tiba jadi orang yang suka marah-marah. Jiwa kesalehan saya meronta-ronta lantaran kegiatan jumatan saya jadi terbengkalai karena wabah ini.”
Spontan saya terkejut mendengarnya. Bisa-bisanya ia berpikiran sejauh itu. Baru kali ini saya mendengar langsung perkataan sememikat itu dari mulutnya.
Saya kemudian merasa seolah-olah memperoleh sebuah pencerahan, memantik keinginan saya untuk merenungi apa yang dikatakannya itu.
Saya melihat kesadaran yang dimiliki oleh teman saya itu agaknya memang benar adanya. Yang selama ini kita teramat merasa yakin dengan mantap akan kebaikan yang kita miliki. Merasa memiliki iman yang kokoh dalam menghadapi setiap masalah yang ada, namun saat Corona datang menyerang semuanya malah berbicara sebaliknya.
Corona Merugikan atau Menguntungkan?
Kita justru merasa dirugikan dengan kehadiran wabah yang begitu menyebalkan ini, karena membuat seluruh aktivitas sosial dan keagamaan kita terbengkalai sepenuhnya.
Alih-alih berusaha untuk mengintrospeksi diri dan mencoba menggali hikmah apa yang ada di balik wabah ini (demikianlah yang seharusnya kita lakukan jika kita memang mengaku beriman), kita justru malah asyik saling menyalahkan satu sama lain.
Menganggap diri/kelompok sendiri yang paling benar dan yang lainnya salah, padahal sejatinya yang kita ketahui tidak lebih dari sekedar asumsi-asumsi yang sama sekali tak berdasar. Corona memang benar-benar menelanjangi watak kita yang tersembunyi selama ini.
Seperti belakangan pada saat awal-awal kemunculan virus ini, terdapat sebagian di antara kita yang sungguh-sungguh tidak tahu malu. Di mana saat para
medis mengatakan bahwa Corona merupakan jenis virus yang baru dan berasal dari kelelawar, namun dengan bangganya kita malah membantah dengan mengatakan bahwa virus ini sejatinya sebagai azab dari Tuhan bagi kelompok tertentu.
Pun demikian saat kita menyangkal pernyataan para medis yang mengatakan bahwa virus ini sifatnya menular, sehingga siapapun bisa terjangkit olehnya. Namun lagi-lagi kita dengan begitu percaya diri menonjolkan kedunguan dengan menganggap bahwa virus ini kebal bagi mereka yang imannya tinggi. Nau’dzu billah min dzalik.
Tentu saja bukan tanpa alasan para medis tersebut berkata demikian. Mereka sudah melakukan berbagai proses penelitian dan pengujian terkait wabah ini.
***
Lagi pula itu memang sudah tugas mereka, bidang keahlian mereka yang secara akademis sudah mendapat berbagai pengakuan dan kepercayaan dari banyak pihak.
Berbeda dengan kita yang masih sangat awam, alih-alih memiliki landasan teori yang kuat perihal virus Corona, untuk mengerti apa arti dari nama COVID-19 saja barangkali kita tidak mengetahuinya. Apa lagi sampai-sampai menyalahkan para ahli yang secara teori lebih mumpuni dibandingkan dengan kita. Huuufftttt, sadar diri donk.
Sebagai manusia yang berakal, yang dengannya kita bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, pastinya bukan cara bijak bagi kita untuk saling menyalahkan satu sama lain, terlebih dalam kondisi yang demikian mencekiknya seperti sekarang ini.
Perlu juga untuk kita tekankan bahwa Corona tidak seperti dengan jelangkung yang kedatangannya tanpa undangan dari kita, namun sayangnya virus ini tak kunjung minggat juga sebagaimana jelangkung yang pulang dengan tak diantar.
Virus ini hadir ke dalam sela-sela kehidupan kita akibat dari kerakusan kita sendiri. Kita sudah dengan sewenang-wenangnya memperlakukan alam beserta dengan makhluk hidup yang lainnya, mengeksploitasinya dengan sekehendak hati kita tanpa melihat dampak yang akan ditimbulkannya.
Tentu hal ini menjadi pelajaran yang penting bagi kita, bahwa bencana alam sejatinya diciptakan oleh tangan kita sendiri. Banjir, tsunami, gempa bumi, virus, kita sendirilah yang mengundang semuanya.
Mencari Hikmah Corona
Tanpa perlu berlarut-larut dalam penyesalan. Kita harus bangkit bergerak dan berupaya semaksimal mungkin mencari hikmah apa yang ada di balik wabah ini. Karena sejatinya masalah hadir dalam kehidupan kita tidak hanya memerlukan solusi, melainkan juga memberikan pelajaran. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya.
Wabah ini tidak hanya sekedar membuka karakter kita yang selama ini tersembunyi pada diri kita, sebagaimana yang dikatakan oleh teman saya. Lebih dari itu, wabah ini juga mengajarkan kita berbagai hal-hal yang positif.
Semenjak hadirnya virus ini kita jadi lebih banyak berfokus pada upaya untuk menjaga kebersihan. Kita jadi lebih sering cuci tangan, pakai masker saat keluar rumah, dan lebih giat untuk berolahraga sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh kita.
Wabah ini juga akan menyadarkan kita untuk tidak lagi memanfaatkan alam beserta dengan makhluk hidup yang lainnya secara serampangan, serta mulai menjalin hubungan harmonis dengannya. Sehingga dengan demikian alam pun tidak akan melakukan perlawanan terhadap kita.
Selain kita fokus menjaga kesehatan tubuh kita. Dengan rajin cuci tangan, berolahraga, dan pakai masker saat keluar rumah sebagaimana kebiasaan yang saat ini kita lakukan di tengah pandemi Corona saat ini. Kita pun juga akan lebih mencintai alam beserta dengan makhluk hidup yang lainnya berbekal adanya kesadaran yang hadir dalam diri kita tentang pentingnya menjaga alam.
Saya membayangkan sebuah masa depan yang damai, dengan kesadaran yang seperti demikian yang secara kontinyu kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sekalipun Corona sudah minggat (semoga saja). Ke depannya kita akan menjalani kehidupan yang lebih sehat, juga tidak akan pernah lagi bersinggungan dengan alam.
Kita menghargai alam, alam pun akan merespon demikian. Gempa bumi, tsunami, banjir, dan virus-virus yang bahkan lebih ganas lagi dari Corona juga tidak akan pernah lagi menerpa kita.
Sehingga selain alam dan seluruh makhluk hidup yang lainnya sehat, kita pun juga akan ikut merasakan manfaatnya. Inilah kehidupan damai yang sebenarnya, saat manusia dan alam menjalin hubungan yang harmonis.
*****
“Tapi kalau menurut saya sih, saya justru bersyukur dengan kehadiran Corona. Karena selain sebagai pemerkosa seperti yang kamu bilang, ia juga sebagai penasihat yang baik bagi kita.” Kata saya kepada seorang teman tadi sesaat sebelum saya pergi meninggalkannya. Ia hanya terperangah tanpa kata-kata.