Ada gerakan pemurnian agama di berbagai agama untuk menemukan agama murni yang diajarkan rasul pembawa atau pendirinya yang telah wafat ribuan tahun lalu. Dalam Islam, gerakan itu tidak hanya dilakukan oleh gerakan pemurnian saja, tapi juga oleh gerakan pembaruan, baik modernisme maupun neo-modernisme.
Karena ketika kemunculannya pada awal abad ke-7 M Islam hadir di tengah agama-agama yang dinilai tidak murni, maka Al-Qur’an pun berbicara tentang memurnikan agama dan agama murni. Pembicaraannya secara langsung terdapat dalam az-Zumar, 39: 2 – 3 yang memuat ungkapan mukhlishan lahud din (sebagai orang yang memurnikan agama) dan ad-dinul khalish (agama yang murni).
Pemahaman berdasarkan munasabah (pertautan) antara kalimat-kalimat dalam masing-masing ayat dan munasabah antara kedua ayat itu dapat memberikan pengertian yang utuh tentang memurnikan agama dan agama murni dalam Islam.
Ad-Dinul Khalish: Agama yang Murni
Pembahasan dimulai dengan ungkapan ad-dinul khalish dalam az-Zumar, 39: 3. Ad-din adalah agama yang ditaati (al-Jurjani, 1971: 56). Adapun al-khalis berasal dari khalash yang berarti bersih dari campuran yang semula ada (al-Ashfahani, t.t.: 155). Al-Ashfahani menyebut campuran dalam pengertian itu dengan syaub yang memiliki pengertian campuran pada sesuatu, termasuk agama, yang membuatnya tidak atau kurang berguna.
Pengertian ini jelas ada dalam istilah ikhlash (ikhlas) yang juga dibentuk dari khalash, yang menjadi syarat spiritual bagi perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan Muslim, seperti ibadah. Apabila ibadah dilakukan dengan tidak ikhlas, maka secara spiritual tidak berguna untuk mendapatkan ridha Allah.
Berdasarkan makna yang dikemukakan al-Ashfahani di atas pengertian ad-din al-khalish adalah agama yang bersih dari campuran yang semula ada padanya. Kemudian jika dihubungkan dengan makna syaub, maka pengertian ungkapan itu menjadi lebih tajam, yaitu agama yang bersih dari campuran yang membuatnya tidak berguna.
Penajaman makna ini secara teologis sesuai dengan ajaran ketuhanan bahwa perbuatan Allah memiliki tujuan. Dan tujuan-Nya dalam mewahyukan Islam adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (al-Anbiya’, 21: 107)
Munasabah dengan Az-Zumar, 39: 2
Pembicaraan az-Zumar, 39: 3 tidak dapat dipisahkan dari ayat sebelumnya yang memerintahkan Nabi untuk mengabdi kepada Allah sebagai mukhlishan lahud din. Mukhlisan adalah kata pelaku dari akhlasha-ikhlash, bentuk transitif dari khalash, berarti “orang yang memurnikan”. Jadi perintah itu berarti perintah kepada beliau supaya mengabdi kepada-Nya sebagai “orang yang memurnikan agama”.
Kemudian az-Zumar, 39: 3 menjelaskan alasan perintah tersebut, “Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni.” Alasan ini menunjukkan bahwa pengabdian dengan tidak memurnikan agama merupakan pengabdian yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya karena dilakukan tanpa menggunakan pedoman agama murni milik-Nya.
Pengertian pengabdian demikian sesuai dengan ungkapan perintah “Maka (karena itu) mengabdilah ……” dalam az-Zumar, 39: 2 sesudah kalimat berita “Sesungguhnya Kami menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan membawa kebenaran.” Hubungan 2 kalimat ini menunjukkan bahwa pengabdian kepada Allah dengan memurnikan agama-Nya itu merupakan perwujudan dari penerimaan al-Kitab sebagai wahyu yang diturunkan dengan membawa kebenaran.
Memurnikan Agama: Pengertian dan Definisi
Al-Qur’an yang perwujudan penerimaannya dengan pengabdian sebagai orang yang memurnikan agama, dalam az-Zumar, 39: 2, disebut dengan al-Kitab yang diturunkan dengan membawa al-haqq. Penyebutan demikian menunjukkan bahwa perwujudan itu wajib dilaksanakan dengan memperhatikan kedudukan Al-Qur’an sebagai al-Kitab.
Az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa penyebutan tersebut menunjukkan makna yang dalam, yakni kitab suci yang sempurna; yang kemudian diperdalam lagi oleh Abu as-Su’ud dengan makna “kitab suci yang sempurna yang benar-benar berhak untuk disebut kitab suci.”
Kesempurnaan Al-Qur’an sebagai kitab suci dalam pandangan Abu as-Su’ud berhubungan dengan isinya sebagai penjelasan yang indah tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan agama, termasuk penjelasan tentang kehidupan bangsa-bangsa di masa lalu dengan nabi-nabi mereka. Kisah para nabi dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa di samping mendakwahkan agama, mereka juga membangun peradaban, seperti Nabi Nuh dengan perahunya yang membangun peradaban pelayaran.
Kisah tersebut dibuktikan kebenarannya dalam sejarah yang mencatat bahwa manusia pada awal kehidupannya di bumi hidup dengan peradaban alam, dalam pengertian mereka sepenuhnya tergantung pada alam, termasuk dalam memperoleh pengetahuan.
Keadaan mereka ini dalam Al-Qur’an digambarkan dengan kisah dua putra Nabi Adam. Setelah membunuh Habil, Qabil tidak mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap jenazah saudara kandungnya itu. Dia baru tahu bahwa seharusnya dia memakamkannya setelah melihat seekor burung gagak menggali lubang untuk mengubur bangkai burung gagak lain yang mati.
***
Keadaan mereka yang berperadaban alam baru berubah setelah para nabi datang dengan membawa kitab suci yang sudah barangtentu mengembangkan budaya membaca dan menulis. Dengan berkembangnya budaya itu, otomatis mereka dapat memperoleh pengetahuan dan mengembangkan keterampilan dari tulisan yang dibaca sehingga hidup mereka tidak lagi sepenuhnya tergantung pada alam. Peradaban baru pengganti peradaban alam yang berhasil dibangun para nabi itu dalam sejarah disebut peradaban kitab suci yang secara umum disebut peradaban agama.
Karena merupakan pengganti, maka sampai pada akhir zaman pra-modern pada abad ke-17, peradaban kitab suci dipandang sebagai lebih tinggi daripada peradaban alam. Dalam Al-Qur’an yang turun pada abad ke-7 pandangan ini tergambar dari penggunaan sebutan ahli kitab (ahlu azd-dzkir) untuk kaum beragama yang sudah memiliki kitab suci dan al-ummiyuun untuk kaum yang belum menerima wahyu kitab suci, dengan ada anjuran agar yang kedua menanyakan kepada yang kedua segala hal yang tidak mereka ketahui, khususnya pewahyuan kitab suci (Q.S. an-Nahl, 16: 43 dan al-Anbiya’, 21: 7).
Kenyataan sejarah ini menunjukkan bahwa penyebutan Al-Qur’an dengan al-Kitab memiliki makna peradaban. Maksudnya Al-Qur’an itu merupakan kitab yang membangun peradaban. Karena itu, ketika pembicaraan tentang penerimaannya dengan perwujudan pengabdian kepada Allah sebagai orang yang memurnikan agama, dalam az-Zumar, 39: 2, menggunakan sebutan al-Kitab, maka berarti bahwa pengabdian kepada-Nya harus dilaksanakan dengan memfungsikan agama untuk membangun peradaban supaya tujuan pewahyuan Islam mewujudkan rahmat Allah tercapai.
Pengertian Agama Murni
Dengan demikian, jelas bahwa agama murni milik Allah yang ditegaskan dalam az-Zumar, 39: 3 adalah agama pembangun peradaban, yakni agama yang mewajibkan penyelenggaraan hidup baik dengan kecerdasan pikiran dan kekayaan batin. Pengertian ini di samping terang dari munasabah-nya dengan ayat sebelumnya yang telah dijelaskan di atas, juga terang dari munasabah antar kalimat dalam ayat itu sendiri.
Kalimat pertama dalam az-Zumar, 39: 3 adalah “Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni.” Kemudian diikuti dengan, “Orang-orang yang mengambil pelindung (auliya) selain Dia, berkata ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’”
Bentuk pertautan antara dua kalimat ini adalah tadladd, perlawanan. Maksudnya lawan dari agama murni adalah mereka yang menjadikan selain Allah sebagai pelindung dan sesembahan. Siapakah mereka?
Jawaban berdasarkan al-Baqarah, 2: 257, mereka adalah orang-orang kafir berpelindung thaghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Taghut dalam Al-Qur’an menurut beberapa ulama, pengertiannya adalah: segala sesuatu yang disembah selain Allah (Abu Ishaq); dukun dan syetan (anonim); dua orang Yahudi, Huyay bin Akhthab dan Ka’b bin al-Asyraf (anonim); syetan, dukun dan semua biang kerok dalam kesesatan (asy-Sya’bi, ‘Atha’ dan Mujahid); berhala (al-Akhfasy); berhala dan syetan (Syamr); dan pemimpin Nasrani (Ibnul ‘Arabi).
Mereka yang disebut dalam pengertian-pengertian ini sudah barangtentu memenuhi kualifikasi sebagai kekuatan yang mengeluarkan para penyembah dan pengikutnya dari cahaya ke kegelapan.
Imam al-Mawardi menjelaskan bahwa pengertian mengeluarkan dari cahaya ke kegelapan yang dilakukan oleh thaghut adalah mengeluarkan dari cahaya petunjuk (nuril huda) ke kegelapan kesesatan (dhulumatidl dlalalah). Bagian akhir surat al-Fatihah menegaskan bahwa orang-orang yang sesat (adl-dlallin) tidak mendapatkan ni’mah, yaitukeadaan baik semua bidang kehidupan dalam semua levelnya. Keadaan ini terjadi jika kehidupan tidak diselenggarakan dengan peradaban.
Memurnikan Agama Membangun Peradaban
Jadi pengertian “menjadikan auliya selain Allah” dalam az-Zumar, 39: 3 adalah menjerumuskan manusia ke dalam kehidupan tidak berperadaban itu. Karenanya munasabah antarkalimat dalam ayat tersebut menambah terang pengertian bahwa agama murni adalah agama pembangun peradaban.
Az-Zumar, 39: 3 tidak menyebut lawan agama murni adalah agama tidak murni, tetapi orang-orang yang memiliki auliya selain Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam toleran terhadap agama tidak murni (paganisme Arab dan lain-lain). Namun ia tidak toleran terhadap tindakan para pembelanya yang berjuang mati-matian melawan pembangunan peradaban yang digelorakan Islam sebagai agama murni dan diperjuangkan dengan segala daya dan upaya oleh kaum Muslimin yang memurnikan agama.
Sikap Islam demikian merupakan manifestasi dari hakikatnya sebagai risalah rahmatan lil ‘alamin yang mewajibkan umat mewujudkan hayah thayyibah, hidup baik, dengan ukuran sejahtera, damai dan bahagia bagi semua di dunia dan akhirat.