Bertahan lama tidaknya suatu bangunan sangat bergantung pada fondasi yang mendasarinya. Apabila bangunan itu ibarat daripada agama, berarti berdirinya agama dalam jiwa seseorang sangat bergantung bagaimana kondisi keimanan seseorang itu, kokoh atau rapuh. Iman adalah basis daripada agama. Iman berarti percaya, membenarkan dengan sepenuh hati, diungkapkan dalam kata, dan diapikasikan dalam realita. Lalu bagaimana hubungan keimanan dengan filsafat?
Filsafat untuk Berpikir dengan Benar
Kita ketahui bahwa kebalikan daripada iman adalah skeptis. Meyakini dengan sepenuh hati bahwa itu adalah benar, merupakan karakteristik beriman. Sementara meragukan segala sesuatu untuk mencapai apa yang dikata benar, merupakan karakteristik skeptis-metodologis. Ya, yang dibangun atas keragu-raguan itu ialah filsafat. Lantas, apakah agama yang basisnya adalah keimanan atau keyakinan sementara filsafat yang basisnya adalah keragu-raguan bisa berjalan bersama, lebih-lebih saling menguatkan dalam hal ini?
Berdasarkan iman, semua ajaran-ajaran agama ditegakkan. Kedudukan iman sangat fundamental dalam agama. Bagaimana tidak, iman adalah fondasi dari agama sebagaimana yang dikemukakan di awal. Iman kepada Allah SWT adalah sebagai dasar pokok ajaran agama Islam dengan demikian. Jika kita tidak mengenal Allah, mana mungkin kita benar-benar beriman kepada Allah. Apakah kita dikatakan sebagai seorang mukmin sejati jikalau terhadap Allah saja kita belum mengenal betul, hanya tahu saja, itu pun sekadar ikut-ikutan apa kata orang?
Filsafat hakikatnya adalah berpikir yang benar. Agama terkhusus Islam sangat mendorong umatnya untuk berpikir. Terdapat kurang lebih seratus ayat dalam al-Qur’ān yang menyerukan umatnya untuk berpikir, di antaranya:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS. Ali Imran (3): 190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran (3): 191)
وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ ۚ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ ۚ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا ۗ وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا ۗ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ
Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku”. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)?” (QS. al-An’am (6): 80)
Dan ayat dalam al-Qur’ān yang turun pertama kali merupakan seruan untuk membaca.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, (QS. al-‘Alaq (96): 1)
Filsafat Bertolak Belakang dengan Keimanan?
Mengingat bagaimana proses diwahyukannya oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira pada saat itu, Malaikat Jibril yang tidak menyibakkan tulisan dan Nabi Muhammad SAW pun yang tidak bisa membaca, maka tidak persis seruan “Bacalah” bermakna membaca sebagaimana membaca buku atau artikel semacam ini, melainkan membaca fenomena yang terjadi pada realitas sekeliling dalam hal itu adalah fenomena sosial pada masyarakat Jahiliyyah. Tidak menutup kemungkinan pula termasuk fenomena alam sebagaimana ayat-ayat yang turun di kemudian hari.
Dengan demikian, bahwa seruan untuk membaca tersebut bisa diasosiasikan sebagaimana seruan untuk berpikir, berefleksi, dan berkontemplasi. Filsafat cirinya adalah sebagaimana ketiga hal tersebut. Dengan itu, berfilsafat sama halnya menjalankan amanatnya al-Qur’ān.
Filsafat yang basisnya bertolak belakang dengan ajaran keimanan, tidak heran menjadikan banyak orang khawatir untuk berfilsafat karena menghantam ajaran keimanan yang menyuruh kita untuk percaya dan yakin tanpa meragukan. Bahkan ada yang menghakimi bahwa filsafat membawa pada kesesatan. Mengapa demikian? Karena mereka kesulitan membedakan filsafat sebagai “yang berpikir” tadi dengan filsafat sebagai hasil dari orang berpikir. Hasil orang berpikir itu bermacam-macam, sebagaimana orang Barat berfilsafat bisa sampai anti terhadap Tuhan. Sebaliknya pun ada, yakni orang yang berfilsafat malah menjadi sangat religius. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd, misalnya.
Memperkokoh Keimanan dengan Filsafat
Manusia, pada dasarnya, kalau dibungkam untuk yakin dan percaya saja itu mustahil. Kalau pun diam, sebenarnya dia bertanya-tanya dalam benaknya. Dalam hal ini, filsafat membantu kita supaya tidak ngawur dalam menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan yang timbul sebab rasa penasaran kita itu tadi.
Iman itu semestinya harus diawali dengan akal. Mengapa? Karena, sebelum kita percaya pada al-Qur’ān dan al-Sunnah bukankah kita harus percaya pada Allah terlebih dahulu? Mengapa kamu percaya Allah? Karena al-Qur’ān menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan kita dan wajib hukumuya kita imani. Mengapa kamu percaya pada al-Qur’ān? Karena al-Qur’ān diturunkan oleh Allah. Tentu akan timbul pertanyaan mengulang “Mengapa kamu percaya pada Allah?”, akan terus berputar-putar dan tidak memberikan penyelesaian.
Islam kita bersumber dari al-Qur’ān, dan al-Qur’ān berasal dari Allah, maka kita tidak boleh tahu Allah dari al-Qur’ān ataupun al-Sunnah yang pada dasarnya pun wahyu Allah, supaya tidak berputar-putar seperti tadi. Oleh karena itu, kita yang mesti percaya kepada Allah sebelum kita menerima al-Qur’ān dan semua ajaran Islam, alat yang tersisa yang kita punya ialah akal.
Mendayagunakan akal sebagaimana mestinya, itulah berfilsafat. Tanpa filsafat, bisa jadi orang berpikirnya berantakan tidak karuan sehingga bukannya memperkokoh keimanan malahan mencederai keimanan itu sendiri sehingga rapuh. Fondasi yang rapuh dari suatu bangunan malahan justru yang membuat bangunan itu mudah runtuh.
Terlebih apabila diserang oleh paham-paham baik paham sekuler yang berkutat di luar Islam maupun paham sesat di dalam Islam itu sendiri, bukan mustahil jikalau bangunan itu akan roboh seketika itu juga. Maka, dengan berfilsafat iman semakin kuat, dan dengan berfilsafat pula Insyaallah kita bebas dari paham yang sesat.
Editor: Nabhan